BAB 2. PersetujuanGhea menyetujui tawaran Zebra tanpa pikir panjang. Lagipula, dengan tambahan modal dari Zebra yang lumayan banyak itu, Ghea jadi bisa merealisasikan impiannya untuk membangun taman dan air mancur kecil di sisi kanan kedai, dengan tambahan beberapa kursi dan meja untuk menciptakan suasana hijau yang asri.
Selain itu juga Ghea bisa menambah beberapa menu lagi. Walaupun agak ribet,tapi kalau ending-nya Ghea jadi bisa memperluas usaha dan buka cabang di beberapa kota kan, lumayan juga keuntungannya, bisa buat modal nikah.
Ghea terkikik geli. Memangnya udah ada calonnya, Ghe?
“Jadi, katanya kamu mau beli bahan baku hari ini?”
Ghea tersadar dari lamunan ketika suara Zebra terdengar lagi. Pria itu sudah menghabiskan es krimnya dan bersandar di kursi dengan tangan bersedekap. Ghea langsung curi-curi pandang pada jemari Zebra, mencari rupa cincin kawin di sana.
Bersih. Enggak ada indikasi kalau pria di depannya ini udah beristri. Rasa bahagia langsung membuncah tanpa komando dan Ghea menahan senyumnya agar tidak terbit terlalu lebar.
“Iya, Mas. Sebenernya sih lebih enak kalo nyetok langsung dari satu pabrik atau toko aja, tapi aku masih dalam masa nyoba-nyoba sih, jadinya ya masih nyari bahan yang paling bagus.”
Zebra mengangguk. Ekspresinya masih datar.“Saya punya kenalan yang punya pabrik cokelat. Kamu mau saya kenalin? Kali aja cocok sama selera kamu.”
Gerakan tangan Ghea yang hendak menyuap seketika berhenti. Ini Mas Zebra lagi nawarin jalan berdua, ya?
Ghea berkedip. “Eh. Apa enggak ngerepotin?”
“Saya lagi enggak ada kerjaan di rumah.”
Ghea mengangguk. Senyumnya terkulum. “Ya udah, ayo. Aku ambil dompet dulu ya di dalam.”
Setelah mendapat persetujuan dari Zebra, Ghea segera kembali ke ruang kerjanya untuk mengambil dompet, sekalian mengecek persediaan apa aja yang sudah habis di gudang.
Senyum Ghea kemudian tersungging sepanjang jalan. Mau tak mau otaknya berpikir segala kemungkinan yang bakal terjadi dengan dirinya dan Zebra di masa depan. Bagaimana kalau kehadiran Zebra ini pertanda jika dia memang jodoh Ghea?
Ya, belum apa-apa Ghea sudah baper duluan.
Bisa saja Zebra mau menemaninya karena ingin tahu tentang kedai milik Ghea? Dia kan mau menanam modal di sini. Jumlahnya lumayan besar lagi. Pikiran realistis Ghea mulai jalan. Jadi, hari ini Ghea harus bersikap profesional supaya Zebra enggak membatalkan niatnya.Masalah hubungannya sama Zebra kan masih bisa sambil jalan. Kalau emang jodoh, ya enggak bakal lari ke mana.
Tapi jodoh juga harus diperjuangin kali, Ghe. Suara lain dihatinya berbisik.
Ini juga lagi usaha kok.
Ketika kembali, Ghea menemukan pria itu sudah menunggu di parkiran depan. Berdiri menjulang, bersandar pada mobil Pajero hitam sambil memainkan ponsel. Sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku.
Ghea menelan ludah. Ini cowok kenapa ganteng banget sih? Jangan-jangan dia pake susuk. Sekarang kan emang lagi zamannya pakai yang begituan. Back to nature.
Ghea menepuk jidatnya keras. Mana ada Mas Zebra pakai susuk. Orang dari zaman Ghea masih kelas enam SD—dan waktu itu Mas Zebra sudah SMA juga auranya sudah memikat. Wajar kalau sekarang tambah memesona.
