BAB 1. Kimboo Zebra's Ice cream.Ghea merapikan ujung kemejanya yang terlipat. Wajahnya terlihat penuh minyak, tampak berkilau ketika tertempa sinar matahari siang. Lengan kanannya terangkat untuk menyeka keringat sebiji jagung yang menetes di dahi. Ia mendesah pelan, memarkirkan sepedanya di samping sebuah sedan hitam dan melenggang santai ke dalam kedai.
Kimboo Zebra's ice cream.
Sebuah plang besar tertempel di atas pintu kedai, terbuat dari kayu berukir yang ia pesan khusus dari kota Jepara—yang terkenal dengan ukirannya yang indah, dan Ghea memilih bercak khas sapi jenis friesian holstein sebagai tema utama. Ya, setidaknya Ghea tidak menyesal karena mengeluarkan uang sedikit lebih banyak untuk memesan itu karena hasilnya bagus sekali dan terkesan membuat kedainya lebih hidup.
Bunyi gemericing lonceng terdengar ketika pintu kaca terbuka. Suasana kedai gaya Eropa kuno berbalut furnitur modern langsung menyapa pertama kali. Dinding kayu berlapis bercak putih dan hitam, pajangan dinding lukisan sapi, sampai miniatur woody menunggang sapi di sudut kiri kedai. Setidaknya, tempat ini sudah cukup nyaman untuk para pengunjung yang didominasi ibu dan anak.
Ghea melangkah masuk, tersenyum ramah pada beberapa pelanggan yang berpapasan dengannya. Sesekali juga menyapa anak-anak kecil yang tidak sengaja bersinggungan. Ghea memasuki pintu kecil yang menyatu dengan bagian kasir dan melangkah menuju dapur.
Setidaknya, sekarang ini Ghea memiliki tiga pegawai yang membantunya mengurus kedai. Tidak terlalu banyak karena Ghea sendiri masih fokus dengan es krim sebagai menu utama. Mungkin beberapa bulan lagi Ghea juga akan menambahkan beberapa menu seperti tiramissu, pie, atau serabi agar lebih bervariasi.
“Pagi, Bos Ghea.” Arman, teman SMA sekaligus pegawainya yang bertugas menjaga kasir itu menyapa ramah. Setidaknya untuk sekarang ini, Arman menjadi satu-satunya orang kepercayaan Gheauntuk membantunya mengurus kedai, mulai dari proses produksi sampai penjualan.
Ghea terkekeh kecil dan menepuk bahu Arman kuat. “Pagi apanya! Udah jam sebelas siang ini. Sengaja nyindir, ya?”
Arman meringis. “Ya enggak usah kenceng-kenceng juga kali mukulnya.”
Tawa Ghea kian lebar. “Sorry.”
Arman hanya memutar bola mata. “Eh, persediaan cokelat kita udah mau habis nih. Lo yang beli sendiri atau kita pesen aja?”
Ghea tampak berpikir. “Gue yang ke sana sendiri deh. Sekalian nanti ngecek barang-barang apa aja yang udah mau habis di gudang.”
“Oke. Nanti kalo butuh tumpangan bilang gue aja ya.”
“Sip.” Ghea mengacungkan kedua jempolnya sebelum berlalu menuju gudang persediaan.
Karena kedai ini masih tergolong baru, jadi Ghea sendiri yang mengurus semuanya—bersama Arman. Walaupun capek, tapi karena Ghea menjalaninya dengan ikhlas, jadi tidak terasa. Lagipula, Ghea juga menyukai anak-anak. Jadi ketika melihat mereka datang dengan mata berbinar-binar memasuki kedainya, Ghea jadi ikut senang.
Belum sempat Ghea sempat memasuki gudang, dia mendengar seorang pegawainya berteriak panik dari bagian dapur. Cepat, Ghea berlari ke sana dan mengecek keadaan.Rahang Ghea nyaris jatuh ketika melihat lantai terkena banjir dadakan. Bak cucian piring penuh air yang mengucur deras dari pipa yang bocor. Dan Sena, pegawainya yang bertugas di bagian dapur itu bukannya cepat-cepat menutup bocornya, malah menjerit enggak jelas dipojokan.Astaga.
