BAB 5. Jalan
Ghea mengusap wajahnya yang belepotan tepung dengan kain basah. Setelahnya ia menaruh adonan cupcake yang sudah ia susun di atas loyang ke dalam oven. Hanya tinggal menunggu saja hingga cupcake perdana buatannya matang. Ghea memutuskan untuk membuat menu baru hari ini; Zebra's cupkrim with choco lava.
Nantinya, setelah cupcake buatannya matang, Ghea akan melubangi bagian tengah cupcake itu dan menggantinya dengan es krim vanilla, menambahkan potongan cupcake yang tersisa ke atasnya dan siraman sirup cokelat sebagai sentuhan terakhir. So perfect. Pikir Ghea jumawa. Padahal ini baru nyoba-nyoba sih, enggak tahu nanti hasilnya bakal jadi kayak apa.
“Nanti ingetin gue kalo cupcake-nya mateng ya, Ar.” Ghea menepuk bahu Arman pelan sebelum melepas celemeknya yang penuh tepung.
“Siap, Bos.” Arman mengacungkan jempolnya dan kembali sibuk membuatkan pesanan pelanggan.
Ghea berjalan ke ruang kerjanya dan menutup pintu, mulai sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sudah satu minggu berlalu semenjak kedatangan Zebra. Ketika mengecek saldo rekeningnya, mata Ghea nyaris keluar dari rongga ketika melihat nominal yang tertera di sana; seratus juta rupiah.
Ghea bahkan tidak pernah bermimpi mempunyai uang sebanyak itu dan sekarang Ghea justru bingung harus diapakan uangnya? Bahkan rencana-rencana yang sekian lama tersusun diotaknya kini buyar sudah. Bukannya Ghea tidak senang punya tambahan modal sebanyak itu. Hanya saja, Ghea bingung untuk mengakumulasikan uang itu agar kedainya semakin maju.
Salah-salah malah Ghea membuat kedainya rugi dan modal pinjaman Zebra tidak bisa ia kembalikan. Kalau dituntut ganti rugi kan berabe.
Ghea mendesah, menyandarkan punggungnya ke kursi. Matanya memandang kosong pada potret keluarga besarnya di atas meja. Ada kedua orang tuanya yang tersenyum lebar, dengan Jauhar dan dirinya di tengah-tengah.
Andai saja kedua orang tuanya masih hidup, pasti Ghea tidak akan sebingung ini.
Suara ketukan pintu membuat lamunan Ghea mendadak buyar.
“Bos Ge, ada Mbak Dean di depan.”
Senyum Ghea seketika melebar saat nama Deandra disebut. Ia segera keluar pintu dan mengabaikan Arman yang masih berdiri di samping pintu, menatapnya bingung. Lalu ketika langkah Ghea melewati dapur, hidungnya membaui sesuatu yang gosong.
Sontak ia menjerit saat menyadari sesuatu. Bola matanya membesar. “Arman! Cupcake gue kenapa nggak lo angkat!”
Ghea setengah berlari saat mengambil cupcake perdananya dari dalam oven. Dilihatnya bentuk cupcake itu yang terlalu mengembang, warna agak hitam dan bau gosong yang langsung memenuhi udara. Mulut Ghea ternganga, rautnya menyiratkan kekecewaan.
Experimen is failed. Mungkin Ghea masih harus belajar lagi.
Tak lama kemudian, Arman muncul dengan raut tanpa dosanya. Ia menatap hasil pekerjaan Ghea dengan dahi berkerut. “Eh, kok cupcake-nya gosong? Gajadi launching menu baru dong.”
Ghea berkacak pinggang dan menatap Arman kesal. “Ini semua gara-gara lo, pe'a! Gak peka banget sih jadi orang!”
“Loh. Kok jadi salah gue sih,” balas Arman dengan raut bingung setengah bloon.
Astaga. Rasanya Ghea pengin nyiram Arman pakai air kobokan deh, beneran. Kok bisa ya cowok macam Arman kuliah jurusan teknik industri. Kayak enggak cocok sama sifatnya yang kadang tulalit.