“Ayo.”
Lagi-lagi, suara Zebra membuyarkan lamunan. Ghea berdeham dan mengukir senyuman. Pintu mobil sudah dibuka lebar-lebar oleh Zebra. Aish, Ghea jadi berasa tuan putri.
Bangun, woy!
Ghea menepuk dahinya keras. Mendesah, ia masuk ke mobil dan segera memasang seatbelt. Ucapan Reni satu tahun lalu tiba-tiba menggema di telinganya: Jangan berekspetasi tinggi-tinggi. Nanti jatuhnya sakit. Salah-salah malah lo enggak bisa bangun lagi. Mati.
Mendesah, Ghea merutuki pikirannya sendiri. Ya mau bagaimana lagi? Harapan itu datangnya enggak pakai permisi. Apalagi tingkat ke-baperan-nya enggak bisa diukur pakai satuan dan solusinya ya cuma bisa menegaskan ke diri sendiri kalau kehadiran Mas Zebra ini cuma sekadar jadi malaikat penolong Ghea yang lagi krisis modal. Tapi... susah.
Ya gimana enggak susah kalau Mas Zebra ini tipe-tipe suamiable zaman now?
“Kenapa kamu diem aja? Enggak suka ya jalan sama saya?”
Ghea berkedip dua kali. Suhu di pipinya tiba-tiba meningkat. Kebanyakan mengkhayal sih. Begini kan jadinya, gagal fokus. Ghea mengukir senyuman gugup. “Em...suka, kok. Aku suka sama Mas Zebra—eh, maksudnya jalan sama Mas Zebra.”
Ghea merutuki kerja mulutnya yang kadang enggak bisa dikontrol. Ia melirik takut-takut pada Zebra yang masih fokus dengan kemudi. Raut wajah yang pria itu tampilkan masih sama datarnya seperti di kedai tadi. Diam-diam Ghea mengambil napas lega.
Kayaknya Mas Zebra enggak nganggep penting omongannya Ghea deh. Atau bawaan orang militer emang kaku gitu ya mukanya?
Menatap fokus ke depan, Ghea memainkan jari-jarinya di atas paha. Salah satu kebiasaannya kalau merasa enggak nyaman. Ya bagaimana mau nyaman kalau aura Mas Zebra mendadak dingin begini? Jangan-jangan ini efek makan es krim di kedai Ghea lagi. Lain kali kalau Mas Zebra datang, Ghea disediakan wedang jahe saja deh, biar anget. Atau dibakarin dupa saja sekalian, biar setan kakunya hilang.
“Di depan ada pasar tradisional. Kamu mau mampir dulu atau langsung ke tempat teman saya saja?”
Suara berat itu kembali memanggil Ghea pada realita. Ia menatap Zebra dan tersenyum ragu. “Enggak ngerepotin emangnya?”
“Enggak. Kan, searah jalannya.”
Ghea mengangguk. “Oke deh. Mampir bentar kalau gitu.”
Mas Zebra dingin-dingin begini baik banget orangnya. Calon suami idaman banget deh pokoknya. Nyari yang paket komplit gini emang susah zaman sekarang. Udah ganteng, mapan, baik pula. Kurang apa lagi coba?
Kurangnya cuma satu, Ghe. Dianya mau enggak sama kamu?
Ghea menelan ludah. Kok Nusuk, ya?
***
Ghea merasa jika dirinya sedang menjadi pusat perhatian. Ah, ralat—tapi pria tampan di sampingnya ini. Ya bagaimana enggak? Lihat saja badan Zebra yang terpahat sempurna dari ujung kaki sampai ujung kepala. Macho banget. Selain itu, Zebra juga punya wajah ganteng. Punggungnya apalagi, sandarable banget. Ghea jadi pengin ngerasain digendong sama Mas Zebra. Surga dunia itu pasti.
Astaga, Ghea! Ngayal lagi kan? Ghea menepuk dahi, mendesah keras.
