BAB 3. DijatuhkanZebra sudah mengobati lukanya sendiri. Bukan dengan kain kasa dan obat merah, melainkan hanya dibebat dengan sapu tangan seadanya. Warna merah darah tampak merembes dari kain itu, mengotori warna biru langitnya yang cerah.
Ghea sendiri agak penasaran. Kenapa Zebra punya sapu tangan warna cerah begitu ya? Bukannya apa-apa. Zebra kan macho, anak militer pula. Agak sangsi saja kalau punya sapu tangan warna biru. Apa jangan-jangan itu pemberian dari pacarnya?
Astaga. Ghe menepuk dahi. Dia nyaris melupakan kemungkinan kalau Zebra sudah punya pacar. Itu artinya, kesempatan Ghea makin menipis buat dapat calon imam maha sempurna semacam Zebra.
Ya, enggak apa-apa. Mungkin Zebra bukan jodohnya. Ghea juga sadar diri kalau dia memang enggak ada apa-apanya dibanding Zebra. Bagai pungguk merindukan bulan kalau peribahasanya. Yang pantas menjadi pendamping seorang Zebra Lazuardi Pramudya hanyalah wanita dari kalangan atas, wanita berpendidikan dan karier matang. Bukan cewek penyuka sapi semacam dirinya yang cuma lulusan SMA.
Jadi Ghea, tebalkan tembok pertahananmu sekarang. Kalau perlu cobain banyak virus dulu biar sistem kekebalan tubuh makin kuat. Biar tahan banting juga.
Mengambil napas, Ghea menyandarkan punggung, memejamkan mata sejenak. Jujur saja, pertemuannya kembali dengan Zebra hari ini membuat dampak yang enggak baik buat hatinya. Zebra yang selalu muncul dalam otakya, Zebra yang menjadi nama kedai miliknya, juga Zebra yang tidak berhenti ia kagumi.
Tentu saja. Selama ini Ghea udah mencoba menghilangkan Zebra dari kepalanya, tapi gagal. Semakin kuat keinginannya untuk menyingkirkan nama Zebra, maka pria itu malah makin menempel kuat di kepalanya.
“Kita berangkat sekarang, ya. Keburu sore.” Suara merdu Zebra terdengar mengalun. Ghea hanya mengangguk dan memakai seatbelt.
“Apa enggak sebaiknya kita ke rumah sakit dulu, Mas? Kayaknya luka Mas Zebra parah deh.”
Ghea melirik lengan pria itu sambil menggigit bibir bawah. Mungkin kalau yang dapat luka itu adalah Ghea, dia pasti sudah jerit-jerit dari tadi. Tapi mungkin karena Zebra anggota militer, jadi luka itu enggak punya pengaruh apa-apa baginya. Mungkin karena sudah terbiasa?
Zebra bergeming. Masih fokus dengan kemudi. “Enggak perlu. Kita langsung ke tempat teman saya aja.”
Ghea mengambil napas. Ia merendahkan nada suaranya agar tidak terdengar menuntut. “Nanti kalau infeksi gimana? Lukannya dalem banget, Mas Zebra. Butuh dijahit juga. Aku gak apa-apa kok nunggu sebentar.”
“Kamu tidak dalam mode bisa mengatur saya, Ghea.” Nada dingin yang digunakan Zebra membuat bibir Ghea langsung terkatup rapat. “Dan, satu lagi. Panggil saya Ardi. Karena saya tidak suka dipanggil Zebra.”
Ghea menelan ludah. “Oke, Mas... Ardi.”
Padahal Ghea sukanya manggil Zebra.
Lagi pula, kenapa Zebra baru menegurnya sekarang? Padahal kan, sudah sejak tadi Ghea memanggil pria itu dengan sebutan Zebra, dan dia tidak protes sama sekali. Tapi kenapa sekarang mendadak berubah? Ghea salah apa?
