"Lu nggak pa-pa, Vi?" Tanya Tara khawatir sambil membantu Vian berdiri. Mata coklatnya mengarah tajam pada beberapa gadis yang berdiri angkuh di depan mereka.
Untung tadi Tara tak terlambat ke kantin. Setelah Vian keluar kelas tergesa, yang diyakininya ke kelas Andre mengajak pemuda itu ke kantin. Sahabatnya belum kembali beberapa saat lamanya,Tara segera menyusul Vian. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Firasatnya mengatakan telah terjadi sesuatu pada Vian.
Dan apa yang dikhawatirkannya terjadi. Vian terduduk di lantai kantin, dengan seragam basah kuyup. Dengan tangan terkepal, Tara bergegas menghampiri Vian. Menatap tajam pada Cindy cs yang sudah dapat dipastikan sebagai tersangka pembully sahabatnya. Tara berjongkok dan membersihkan tetesan air di rambut sahabatnya.
"Lu ada masalah apa sih sama bestie gue?" Tara memeluk bahu Vian dengan sebelah tangannya. Satu tangannya yang lain bertengger manis di pinggang. "Perasaan cuman lu sama antek-antek lu yang sok cantik ini yang bully sohib gue!" Tara menatap Cindy tajam.
Tentu saja Tara tidak terima Vian diperlakukan seperti ini. Hanya karena dandanan Vian yang terlihat seperti gadis cupu. Mereka semua belum tahu saja bagaimana sahabatnya tanpa ornamen-ornamen aneh yang menempelinya itu. Vian seribu kali lebih cantik dari mereka.
"Si nerd yang kata lu sobat lu ini udah nabrak dan numpahin minumannya ke seragam gue...!"
"Bohong banget sih lu!" Potong Tara cepat. Tangannya mengepal, tak terima sahabatnya difitnah. "Mana buktinya kalo Vian udah numpahin minumannya ke seragam lu? Seragam lu nggak basah secuil pun!"
"Gu-gue udah ganti seragam tadi."
"Kapan?" Tara tersenyum menantang. "Kalo mau fitnah orang pintaran dikit. b**o dipiara!"
"Lu...!"
"Apa?" Tara maju selangkah. Sekarang dia persis di depan Cindy dan kedua temannya. "Lu mau apa? Gue nggak takut sama lu!" Tara menggulung lengan bajunya, bersiap seandainya Cindy mengeroyoknya.
"Udah, Ta." Vian menarik Tara mundur. "Malu diliat orang."
Cindy tersenyum pongah melihat itu. "Bener kata sohib nerd lu." Katanya mengejek. "Mending udah daripada lu tambah malu."
Tara menatap Cindy tajam sekilas, lantas melepaskan cekalan tangan Vian di lengannya. Hendak kembali maju sebelum Vian kembali menangkap pergelangan tangannya. Menatap Vian kesal, Tara memutar bola matanya melihat Vian menggeleng pelan. Isyarat agar dia menghentikan perselisihan ini.
"Lu apaan sih, Vi? Gue kan bela lu." Omel Tara kesal. "Gue nggak suka mereka bully lu." Tara menunjuk Cindy dengan ekor matanya. "Lu bestie gue, Vi. Gue bakalan bela lu. Nggak kek tunangan banci lu!" Sengaja Tara menekankan kata tunangan banci, agar Andre yang juga sedang berada di kantin mendengar perkataannya. Sungguh Tara benci dengan Andre saat ini. Bagaimana mungkin Andre membiarkan Vian di bully di depan matanya? Fvck memang pemuda itu!
"Ooh jadi si nerd udah tunangan ya?" Cindy bersedekap dengan ekor mata melirik ke kanan-kiri di mana kedua sahabatnya berada. "Kasian banget sih cowok yang jadi tunangan lo. Atau..." Cindy mengetuk-ngetuk pelipisnya seperti orang sedang berpikir. "Tunangan lo sama nerdnya kek lo."
Tawa keras Cindy dan teman-teman segenknya pecah. Disusul dengan tawa siswa-siswi penghuni kantin yang lain. Suasana kantin yang semula tegang berubah menjadi riuh seketika.
Vian dan Tara memerah. Hanya bedanya, Vian memerah karena malu. Sementara Tara lebih karena amarah. Tangan Tara terkepal kuat. Ingin rasanya dia menghajar Cindy yang sudah menghina sahabatnya. Untuk Andre, dia tidak peduli. Malah dia sangat ingin menarik pemuda itu ke depan gadis congkak di depannya ini. Biar Cindy dan sahabat-sahabatnya tahu, kalau tunangan Vian adalah Andre. Pemuda dingin yang paling digemari di sekolah mereka.
"Ta, kita balik kelas yuk." Vian menggoyang-goyangkan lengan Tara yang dipeluknya. "Dingin."
Tara melirik Vian melalui ekor matanya. Sahabatnya itu tampak menggigil. Menghembuskan napas, Tara mengangguk.