Teriakan heboh dari abang-abang penjual sayur membuat Ghea tersentak. Secepat itu pula punggung Zebra menghilang dari pandangan. Melihat sekeliling, barulah Ghea sadar kalau ada yang kecopetan. Beberapa orang langsung mengikuti Zebra yang sedang mengejar pencopet.
Ghea meremas kedua tangannya gugup. Jantungnya berdegup liar. Ingin ikut mengejar, tapi akhirnya mengurungkan niat. Nanti kalau Mas Zebra diapa-apain sama perampoknya gimana? Ya, mereka kan belum nikah. Masa Ghea udah kehilangan calonnya?
Sepuluh menit sudah berlalu dalam hening. Ghea semakin gelisah di tempatnya berdiri. Kerumunan orang sudah mulai kembali ke tempatnya masing-masing. Ghea menatap arah menghilangnya Zebra lekat-lekat, berharap keajaiban akan mengantarkan Mas Zebra ke dalam rengkuhan.
Seketika senyum Ghea melebar saat melihat Zebra datang dengan seseorang yang ia ikat tangannya ke belakang. Abang-abang penjual sayur yang kecopetan tadi tergopoh-gopoh menghampiri Zebra. Mereka berbicara sebentar, sesekali juga senyum Zebra terlukis—tipis sekali, tapi membuat wajahnya semakin terlihat menawan.
Ya Tuhan. Gimana caranya Ghea enggak tambah baper kalau kayak gini ceritanya?
“Hei. Kamu enggak denger saya ngomong, ya?”
Ghea berkedip-kedip. Zebra sudah berdiri di depannya dengan sebelah alis terangkat. Kedua pipi Ghea memanas. Astaga. Ghea cuma bisa berharap kalau mukanya enggak kelihatan bodoh di depan Zebra tadi.
Ghea mengalihkan pandangan sambil meringis. “Mas Zebra tadi enggak kenapa-napa, kan?”
“Saya baik-baik saja.”
“Terus penjahatnya?”Kali ini Ghea mengamati wajah Zebra yang masih mulus tanpa luka dan lebam. Hebat sekali. Padahal kalau melihat badan bongsor pencopet tadi, Ghea pasti bakal langsung mental meski dapat satu pukulan saja.
“Gak usah dipikirin. Dia udah diserahin sama pihak berwajib.”
Ghea mengangguk singkat, lalu ketika pandangannya beralih pada lengan Zebra, matanya terbelalak lebar. Ada bekas sayatan pisau yang masih mengucurkan darah. “Mas Zebra berdarah!”
Zebra mengikuti arah pandang Ghea, lalu menutupi lukanya dengan telapak tangan. “Udah. Enggak apa-apa. Mending kita cari bahan yang kamu butuhin sekarang.”
“Tapi Mas lukamu harus di—”
Ucapan Ghea menggantung di udara ketika Zebra tiba-tiba berbalik dan berujar dengan nada dingin. “Kalau saya bilang saya enggak apa-apa, itu artinya saya enggak apa-apa, Ghea. Jangan membantah.”
Mulut Ghea terbuka lebar. Punggung tegap Zebra langsung menjauh, memasuki pasar lebih dalam lagi. Dan Ghea, mau tak mau, harus mengikuti langkah pria itu meski perasaan cemas menghampiri.
Ghea enggak habis pikir dengan isi kepala Zebra. Ghea ingin mencegah pria itu, sungguh. Tapi Ghea juga sadar dengan statusnya yang hanya partner kerja dari Zebra. Dia enggak berhak mengatur pria itu.
Ghea mendesah. Kedua bahunya terkulai. Mungkin dia memang harus terbiasa dengan perkataan Zebra yang tidak bisa dibantah.
Ghea sendiri enggak menyadari adalah persetujuan yang ia berikan pada Zebra hari ini merupakan titik awal kehidupannya berubah drastis; ketika Zebra tanpa sadar mengendalikan hidup Ghea dengan pesonanya.
***