Ghea tahu bahwa Zebra adalah panggilan pria itu sewaktu kecil. Seluruh keluarga dekatnya memanggil dengan sebutan Zebra, bukannya Ardi. Jika pria itu menyuruhnya memanggil dengan sebutan Ardi, berarti Ghea memang tidak diberi kesempatan buat lebih dekat dengan pria itu. Rasanya kayak kena PHP bukan sih?
Ghea mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Ada sesak yang tiba-tiba mengimpit dadanya kuat. Ghea masih belum terbiasa dengan sikap Zebra yang mendadak dingin seperti ini. Membuat sosok itu makin tak tersentuh. Memangnya...salah ya jika Ghea khawatir dengan keadaan Zebra?
****
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore ketika Ghea diturunkan di depan kedainya. Setelah perkataan menyakitkan yang dilontarkan Zebra, Ghea jadi agak canggung ketika berbicara dengan pria itu. Takut salah ngomong dan berakibat enggak baik buat hubungan mereka ke depannya. Mereka juga enggak jadi ke tempat temannya Zebra karena Ghea meminta pulang lebih dulu.
Ya, meski dingin dan kadang angkuh begitu kan, Zebra calon partner kerjanya. Nanti kalau Zebra enggak jadi tanam modal malah Ghea yang repot. Belum ada tanda tangan di atas materai juga soalnya.
Ghea mengangkat barang belanjaannya dan mendorong pintu kedai dengan bahu. Ia langsung berjalan ke dapur untuk mencari keberadaan Arman. Tapi, langkahnya terhenti ketika mendengar suara tawa dari sudut kedai. Dia menoleh, tampak Arman yang sedang bicara dengan seorang pria—yang Ghea tidak tahu siapa karena posisinya memunggungi Ghea. Kok kayak kenal ya?
Ghea menaruh belanjaannya di samping konter dan memutuskan untuk mendekat. Arman yang menyadari kedatangannya melambai. Saat itulah pria yang memunggunginya tadi menoleh. Mata Ghea terbuka lebar—setengah terkejut. “Bang Jo!”
Pria itu—Jauhar—mengulum senyum, membuat matanya agak menyipit. Rambut hitam setengkuk yang biasanya tergerai itu terkuncir rapi sekarang. Jauhar segera bangkit dan mengacak rambut Ghea sembari terkekeh.
“Halo adik kecil. Gimana usahanya? Lancar?”
Ghea balas mengukir senyum lebar. Kali ini langsung menghambur ke dalam pelukan Jauhar. “Kangen banget sama Bang Jo. Udah setahun gak ketemu Abang.”
Sebuah jitakan langsung mendarat di kepala Ghea. “Setahun apanya! Baru juga Abang tinggal dua bulan.”
Ghea merengut dan melepaskan pelukan. “Ye! Tetep aja adikmu yang cantik luar biasa ini kangen setengah mati!”
“Lebay deh.” Jauhar mendengkus dan kembali ke tempat duduknya semula. Arman yang dari tadi hanya mengamati langsung pamit dengan alasan mengerjakan laporan praktikum.
Ghea mengambil kursi dan merepet duduk di samping Jauhar, bersandar pada lengan kokoh pria itu. “Bang Jo inget sama Mas Zebra gak?”
Elusan tangan Jauhar di kepala Ghea berhenti sejenak. “Oh. Yang dulu sering kamu ceritain itu ya? Cinta pertamamu?” Jauhar tersenyum geli. “Abang juga masih ingat panggilan sayangmu buat dia. Tengteng boksi; Tetangga ganteng b****g seksi.”
Ghea langsung memukul lengan Jauhar keras-keras. Pria itu hanya tertawa dan menutup mukanya untuk menghindar dari pukulan Ghea. Astaga. Muka Ghea udah kayak terbakar rasanya. Kenapa Jauhar masih ingat panggilan laknat itu sih? Itu kan panggilan kesayangan waktu Ghea masih dalam masa pertumbuhan jadi remaja. Jadi wajar kalau agak lebay begitu.