"Ini belom selesai, b***h!" Tara menunjuk Cindy tepat di depan hidung gadis itu. "Kalo sekali lagi gue liat lu ganggu bestie gue, awas aja. Lu bakalan berurusan sama gue! Ayo, Vi."
Tara menarik Vian meninggalkan kantin. Wajah cantiknya menekuk jengkel. Melewati Andre, sengaja Tara berhenti. Setelah mengacungkan jari tengahnya di depan mata pemuda itu, baru Tara melanjutkan langkah. Diikuti Vian yang berjalan tertunduk di sampingnya.
***
"Lu kenapa sih, Vi? Harusnya kan lu lawan mereka, bukan cuma diam aja," protes Tara begitu mereka tiba di kelas.
Vian yang sudah mengganti seragamnya dengan seragam yang baru menggeleng. "Nggak, aku nggak bisa." Lirihnya.
"Kenapa nggak?" Sebelah alis brown Tara terangkat. "Kemana Vian yang selama ini gue kenal?"
Vian tertunduk. Tara benar, seharusnya dia melawan tadi, bukan hanya diam. Meskipun tak sekuat Tara, tapi dia bukan gadis lemah. Tapi Andre ada di kantin tadi. Dia tak ingin Andre menilainya sebagai gadis yang suka keributan. Lagipula dia memang tak menyukai perkelahian. Kalau tadi dia melawan, urusannya pasti akan lebih panjang nanti. Itu sebabnya dia membiarkan perlakuan teman-teman sekolahnya.
"Aku cuma nggak mau ribut, Ta." Vian menghela napas. "Aku nggak mau Andre mengira yang nggak-nggak sama aku."
Tara berdecak kesal. "Andre lagi." Gadis berambut sebahu itu mendudukkan bokongnya kasar pada kursi di depan Vian. "Mau sampe kapan sih lu kaya' gini? Jadi bucin Andre."
Vian menggeleng lemah. "Aku sayang Andre, Ta. Kamu udah tau itu. Dan aku nggak mau Andre makin menjauh dari aku gara-gara itu."
"Bullshit!" Tara mendengus kasar. Alasan Vian terlalu lebay baginya. "Lu emang sayang sama Andre, Vi. Tapi Andre nya nggak. Dia nggak doyan cewek tuh."
Vian menggeleng lagi. Kali ini lebih samar.
"Aku yakin Andre juga sayang sama aku. Cuma dia belum sadar aja. Suatu saat dia pasti sadar kok gimana perasaannya sama aku."
Vian tersenyum manis. Kali ini tanpa kawat gigi yang menghiasi gigi putihnya. Dia selalu melepasnya jika hanya berdua dengan Tara. Begitu juga dengan kacamata tebal yang aduhai noraknya. Vian tak pernah mengenakan benda-benda itu kecuali di depan teman-temannya di sekolah.
"Gue harap lu bener, Vi." Tara menggenggam tangan Vian. "Dan gue juga harap kalo itu nggak lama lagi."
Senyum manis Vian semakin lebar. Dia bahagia karena sahabatnya mendukungnya.
***
Gadis cantik itu menatap langit-langit kamarnya. Bintang imitasi gemerlapan di sana. Entah kenapa pusing tiba-tiba menderanya. Vian memejamkan mata birunya. Mengubah posisi berbaring yang tadi terlentang menjadi menyamping. Berharap supaya pusingnya cepat reda.
Suara ponselnya yang melantunkan nada sebuah aplikasi berkirim pesan dan telepon membuat gadis itu harus membuka matanya kembali. Sungguh pusing masih belum reda. Vian memaksakan diri untuk bangun dan mengambil ponsel yang tergeletak di single sofa lumayan jauh dari tempat tidurnya. Sebuah chat dari Tara menghiasi layar ponsel. Bergegas Vian menggeser layar.
Udah tidur lu, Vi?
Senyum merekah di bibir mungil vian yang berwarna merah alami. Tara memang selalu mengiriminya pesan sesaat sebelum tidur, hanya untuk menanyakan keadaannya atau mengingatkan ada pekerjaan rumah ataupun menyuruhnya tidur.
Pusing, Ta.
Hanya sedetik setelah pesan Vian terkirim, balasan dari Tara langsung masuk.
Pusing kenapa? Lu nggak pa-pa kan?
Vian memijit pelipisnya. Kepalanya berdenyut memikirkan betapa cepatnya Tara mengetik. Ah bukan, sahabatnya memang selalu seperti ini. Selalu cepat membalas setiap pesannya. Denyutan di kepalanya yang semakin menjadi tak ada hubungannya dengan Tara.
Nggak pa-pa kok. Cuma telat tidur kaya'nya.
Sementara menunggu balasan pesan Tara, Vian melangkah kembali ke tempat tidur.
Kalo gitu lu tidur sekarang. Gue juga mau tidur nih. Good night, Vi. Sweet dream ya.
Good night too, Tara. Sleep well.
Menaruh ponsel di nakas, Vian menarik selimut bergambar beruangnya sampai sebatas d**a. Kembali memejamkan mata meskipun denyutan di kepalanya masih terasa.