Cepat, Ghea menggulung ujung kemejanya sampai siku dan menyambar plastik elastis. Dengan cekatan, ia mengikat pipa bocor itu dengan plastik sampai airnya berhenti mengalir. Setidaknya itu bisa jadi alternatif sementara sebelum Ghea memanggil orang untuk memperbaikinya nanti.
Setelah selesai, Ghea mengusap wajahnya yang terciprat air dengan telapak tangan, menengadah, kemudian menghela napas jengkel. Baru satu tahun kedai es krim miliknya ini berdiri, kenapa sudah banyak sekali cobaannya?
Mulai dari pegawai baru yang belum becus menyajikan es krim, pelanggan sok kaya yang merengek tentang banyak hal—yang lebih banyak tidak ada faedahnya, sampai tukang cuci piring yang tidak tahu di mana letak spons dan sabun berada. Atau yang paling parah, kran air yang mendadak bocor seperti sekarang.
“Bos Ghea, aku minta ma—”
Ghea mengangkat tangannya dan ucapan Sena menggantung. Ia menyugar rambut pendeknya yang setengah basah sebelum menatap Sena jengkel.
“Udah deh. Kamu lanjutin lagi nyuci piringnya. Saya mau ganti baju dulu.” Ghea mengibaskan tangannya dengan gaya mengusir, lalu mengambil napas lagi. “Jangan lupa lantainya dipel juga.”
Sena mengangguk dengan bahu terkulai. Rautnya penuh penyesalan. Ghea tahu kalau Sena memang belum terlalu lama bekerja di sini. Wajar kalau bikin kesalahan, tapi Ghea juga bukan bos sempurna yang selalu bisa menahan amarah.
Ghea memejamkan mata sejenak, mengontrol emosi. Sebelum Sena beranjak untuk mengambil kain pel, Ghea berujar, kali ini dengan nada agak rendah, “Lain kali hati-hati, ya. Bilang aja kalau ada sesuatu yang rusak. Jadi nanti bisa diperbaiki sebelum makin parah.”
Senyum di bibir Sena perlahan terbit, sebelah tangannya membentuk sikap hormat.”Siap Bos!”
Ghea balas mengulas senyum tipis sebelum punggung Sena berlalu ke pintu belakang.
Dia melihat penampilannya dan menghela napas. Seluruh tubuh bagian atasnya nyaris basah, dengan kemeja birunya yang mencetak jelas kulit bahu—merambat nyaris ke bagian d**a. Ia mengambil celemek untuk menutupi dadanya sebelum keluar lewat pintu belakang.Ghea terpaksa pulang lagi karena tidak membawa baju ganti.
“Boss Ghea, ada yang nyari!”Teriakan Arman membuat Ghea mendengkus jengkel. Pegangan tangannya dari pintu terlepas.
“Siapa, sih? Ganggu aja. Baju gue basah nih.”Masih menggerutu, Ghea tetap ke konter depan demi menyambut tamu yang dimaksud. Paling yang datang juga si Deandra atau Reni yang kebetulan sedang tidak bekerja.
Ghea mengintip sedikit dari balik tembok. Sesosok pria tampak berdiri membelakanginya dengan sebelah tangan yang dimasukkan ke saku. Kaus biru tua yang dikenakan mencetak punggung atletisnya. Kentara sekali jika tubuh itu dibentuk dari latihan fisik bertahun-tahun.
Dan, kening Ghea berkerut dalam. Seingatnya, Ghea enggak punya teman cowok dengan badan sebagus itu deh. Jangan-jangan ada calon investor yang mau menanam modal nih. Lumayan.
Senyum Ghea melebar. Ia segera keluar dari persembunyian, kemudian berujar dengan nada ramah. “Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
Lalu, ketika pria itu berbalik dan menampakkan wajahnya, mata Ghea terbelalak lebar. Mulutnya setengah terbuka, wajahnya berubah pucat, dan darahnya seolah tersedot habis. Ghea... enggak lagi salah lihat, kan?
Pria itu mengangkat alis. Menatap Ghea dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Jadi, kamu yang punya kedai ini?”
