BAB 4. JauharGhea terbangun ketika hidungnya mencium aroma masakan. Seperti bau telur dadar goreng dan mentega leleh. Otak Ghea masih setengah sadar ketika ia mengerjapkan mata perlahan. Memangnya siapa yang memasak di dapurnya pagi-pagi begini? Perasaan Ghea tinggal sendiri deh. Menyingkap selimutnya, Ghea buru-buru keluar kamar dan menuju dapur.
Sesosok punggung tegap sedang membelakanginya, berkutat pada penggorengan di atas kompor. Ghea berkedip.
Ini enggak mungkin tiba-tiba Mas Zebra ada di dapurnya dan masak, kan?
Pertanyaan Ghea terjawab ketika pria itu balik badan dan menatap Ghea dengan berkacak pinggang. Astaga! Ghea baru ingat jika Jauhar menginap di sini semalam. Efek Mas Zebra memang sedahsyat ini ya?
“Kamu belum mandi, Dek?” Jauhar menyipitkan matanya menyelidik. Dengan spatula yang masih teracung di tangan kanan, pria itu tampak cute menggunakan celemek bergambar animasi sapi milik Ghea.
Ghea berkedip jahil, menyeringai, lantas duduk menghadap Jauhar sambil bertopang dagu. “Aku enggak mandi mah masih keliatan cantik. Beda sama Abang yang mirip orang-orangan sawah kalo bangun tidur.”
Jauhar berdecak, kembali pada kegiatannya menggoreng telur. “Belek segede kudanil gitu dibilang cantik. Ngaca dulu atuh Neng.”
“Gak punya kaca, Bang. Adanya cuma cermin. Gimana dong?” Ghea berkedip lucu. Yang sayangnya tidak dilihat Jauhar karena pria itu sedang sibuk menaruh telur buatannya ke atas piring.
“Kamu tuh, Dek. Abangnya dateng bukannya dibikinin sarapan malah yang bikinin kamu sarapan. Kan kebalik.” Jauhar menaruh telur dadar buatannya ke atas meja makan, membuat air liur Ghea hendak menetes karena tergiur.
Ghea meringis, menatap kakaknya dengan raut bersalah. “Sorry.”
Jauhar hanya mengangguk dan mulai menyendok nasi ke atas piringnya. “Abang cuma bisa masak telur. Kamu bisa ikutan makan kalo mau.”
“Okey!” Ghea berujar dengan nada kelewat antusias. Kapan lagi bisa makan masakan Bang Jo yang super enak itu? Ghea juga kadang heran. Padahal cuma telur dadar saja, tapi bisa enak kalo Bang Jo yang masak. Beda banget sama bikinan Ghea.
Ghea mulai menyuap makanannya. Perpaduan nasi uduk panas sama telur emang enggak ada duanya deh. Lidah Ghea rasanya kayak lagi pesta di dalam sana. Cuma kurang sambal terasi saja biar tambah mantap.
“Kamu beneran gak pengin kuliah, Dek?”
Ucapan Jauhar membuat gerakan Ghea yang sedang menyuap terhenti sejenak. Ia menghela napas dan menaruh sendoknya ke atas piring. “Ghea sih mau-mau aja, Bang. Tapi kan, Abang tahu sendiri kalo Ghea masih sibuk ngurusin kedai? Baru jalan satu tahun belum kerasa profitnya. Bulan kemarin aja rugi.”
“Kamu umur berapa sih, Dek? Dua satu ya? Mau kuliah sampai umur berapa? Tiga puluh? Kalo kamu butuh tambahan biaya, Abang masih bisa bantu kok.” Tatapan Jauhar berubah serius. Ia sudah selesai makan dan menyingkirkan piringnya ke samping.
Nafsu makan Ghea mendadak hilang. “Tapi kan, nanti kalo Ghea sibuk kuliah, yang ngurus kedai siapa?”
“Dek.”Suara Jauhar melembut. “Cukup Abang aja yang enggak kuliah. Abang enggak mau kamu ikut-ikutan kayak Abang. Coba kalo dulu kamu dengerin Abang buat kuliah dulu baru buka usaha. Pasti enggak bakal gini jadinya.”
Ya. Empat tahun lalu ketika kedua orangtuanya meninggal, Ghea memutuskan buat memakai uang warisan orangtuanya untuk mendirikan kedai es krim—hal yang menjadi mimpinya bahkan semenjak kelas satu SMP—dan bukannya menuruti Jauhar untuk memakai uang itu untuk biaya kuliah.
Bukannya Ghea tak mau kuliah. Hanya saja... dia terlalu malas buat berhubungan sama yang namanya pelajaran dan rumus. Apalagi katanya tugas kuliah itu berat-berat. Bisa mati berdiri Ghea nantinya.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kuliah itu memang penting banget. Apalagi zaman sekarang yang nyari kerja serba susah, tapi Ghea juga enggak mau membebani abangnya lebih banyak lagi. Lagipula, Ghea juga sudah punya usaha sendiri kan? Jadi kuliah sudah enggak begitu penting buatnya. Toh diluaran sana malah banyak sarjana yang masih menganggur.
Ghea mendesah pendek. Bukan Jauhar namanya kalau enggak maksa. Kasih jawaban kalau Ghea malas kuliah akan membuat semuanya makin runyam.“Nanti deh. Kalo kedaiku profitnya seratus juta per bulan.”
Satu jitakan langsung mendarat dengan mulus di kepalanya. Jauhar melotot tajam.“Keburu jadi perawan tua ntar.”
Bibir Ghea mengerucut ke bawah. Ia segera menjauhkan tangan Jauhar dari dahinya. Otaknya langsung mencari jawaban yang paling aman.“Entar deh Ghea pikir-pikir lagi.”
Jauhar menaikkan alis, lalu menghela napas. “Kalo bisa secepatnya, ya. Abang nggak mau kalau suatu saat nanti kamu direndahin sama orang-orang karena enggak lanjut kuliah.”
Ghea mengangguk singkat. “Okey.” Dia melanjutkan sarapannya yang tertunda. “Oh iya. Abang di sini sampe kapan?”
“Kamu ngusir?”
“Astagfirullah.” Ghea memegang dadanya dramatis. “Enggaklah. Kan, cuma nanya. Kalo di sini lama kan aku mau ngajakin jalan-jalan. Udah lama kita enggak jalan bareng.”
Jauhar menghela napas berat. “Sorry, Dek. Siang ini abang udah harus balik.”
Raut tidak rela langsung tercetak jelas di wajah Ghea. Jauhar baru saja datang tadi malam, tapi kenapa sekarang harus pergi lagi? Apa dia tidak merindukan Ghea?
Satu tahun tinggal di Bali membuat Jauhar semakin terasa jauh. Oke, Ghea tahu kalau Jauhar punya galeri seni di Bali yang tidak bisa ia tinggal terlalu lama, tapi Ghea benar-benar merindukan pria itu. Apalagi ini pertemuan pertama semenjak dua bulan lalu.
Dan Ghea... sangat benci dengan kenyataan bahwa dia tidak bisa tinggal serumah dengan abangnya sendiri.
***
Setelah mengantar Jauhar ke bandara, Ghea langsung pergi ke kedai. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya; pukul setengah dua siang. Dia sudah telat setengah jam dari perjanjian awal. Dia hanya bisa berdoa dalam hati supaya Zebra tidak memarahinya gara-gara ini, apalagi sampai batal memberikan modal.
Ah iya, Ghea bahkan lupa memberitahu Jauhar masalah ini. Salah satu kebiasaan buruk yang dirinya sesali sampai sekarang. Tapi, ada untungnya juga Ghea tidak memberitahu Jauhar. Biar saja ini menjadi kejutan buat abangnya ketika melihat usahanya kian berkembang.
Ghea menahan debaran jantungnya agar tidak semakin keras ketika memasuki kedai. Menatap ke seluruh penjuru, ia menemukan seseorang berseragam tentara berwarna blue mint di pojok kanan kedai—seperti warna seragam yang dikenakan Zebra di foto profil w******p.
Ghea langsung menyadari sesuatu. Jangan-jangan itu Mas Zebra lagi! Ghea buru-buru mendekati tempat Zebra, setengah berlari hingga membuatnya nyaris terbelit rok yang ia kenakan.
Napas Ghea terasa memburu ketika sampai. Ia meringis saat melihat wajah tampan Zebra yang memasang raut datar—setengah dingin. Ghea buru-buru menangkupkan kedua tangannya ke depan d**a, merasa bersalah. “Maaf telat, Mas. Aku tadi nganter—”
Ucapan Ghea terhenti ketika Zebra mengangkat tangannya. Dengan isyarat mata, ia meminta Ghea agar segera duduk di depannya. Ghea menurut dengan embusan napas. Langsung berhadapan dengan wajah dingin Zebra yang masih belum melunak.
Astaga, Zebra benar-benar marah ya?
“Saya enggak punya banyak waktu.” Pria itu menggeser setumpuk kertas ke hadapan Ghea. “Jadi segera tanda tangani karena sepuluh menit lagi saya sudah harus pergi.”
Nyali Ghea menciut. Ia segera mengambil pulpen dan mulai membaca tiap baris kata yang tertera di sana, mencoba memahami. Tapi rasanya Ghea gagal fokus karena ia merasakan tatapan Zebra seakan menelanjanginya. Dia baru akan membaca dua lembar terakhir ketika suara Zebra kembali menginterupsi.
“Faster please.”Ada nada mendesak dalam suaranya, membuat Ghea mendesah dan segera membalik kertas itu ke halaman terakhir, membubuhkan tanda tangannya di atas materai tanpa membaca lagi.
“Sudah,” balasnya sambil menyerahkan kembali kertas itu ke depan Zebra.
Zebra mengangguk, dengan cekatan menaruh surat perjanjian itu ke dalam map. Ia melipat tangannya di atas meja dan berujar, “Kamu WA aja nomer rekeningmu. Abis ini saya transfer uangnya.”
Tidak ada basa-basi.
Ghea menggerutu kesal dalam hati. Padahal dia masih mau melihat penampilan Zebra yang tampak gagah dan memesona seperti ini; dalam balutan seragam tentara—yang Ghea baru sadari bahwa Zebra termasuk TNI angkatan udara. Ghea bahkan nyaris meneteskan liur ketika seragam itu bahkan mencetak jelas tubuh atletis milik Zebra.
Ghea jadi berasa lagi main drama Descendants of The Sun. Bedanya cuma Ghea bukan dokter dan Mas Zebra tidak se-gentle dan semanis Song Joong Ki.
Ghea baru akan bertanya ketika Zebra berdiri dari duduknya, memakai topi baretnya yang tergeletak di meja. “Saya harus pergi.”
Sejenak, Ghea terpana. “Tapi Mas—”
“Weekend saya ke sini lagi,” potong Zebra sebelum tergesa-gesa keluar dari kedai.
Dan, Ghea hanya bisa menatap punggung tegap Zebra sambil menghela napas berat. Sepertinya dia memang harus terbiasa dengan sikap Zebra yang terburu-buru dan suka memotong ucapan orang lain.
***