Menghiraukan Arman, Ghea langsung ke depan buat menemui Deandra yang pasti sedang menunggunya dengan bibir maju lima senti sekarang.
Tapi sebelum itu, Ghea menyempatkan diri membuatkan satu gelas es krim spesial untuk Deandra. Eh, bukan. Tapi buat calon keponakannya yang udah tujuh bulan di dalam perut Deandra. Ya, kalau perhitungannya tidak salah sih.
Selesai dengan es krimnya, mata Ghea mengedar ke segala penjuru. Dilihatnya Deandra yang sedang duduk di tempat yang sama dengan Zebra kemarin—sendirian—dengan mata yang tertuju ke ponsel.
“Laki lo nggak ikut?” Ghea meletakkan es krim itu ke depan Dean dan duduk di sampingnya.
Deandra mendongak, tersenyum lebar saat melihat segelas es krim besar yang baru ditaruh Ghea. “Wah. Tau aja kalau anak gue lagi ngidam es krim vanilla.”Ia langsung menyendok es krim itu ke dalam mulut. Tatapannya penuh binar ke arah Ghea. “Makasih aunty Ghea. Gratis kan ini.”
Ghea memutar bola mata. “Gaji laki lo sebulan berapa sih? Masa bayarin es krim dua puluh ribu aja enggak sanggup.”
Deandra mencebikkan bibir. “Beda tahu rasa es krim gratisan sama yang bayar.” tangannya beralih untuk mengusap perutnya yang membuncit. “Dedek bayi juga sukanya yang gratisan.”
“Astaga.” Ghea berdecak. “Ini orang pinter banget ya ngerayunya.”Kemudian ia tertawa kecil. “Iya deh, buat ponakan aunty mah sampe gerobak-gerobaknya juga dikasih.”
“Makasih aunty.” suara Deandra dibuat seperti anak kecil dan Ghea tergelak lagi.
Setelah tawannya berhenti, Ghea menyandarkan punggung dan menatap Deandra dari samping. Sahabat baiknya itu terlihat lebih bahagia sekarang, dengan rona wajahnya yang cerah dan senyum yang senantiasa terkulum lebar. Ghea jadi menebak sebahagia apa pernikahan sahabatnya ini.
Ghea berdeham dan kembali memulai obrolan. “Jadi lo ke sini ceritanya cuma nyari gratisan? Kaivan gak ikut?”
Wanita itu menggeleng. Menyendokkan es krimnya lagi dan berujar. “Dia kerja. Gue ke sini naik taksi tadi.”
Kening Ghea berkerut. “Kalo tahu lo naik taksi gitu enggak marah emang orangnya?”
Deandra tertawa. “Marahlah. Tapi gue mah bodo amat. Siapa suruh hari minggu masih kerja, dari abis subuh pula berangkatnya. Biarin aja dia nyariin sampe botak.”Ia menyendok es krimnya lagi dengan sikap cuek.
“Dasar.” Ghea geleng-geleng. Ia bersedekap dan menatap taman kecil di sebelah kanan kafe, masih setengah jadi. Ia teringat dengan modal yang diberikan Zebra.
“Lo kalau punya uang seratus juta mau lo apain, De?”
Ucapan Ghea membuat Deandra menghentikan kegiatannya. Ia berkedip dua kali dan tersenyum lebar. “Buat beli boks bayi yang ada lapisan emasnya.”
Bibir Ghea maju lima senti. “Gue serius tahu, De. Gue kemarin dapat modal banyak dari orang dan sekarang gue bingung mau diapain.”
Dean meletakkan gelasnya ke atas meja. Kali ini mengalihkan atensi sepenuhnya sama Ghea. “Jadi lo dapet modal tambahan seratus juta?”
Ghea mengangguk.
“Atas dasar apa itu orang mau ngasih lo duit begitu banyaknya? Kalo gue sih mikir seribu kali buat nanem modal ke elo. Apa coba yang diuntungin dari kedai kecil gini?” Deandra kembali tak acuh dan memakan es krimnya lagi.
Ini orang songong banget ya. Kalau bukan sahabat mah udah gue lempar pake kursi lipat dari tadi. Ghea mengumpat dalam hati.