Ghea berkedip, merapatkan bibir. Sudah berapa tahun dia tidak bertemu dengan tetangga tampannya ini? Enam tahun? Tujuh tahun? Ghea tidak ingat berapa persisnya, tapi yang Ghea tahu pasti, pria ini masih tetap terlihat tampan—ah, berkali lipat lebih tampan dari terakhir kali mereka bertemu. Ghea bahkan masih mengingat dengan jelas nama lengkapnya, sebuah nama yang diam-diam Ghea sebut dalam setiap doanya; Zebra Lazuardi Pramudya. Ya, namanya memang Zebra. Kamu tak salah membaca. Bahkan sampai sekarang pun, Ghea masih tak paham kenapa Tante Amanda menamainya Zebra. Mungkin awalnya memang terdengar aneh, tapi lama kelamaan Ghea jadi terbiasa dan menganggap nama Zebra itu unik dan terasa pas ketika tertangkap telinganya.
Pria itu punya sepasang alis tebal yang melengkung indah, dengan ujung yang nyaris menyatu. Hidung mancung, bibir bawah yang lebih tebal, rahang tegas dan juga... dagu yang agak terbelah di bagian tengah. Hanya saja, kulit pria itu agak lebih gelap dari yang dulu.
But, he's extremly handsome and hot!
Ya Tuhan, ini bukan mimpi, kan? Ini memang Mas Zebra—tetangga dekat—sekaligus cinta pertamanya yang keren banget itu, kan?Rasanya Ghea ingin pingsan karena kehabisan napas. Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus Zebra yang mampir ke kedainya?
“Jadi begini cara kamu nyambut tamu?”
Suara berat Zebra membuat Ghea kembali pada realita.Ia mengerjap dan meneliti penampilannya sendiri. Dan, astaga! Celemeknya melorot ke bawah, membuat kemeja basah Ghea terlihat jelas, dengan sesuatu berwarna tosca yang membayang jelas dari dalam sana. Kenapa tali leher celemeknya bisa copot?
Ghea buru-buru menaikkan kembali celemeknya, kali ini memegang ujungnya erat-erat. Suhu di kedua pipinya meningkat drastis. Kenapa Ghea harus bertemu Zebra dengan keadaan memalukan kayak begini?
Sekarang Ghea enggak tahu mau menyembunyikan muka di mana?
Ghea menunduk dalam, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Ma ... af, Mas. Aku ganti baju dulu.”
Tanpa menunggu persetujuan Zebra, Ghea segera berlalu tunggang-langgang ke arah dapur. Nyaris terjengkang ketika kakinya tidak sengaja menabrak tong sampah kecil. Ghea mendesis kesal, tapi terus melanjutkan langkah meski terpincang-pincang.
Dia benar-benar malu setengah mampus!
***
Ghea menutup wajahnya dengan kedua tangan. Punggungnya bersandar pada dinding ruang kerjanya yang dingin. Napas Ghea masih putus-putus, jantungnya berdegup kencang.
Astaga. Astaga. Astaga.
Sekarang Ghea enggak tahu harus berbuat apa. Dia malu jika harus menampakkan diri di depan Zebra lagi. Lagipula... kenapa pria itu bisa berada di Bandung? Di dalamkedainya pula! Setahu Ghea, Zebra sudah pindah ke Padang, ikut ayahnya yang dipindahtugaskan ke sana bertahun-tahun lalu.
Bagaimana caranya Ghea bisa move on kalau Mas Zebra datang lagi kayak sekarang? Apalagi dengan tampang yang berkali-kali lipat lebih ganteng. Rasanya kayak disuguhkan es krim pas matahari lagi panas-panasnya, tapi es krimnya dijaga sama anjing Buldong. Mau mendekat tapi takut digigit. Kan, jadi serba salah.
Menyelonjorkan kaki, Ghea mengangkat wajah, menatap langit-langit ruang kerjanya. Ingatannya terpancang pada kejadian tujuh tahun silam, saat perpisahannya dengan Zebra terakhir kali. Oke, hubungan mereka memang enggak bisa dibilang akrab. Saling benci juga enggak. Paling-paling mereka cuma berinteraksi ketika ada acara kompleks atau waktu bunda meminta Ghea mengirimkan makanan ke rumah Zebra. Itu pun bisa dihitung pakai jari.
Yang salah di sini cuma Ghea yang terlalu terkagum-kagum pada sosok Zebra yang memenuhi nyaris seluruh kriterianya. Ya, semacam artis Korea yang dia idolakan. Enggak buat dimiliki.
Tapi kenapa hati Ghea masih jumpalitan kalau ketemu Mas Zebra, ya?
Ghea meringis, menepuk keningnya keras-keras. Moveon dong, Ge! Ngapain berharap sama orang yang enggak terjangkau macam Mas Zebra! Bahkan kayaknya dia udah lupa sama lo!
Pintu ruang kerjanya diketuk. Suara Arman terdengar kemudian. “Bos Ghe, tamunya masih nunggu, tuh. Kasian dia berdiri lama di sana.”
“Suruh pulang aja!” Ghea membalas cepat, nyaris membentak. Ia mengangkat celemeknya sambil menutupi wajah.
“Lah. Terus gue bilangnya gimana?”
“Bilang aja kalo gue lagi enggak enak badan—eh, jangan. Bilang kalo gue harus beli bahan baku sekarang.” Ghea menggigit bibir, menimang-nimang jawaban yang paling pas. “Ah. Pokoknya bilang aja gue sibuk. Minta maaf, terus suruh dia pulang.”
“Kalo enggak mau pergi?” suara Arman terdengar polos.
“Usir aja!”
“Loh. Kok, gitu sih? Bukannya BosGhe sendiri yang bilang kalau pelanggan adalah raja dan harus dilayani sebaik mungkin?”
“Kalo yang ini pengecualian.” Ghea menggertakkan gigi, menahan amarah. Kadang si Arman kalo begonya keluar memang suka minta digampar. Ngeselin banget.
“Oke deh.”Langkah kaki Arman terdengar menjauh, tapi kemudian kembali lagi. “Eh iya, lupa bilang. Katanya kalau Bos Ghe enggak keluar, dia mau copot plang Kimboo Zebra's ice cream di depan.”
“APA!”Kali ini Ghea membentak histeris. Buru-buru membuka pintu—masih sambil mencengkeram celemek untuk menutupi dadanya. Ia menatap Arman dengan mata terbelalak.
“Coba lo bilang sekali lagi!” Ghea menggoyang-goyangkan bahu Arman tidak sabar.
Arman memasang wajah bingung sambil meringis. “Mas-mas tadi bilang kalau dia mau nyopot plang di depan.”
“Astaga!” Ghea menepuk keningnya, menggigit bibir, lalu mondar-mandir kayak setrika gosong.
Ghea enggak menyangka kalau kejadiannya bisa jadi kayak gini. Sejujurnya nama Zebra yang terukir di plang itu memang merujuk ke Mas Zebra, tapi kenapa dianya bisa terlalu peka begitu sih? Padahal kan, nama Zebra itu umum. Bisa jadi Ghea ngambil nama kuda zebra dan bukannya dia?
“Bos Ghea, cepetan atuh. Keburu dicopot itu plangnya.”
Suara Arman membuat gerakan Ghea terhenti. Ia menatap teman SMA-nya itu dengan wajah pasrah. “Lo punya kemeja yang agak kecilan, nggak? Gue pinjem dong. Kemeja gue basah.”
“Ada kayaknya, gue ambilin. Tapi cepetan ya ganti bajunya.”
Arman balik badan dan mengambil bajunya di ruangan kecil dekat gudang penyimpanan. Arman memang tinggal di sini—katanya biar dekat kalau mau pergi kuliah. Ghea juga enggak keberatan. Setidaknya selama cowok itu tidak menghabiskan persediaan bahan baku. Lagipula, Ghea juga banyak terbantu dengan keberadaan Arman di sini.
Sementara itu, kedua tangan Ghea saling tertaut. Di otaknya sedang merangkai kata-kata apa yang paling tepat buat menjelaskan ke Zebra masalah plang itu.
***
Ghea menunduk, menautkan jari-jarinya di atas meja yang sudah tersaji dua cup besar ice cream andalan kedai ini. Matanya terpaku pada titik-titik air yang menguap di pinggiran gelas es krim. Sedang di depannya, Zebra duduk dengan sikap tegap dengan pandangan yang menyorot lurus ke arah Ghea.
Suasana hening berbalut canggung ini membuat Ghea bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya. Ya, Ghea tahu kalau pria itu sedang memandangnya tajam sehingga dia merasa makin tidak nyaman. Bahkan lagu gembala sapi versi remix yang diputar di sudut kafe enggak bisa membuatnya berpikir jernih. Padahal, biasanya, lagu itu yang membuat Ghea seringkali merasa tenang.
“Jadi?”Suara berat Zebra memecah hening yang sekian lama terjadi.
Takut-takut, Ghea mengangkat wajah. “Jadi... apa?”
Karena Ghea tahu kalau pura-pura tidak tahu dan memasang raut polos adalah hal yang paling aman sekarang.
“Jadi kamu yang punya kedai ini?”
Hah?
Ghea berkedip, menatap Zebra dengan kening berkerut dan raut bingung. “Maksudnya?”
Ada senyum tertahan di bibir Zebra. “Tadi saya nyuruh pegawai di sini buat manggil pemiliknya. Eh ternyata yang datang kamu.”
Pipi Ghea bersemu merah. Ini Zebra yang lagi berdusta atau Arman yang meracau,sih? Mana ada mau copot-copot plang segala. Orang Mas Zebra masih stay cool begini. Ghea mengembuskan napas dan tersenyum, lantas mengangguk singkat. Perasaannya sudah agak lega sekarang.
“Iya. Baru setahun ini jalan, sih. Makanya masih keliatan baru dan sepi.” Ghea mengamati d**a bidang Zebra yang terbungkus kaus. Cool banget. Gimana rasanya bersandar di sana ya? “Mas Zebra masih ingat aku?”
Sebelah alis Zebra terangkat. Kali ini senyumnya terbit—sangat tipis sampai Ghea ragu mengakuinya sebagai senyuman.
“Kamu anaknya Tante Varsha, kan?” Mata Zebra menyipit, meneliti kembali penampilan Ghea. “Terakhir kita ketemu kamu masih pake seragam putih biru, kan? Agak kurusan. Sekarang udah makin cantik, ya.”
Ya Tuhan! Ghea menahan napas. Kedua pipinya kembali memanas dengan jantung berdentum-dentum. Ini Mas Zebra lagi memuji apa gombal, sih? Manis banget. Lama-lama dia bisa diabetes kalau dekat Zebra terus. Ghea menggigit pipi dalamnya agar tidak tersenyum terlalu lebar.
Dia lebih memilih mengabaikan kalimat terakhir Zebra dengan bertanya. “Jadi Mas Zebra memang enggak sengaja mampir ke sini atau gimana?”
Raut wajah Zebra masih sedatar papan. “Enggak sengaja, sih. Saya tertarik sama plang di depan. Kimboo Zebra's ice cream. Memang sengaja namain itu, ya?”
Bola mata Ghea terbelalak. Rasa panik langsung merajainya tanpa ampun. Ia refleks mengibaskan tangannya ke depan, panik. “Itu namanya enggak sengaja niru Mas Zebra, kok. Beneran. Jangan salah paham dulu.”
Kening Zebra berkerut. Tapi ada sorot geli di matanya—yang sayangnya tidak bisa Ghea lihat. “Saya juga enggak bilang kalau kamu sengaja pakai nama saya buat kedai kamu.”
Astaga!
Rasanya Ghea pengin mampir ke Antartika deh sekarang, sembunyi sejauh-jauhnya dari Zebra. Ini pertemuan pertama mereka setelah sekian lama, tapi kenapa Ghea enggak bisa berhenti bersikap bodoh dan mempermalukan dirinya sendiri?
Ghea menggigit bibir bawah. Matanya bergerak-gerak gelisah. Bingung mau menjawab apa. “Eh, itu Mas, es krimnya dimakan dulu. Keburu cair. Ini salah satu menu andalan kami loh. Green Zebra's with honey choco.”
Ghea nyaris menepuk bibirnya sendiri. Memang ya, enggak bisa jauh-jauh dari nama Zebra. Bahkan semua menu di sini ada nama zebranya. Kalau pria di depannya ini sampai tahu kalau Ghea memujanya sampai sejauh ini, mau ditaruh mana muka Ghea nantinya? Zebra pasti bakal ilfil ....
“Ah, iya.” Zebra mulai menyendokkan es krim ke dalam mulutnya, tampak menikmati, sebelum kemudian menatap Ghea sambil mengangguk. “Enak banget. Enggak terlalu manis juga. Pas.”