Tapi kalau dipikir-pikir, pantatnya Mas Zebra masih seksi deh—ralat, tambah seksi maksudnya. Ghea cengengesan enggak jelas.
“Tadi ngamuk. Sekarang ketawa-tawa sendiri. Dasar labil.” Jauhar menyentil dahi sang adik kuat.
Ghea meringis.“Pokoknya Abang kalau ketemu sama Mas Zebra jangan bilang-bilang soal panggilan itu, ya! Malu aku. Jatuh pasarannya ntar.”
Jauhar tertawa lagi. “Oke. Asalkan kamu ngijinin Abang nyingkat nama Zebra jadi Bra.”
“ABANG!”
Astaga. Dari dulu abangnya memang enggak pernah berubah. Selalu seenaknya kalau ngomong. Tapi meski begitu, Ghea tetap sayang sama Jauhar. Sebab hanya dia satu-satunya saudara yang Ghea punya.
***
Ghea menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, memeluk boneka sapi kesayangannya yang ia beri nama Mou-Mou. Mou-Mou sendiri sudah menjadi temannya sejak kelas satu SD, pemberian Mama ketika Ghea mendapatkan peringkat satu saat kenaikan kelas. Masih Ghea simpan meski warnanya mulai menguning dan usang. Sebab Mou-Mou adalah kawan curhat pertama Ghea sebelum Renisha dan Deandra.
Bersandar di kepala ranjang, Ghea mengelus puncak kepala Mou-Mou lembut. Otaknya memutar ulang pertemuan dengan Zebra tadi sore. “Kenapa Mas Zebra tiba-tiba dingin banget kayak kulkas ya, Mou? Ya emang sejak kecil dia udah jutek sih. Tapi yang tadi itu keterlaluan. Masa dia enggak mau dipanggil Mas Zebra? Padahal nama Zebra itu kan kyut abis.”
Ghea mengambil camilan keripik kentangnya di atas nakas dan memakannya lahap. “Kok kamu cuma diem aja sih, Mou? Kasih tanggapan, kek. Jangan cuma cengar-cengir doang.” Ia menyentil jidat lebar sang boneka. “Oh ya, Mou. Kamu inget nggak pas Mas Zebra pindah ke rumah samping kita tujuh tahun lalu? Aku pernah ngasih dia gantungan kunci bentuk hewan zebra. Kira-kira dia masih nyimpen nggak ya?”
Ghea terdiam, sejenak, seolah sedang berpikir. Kemudian tawanya pecah. “Ya kali masih disimpen. Emangnya aku siapanya dia? Dianggap temen juga bukan kayaknya. Kok kesannya kayak ngenes banget ya hidupku.”
Dering ponsel Ghea terdengar. Ia meletakkan Mou-Mou di samping ranjang dan mengambil ponselnya. Ada pesan w******p dari nomor baru. Kening Ghea berkerut dalam ketika melihat isi chat yang tertera:
Besok saya bawakan surat perjanjiannya. Ketemu jam makan siang.
Ghea melihat foto profil nomor itu dan menemukan wajah tampan Zebra di sana. Enggak terlihat jelas karena pria itu memiringkan kepala. Terlihat lebih cool, tambah ganteng juga karena Zebra memakai seragam khas TNI yang berwarna blue mint. Daebak! Gagah banget, astaga. Minta langsung dikawinin kalo gini mah.
Ghea cengengesan sendiri. Ia lalu membaca pesan itu berulang-ulang, seolah masih tak percaya jika Zebra mengiriminya pesan singkat. Menggigit bibir bawahnya, Ghea berguling ke samping kiri dan mulai mengetikkan balasan:
Oke.
Singkat, padat, dan jelas karena tipe cowok semacam Zebra itu memang harus pakai cara halus buat narik perhatiannya, enggak boleh terkesan murahan tapi juga enggak terlalu jual mahal. Yang sedang-sedang saja.
Eh tapi, Zebra dapat nomor ponselnya dari mana ya? Perasaan Ghea enggak pernah kasih ke Zebra deh.