Tapi, kalau dipikir-pikir, ucapan Deandra ada benarnya sih. Kenapa Zebra berani menanam modal sebanyak itu padahal dia belum tahu usaha ini akan berkembang sejauh apa?
“Eh tapi kalo gue jadi lo sih duitnya mau gue buat promosi, bikin menu baru sama benerin kolam ikan lo yang masih setengah jadi.”
Ucapan Deandra membuat Ghea kembali tersadar. Ia menatap kolam yang dibicarakan Dean dan meringis. Iya juga sih. Ghea mungkin bisa memperluas kedai juga biar ada tempat duduk di luar kedai, diberi meja bundar dan payung-payung besar sebagai atapnya, ditambah lampion warna-warni biar tambah cantik saat malam hari.
“Ghea.”
Terus nanti, bisa sekalian ditambah air terjun kecil biar suasana asri dan hijaunya lebih terasa. Ghea juga bisa membeli pernik-pernik berbau sapiatau animasi berbentuk hewan zebra kalau perlu.
“Ghea! Lo budek ya?”
Ghea meringis ngilu saat lengannya dicubit keras. Deandra sedang menatapnya dengan mata melotot kesal. “Apa, sih?” katanya sambil mengusap lengan yang berdenyut.
“Lo dicariin cowok ganteng.”Suara Dean sedikit merendah, tampak melirik takjub pada seseorang yang berdiri di belakang Ghea.
Kening Ghea berkerut dalam. “Siapa?”
“Di belakang lo.”
Ghea langsung membalikkan posisi badannya, menemukan Zebra yang berdiri tegap dengan balutan jaket kulit hitam dan celana jin. Rambutnya tertata rapi, wajah segar sehabis bercukur dantak lupa raut datar khas Zebra.
“Eh, Mas Zeb—Ardi, duduk dulu.” Ghea menunjuk kursi di depannya salah tingkah. Diam-diam meruntuki mulutnya sendiri karena hampir lupa memanggil dengan sebutan Zebra.
Ghea melotot ke arah Deandra saat lengannya disenggol. Sadar dengan kode yang diberikan Dean, Ghea kembali menatap Zebra dan mengukir senyuman. “Kenalin, Mas. Ini Deandra, temanku.”
Zebra mengulurkan tangan, yang dibalas dengan senang hati oleh Dean. “Ardi,” ujarnya tersenyum tipis.
“Deandra,” balas Dean sok manis. Senyumnya selebar telapak tangan.
Ghea cuma menghela napas pendek.“Mau minum apa, Mas? Biar aku ambilin.”
“Enggak usah. Saya ke sini mau ngajak kamu pergi sebenarnya.”Ia menatap Dean dengan pandangan ragu. “Tapi kamu lagi ada tamu, jadi mungkin—”
“Jalan aja, enggak apa-apa. Saya juga mau pulang kok,” potong Deandra tiba-tiba. Dia langsung berdiri dari tempat duduknya, tersenyum lebar dan mengerling jahil ke arah Ghea. “Itu suami saya udah jemput,” lanjutnya lagi, sambil menunjuk seseorang yang baru saja memasuki kedai.
Benar saja. Ghea bisa melihat Kaivan datang dengan setelan kemeja dongker yang digulung sampai siku dan celana bahan. Dasi yang menggantung di lehernya sudah acak-acakan, raut wajahnya terlihat muram. Deandra sudah berjalan menghampiri Kaivan bahkan sebelum pria itu menyadari keberadaan mereka.
Sepasang suami istri itu terlihat adu mulut sebelum sang pria akhirnya mengalah dan merangkul bahu istrinya keluar kafe.
Saat itulah Ghea merasakan hawa dingin melingkupinya. Ia memutar leher dan berhadapan dengan Zebra yang sudah menatapnya dengan sorot datar. Ghea meringis. “Tadi Mas ngomong apa?”
“Saya mau ngajak kamu jalan. Berdua.”
Ghea merasakan jika oksigen seakan sedang direnggut paksa darinya. Ini beneran Mas Zebra mau ngajak jalan?
Ghea semalam mimpi apa, sih?
***