Jantung Ghea nyaris melompat saat mendengar pujian Zebra. Ia meremas tangannya kuat dan mengulum senyum—yang semoga saja enggak terlihat aneh di mata Zebra. “Thanks. Menu itu juga baru nyoba-nyoba kok sebenernya.”
“Bakat nyoba-nyoba yang bagus.” Zebra kembali menyendok es krimnya, lalu melirik gelas Ghea yang masih penuh. “Kamu enggak makan?”
Ghea terkesiap, “Eh, iya.”Tangannya setengah bergetar ketika menyendokkan es krim ke dalam mulutnya. Kenapa efek seorang Zebra bisa sedahsyat ini sih?
“Di sini cuma jual es krim aja, ya? Enggak ada makanan ringan—emm, semacam kue gitu?” Mata Zebra melirik pada banner besar yang terpasang di atap kasir, berisi berbagai jenis menu yang tersaji di sini.
“Rencananya sih mau nambah serabi, kroket, atau jajanan pasar gitu sih Mas, biar lebih Indonesia. Tapi juga pengin muffin sama brownies atau tiramissu gitu biar enggak bosen. Tapi belum ada modalnya.” Ghea terkekeh kecil.
Zebra mengalihkan tatapan sepenuhnya pada Ghea. Sorotnya berubah serius. “Sebenarnya saya ke sini karena tertarik sama tema yang kamu usung. Nama kedainya kan, Kimboo Zebra's ice cream. Tapi isinya malah sapi.” Matanya mengedar ke seluruh sudut kafe yang didominasi cat hitam dan putih hingga tatapannya terpaku pada sebuah foto berbalut bingkai perak. “Itu yang nunggang sapi beneran kamu?”
Mata Ghea membulat. Mendadak merutuki kebodohannya sendiri karena memajang foto norak dirinya yang menunggang sapi saat berkunjung ke peternakan sapi milik suami sahabatnya tempo hari. Ya Tuhan. Pasti sekarang Zebra udah beneran ilfil sama Ghea. Siapa coba yang mau dekat-dekat sama cewek aneh pengagum sapi macam dirinya?
Bodoh! Ingatkan Ghea untuk membuang foto sialan itu setelah ini!
Meski enggan dan malu setengah mati, Ghea tetap mengakui. “Iya, Mas. Aku suka banget sama sapi. Bawaannya enggak bisa diam kalau ketemu makhluk itu. Bahkan rencananya aku mau beli sapi, tapi Kakak enggak ngijinin.”
Akhirnya, tawa pertama Zebra terdengar. Enggak terlalu keras tapi terdengar merdu di telinga Ghea. Garis matanya terangkat—agak menyipit, dengan gigi putih yang menyembul malu-malu. Astaga! Ini yang ketawa manusia apa malaikat sih? Kok bikin hati adem?
“Kamu memang sejujur ini, ya?”Sisa tawa Zebra masih terdengar. Ia berdeham dan melipat kedua tangannya di atas meja. “Jadi, sebenarnya saya mau bikin kesepakatan sama kamu.”Zebra menghentikan ucapannya sejenak, menatap Ghea lekat-lekat. “Saya tertarik buat naruh modal di sini. Sistemnya bagi hasil. Tapi saya juga punya hak buat ikut mengambil keputusan. Bagaimana?”
Eh?
Ghea berkedip dua kali. Bola matanya menyiratkan ketidakpercayaan. “Mas Zebra serius?”
Pria itu mengangguk. “Tapi saya enggak bisa ngawasin terus. Kemungkinan ke sini sebulan atau dua bulan sekali. Jadi saya cuma nerima laporannya dari kamu.”
“Memangnya Mas Zebra kerja apa?” tanya Ghea polos.
“Abdi negara.” Zebra membalas dengan nada mantap.
“Tentara gitu maksudnya?”
Pria itu hanya mengangguk.
Otak Ghea langsung memproses bayangan ketika Zebra memakai seragam tentara fit body, lengkap dengan senjata laras panjang dikedua tangannya. Astaga, liur Ghea sampai ingin menetes hanya karena membayangkannya!
Ghea... boleh berharap sama Mas Zebra nggak sih? Sayang banget kalau cowok potensial gini dianggurin, keburu dicaplok sama cewek lain—eh, emangnya Zebra masih single? Kalau udah taken bagaimana?
***