Playboy or Gentleman?

809 Words
Sebagai bungsu, seharusnya Lousfia Tanya Hartono lebih manja kepada kedua orangtuanya, namun nyatanya si kakak alias playboy cap sendok bernama Jayler Haidan Hartono selalu mengambil seluruh perhatian apalagi dari Mami. Sudah berkepala tiga tapi tetap berperilaku seperti anak kesayangan jika sudah kumpul keluarga. "Kamu nginep ya, Jay." Amarose berkata kepada putranya ketika makan malam sudah selesai. "Lama banget kamu nggak nginep di sini." "Nggak selama itu, ah. Bulan lalu aku pulang, Mi." Jayler menjawab sesuai kenyataan. “Aku gampang kangen sama mami.” "Berarti sekarang harus menginap, ya. Jangan ada alasan.” "Oke. Tapi aku mau ke hotel dulu sebentar." "Ada sesuatu mendesak, son?" Tuan Rahagi Cakrawangsa Hartono bertanya kepada Jayler. "Cuma kerjaan kecil, Pi. Nggak ada masalah serius.” "Kalau kecil, suruh Bone aja yang handle." Amarose kembali berkata. "Aku bisa handle sendiri,” kata Jayler. "Mau ketemu orang penting?" Lou bertanya dengan nada mengejek. Pasti kakaknya itu hendak menemui seorang perempuan. Bukannya Jayler tidak modal karena check in di hotel sendiri, tapi Haidan itu penginapan elite. Lou tahu Jayler memperlakukan teman wanitanya dengan sangat baik. Contohnya fasilitas kamar mewah. Kalau Jayler sedang ingin pamer, teman wanitanya diajak ke Singapur cuma untuk menginap semalam. Beberapa hadiah mahal juga sering Jayler berikan secara cuma-cuma yang penting ia senang. Jayler tidak menjawab adiknya yang sinis, dia memundurkan kursi lalu berdiri. "Pergi dulu, ya." "Mami ikut ke Haidan dong." Ucapan Amarose menghentikan langkah Jayler. Jayler mengerutkan keningnya. "Aku pergi sebentar aja, Mi. Nanti pulangnya ke sini." "Ya pokoknya mau ikut!” ucap Amarose seperti perintah. "Alright. Mami cantik boleh ikut." Jayler tidak mungkin menolak permintaan Yang Mulia Amarose Tan Hartono. Di samping karena Jyaler sangat menyayangi mami, itu juga karena ia sedang malas berdebat.  "Tapi jangan protes kalau agak lama ya, Mami,” kata Jayler seolah tahu kebiasaan maminya.  Amarose Tan Hartono memiliki suami serta anak seorang pengusaha dan sang nyonya itu tak pernah tahan berlama-lama menunggu suaminya bekerja. Pasti jika Amarose ikut dengan Jayler ke hotel, Amarose akan mengeluh apabila waktu menunggunya terlalu lama. "Jangan lama-lama lha, kan katanya urusan kecil." Amarose menyindir Jayler. Membuat Jayler terkekeh sedikit. "Iya, oke, Mamiku...." "Tamunya penting banget, kak? Di kamar mana? Luxury suite?" Lou meledek Jayler lagi. Jayler hanya menatap adiknya seolah berkata, "Gembel, diem lo."  *** "Ada Mami aku, Rin." "Mami kamu bisa nunggu." Oretha Irin sibuk memberikan kecupan di pipi serta dagu Jayler ketika lelaki itu menutup pintu kamar hotel bernomor 241. "Mami aku nggak bisa nunggu, Rin. Kamu kenal Mami aku,” ucap Jayler mencoba menghentikan kegiatan yang sebenarnya sangat ia sukai. Tidak mau peduli, Irin semakin merapatkan tubuhnya pada sosok tegap beraroma menyegarkan—terkesan kuat menenangkan perpaduan antara kayu-kayuan dengan bergamot dan fresh citrus. "Gimana kerjaan kamu, Irin?" Jayler adalah pengalih terbaik. Lagipula ia benar-benar ingin tahu kabar Irin setelah wanita itu melakukan pemotretan di Seoul selama seminggu untuk brand tas terkenal.  Seks adalah kegiatan hebat yang dilakukannya dengan Irin, namun menjadi gentleman yang perhatian juga menjadi kebiasaan Jayler. "Good." Irin bergumam tepat di depan bibir Jayler. "Dan aku kangen kamu." "Aku nggak bisa lama," ucap Jayler ketika perempuan cantik di dekapannya terus mencuri beberapa ciuman. "Aku memakai lingerie dari kamu," kata Irin kepada Jayler dengan sensual. "Ya. Cocok untuk kamu." Jayler memeluk pinggang Irin dengan tangannya yang besar. "Cantik, Rin. Cantik sekali." "Mau melihat apa yang ada di balik lingerie-nya, Tuan Jayler?" Irin mengucapkan itu bersamaan dengan kedua tangan mungilnya mengusap pinggiran kerah dari coat yang dikenakan Jayler. Mengajak—menarik perhatian. Jayler menunduk, jarak dengan bibir Irin setipis kertas. "Tapi aku sudah melihat semuanya," ujarnya berupa bisik dalam. "Semuanya?" Irin sengaja menarik kerah coat Jayler sehingga bibir mereka nyaris bersentuhan. Penghalang tidak ada. Waktu dan suasana menjadi kawan. Ini ruangan private, mereka berdua bisa melakukan apa saja. "Ya. Semuanya." Jayler mengecup bibir atas Irin dengan perlahan saat tangan kanannya menekan pinggang wanita itu memberikan rasa nyaman agar ciuman mereka bisa lebih serius. "Aku harus pergi," ujar Jayler dengan sangat terpaksa menyudahi ciuman yang hampir panas itu. "Aku nanti telepon kamu." Irin masih memeluk Jayler, menurutnya lelaki itu malam ini dua kali lipat lebih seksi. Biasanya Jayler tidak akan mengancingkan kemejanya—pamer dadanya, namun kali ini Jayler mengenakan turtleneck. Jelas Irin tahu soal makan malam keluarga Hartono dan Jayler selalu tampak manis—seperti anak baik—di hadapan papanya. Jayler dan dua kepribadiannya; sopan—terlihat terdidik di luar, tapi sangat panas di atas tempat tidur. Jayler bisa menjadi apa saja dengan suaranya yang berat dan wajah tampannya itu. "Kita bisa makan malem besok, oke?" Jayler menyelipkan rambut Irin ke belakang telinga. Memajukan wajahnya sekali lagi untuk mengecup pangkal hidung wanita itu. "Kamu cantik banget. Aku mau sama kamu di sini tapi Mami pasti ngamuk kalau aku terlalu lama. Sorry." "Oke." Irin mengangguk paham dan akhirnya melepaskan diri. "Good night, Jayler." "Good night,beautiful." []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD