"Sat, lu udah bangun?" tanya Bu Mae menghampiri putranya yang sedang meraih gelas di atas meja.
"Bu, masa orang lagi tidur bisa ngambil gelas? Ya jelas saya sudah bangun," balas Satria sambil memutar bola mata malasnya. Bu Mae menyeringai, lalu meletakkan bokongnya dengan pelan di tempat tidur Satria. Persis di ujung kaki putranya.
"Sini, turun sebentar! Ada yang mau Ibu tanyain. Jangan sampai kedengaran Haya, Ibu malu," ujar Bu Mae sambil berbisik pada putranya. Satria menurut dengan langkah yang masih gontai berjalan ke arah sofa depan TV.
"Ada apa sih, Bu? Kayaknya penting banget," tanya Satria penasaran.
"Sat, temen lu yang namanya Ramlan udah nikah belum?" Satria mengernyit saat mendengar sebuah pertanyaan aneh dari ibunya.
"Setahu saya belum, Bu. Emangnya kenapa? Ibu mau jodohin Ramlan sama Mak Piah? Ha ha ha ... saya dukung."
Sstt .... Bu Mae meletakkan telunjuknya di bibir.
"Sini, gue bisikin!" Bu Mae mendekat pada telinga Satria, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Bu, demit juga kayaknya gak minat nguping pembicaraan kita," komentar Satria sambil tertawa pelan.
"Sat, kayaknya Ramlan karyawan lu, demen sama Ibu."
"Apa?!" mulut Satria terbuka dengan sangat lebar. Begitu juga dengan dua bola matanya yang terbelalak hingga seperti akan terlepas dari tempatnya.
Puk! Puk!
Bu Mae memukul pundak Satria dengan gemas karena memekik dengan keras.
"Ish, jangan berisik! Ibu malu," kata Bu Mae lagi dengan wajah merona.
"Ibu tahu darimana Ramlan demen sama Ibu? Ya Allah, Bu, Ibu itu jangan kebanyakan rumpi sama Mak Piah, jadi ketularan ganjennya Mak Piah. Bu, nih, Satria kasih tahu, Ramlan itu biar dikata muka seadanya, rejeki seada-adanya,tetap gak mau milih demen sama wanita yang sudah dalam antrean malaikat maut," papa Satria sesaat, kemudian tertawa sambil menutup mulutnya.
"Tuh, bau kembang kuburan!" Satria mengendus ibunya yang diikuti dengan dua jeweran di telinga lelaki itu.
"Durhaka lu, Sat! Nih, gue mah gak bohong! Dia kirim WA begini, perhatian banget. Almarhum Bapak lu aja gak pernah nge-WA gue pas pacaran," ujar Bu Mae sambil memperlihatkan ponselnya pada Satria. Lelaki itu tidak langsung menerima benda pipih milik ibunya, tetapi Satria memilih menggunakan tangannya untuk menutup mulutnya dengan kuat agar tawanya yang keras tidak membangunkan Haya.
"Bu, ha ha ha ... Emang jaman Ibu dulu belum ada HP, Bu, gimana mau WA? Ha ha ha ... ya ampun, Ibu ada-ada aja!" Satria menggelengkan kepalanya. Bu Mae mencebik sambil melipat kedua tangan di d**a. Ia kesal dengan Satria karena terus saja menertawainya.
"Sini HP-nya, coba kita lihat apa isi WA Ramlan!" Satria mengambil ponsel ibunya yang diletakkan di atas meja. Matanya menyipit dalam saat membaca pesan dari karyawan sekaligus teman baiknya itu.
"Kenapa tidak Ibu balas? Tanya ada apa?"
"Malu, Sat, apa kata orang kalau tahu gue kirim pesan duluan sama berondong?"
"Ha ha ... Bu, Ibu bukan kirim pesan duluan, tapi Ibu membalas pesan. Dah, biar saya telepon aja Ramlan."
Satria menekan tombol panggilan.
"Sat, Ibu malu!"
Satria tak peduli, ia tetap menunggu Ramlan mengangkat panggilannya. Begitu suara krasak-krusuk terdengar dari seberang panggilan, Satria menekan tombol speaker.
"Halo, assalamualaikum, Bu Mae, maaf mengganggu tidurnya. Saya Ramlan, mau tanya ... Bang Satria masih malam pengantin ya? Ini, brosur motor saya kira-kira udah dibaca belum sama Bang Satria ya, Bu? Saya mau ketemu sama marketing dealernya hari ...."
Tut! Tut!
Satria langsung saja mematikan panggilan sambil tertawa.
"Tuh, bukan karena bocah tengik itu perhatian sama Ibu, tapi dia perhatian pada brosur motornya, ha ha ... Bu, Satria pernah berucap akan memberikan siapa saja motor jika mampu mencarikan saya jodoh sampai akhirnya saya menikah. Ramlan adalah orang yang mengenalkan saya pada Haya, jadi itu bocah nagih motor terus sama saya, Bu. Begitu ceritanya, Bu. Udah ya, saya mau tidur meluk istri lagi." Satria meninggalkan Bu Mae dengan wajah masam. Lelaki itu menarik tirai bilik, lalu kembali naik ke tempat tidur bersama istrinya.
Cepat sembuh ya, Sayang. Bisik Satria di telinga Haya.
Tidak lama kemudian, azan subuh berkumandang, Bu Mae tidak meneruskan tidurnya, melainkan mandi, berwudhu, dan langsung solat subuh. Satu tas yang ia bawa sudah lengkap isinya, termasuk mukena, pakaian ganti, handuk, dan juga selimut. Bu Mae memang sudah mempersiapkannya dengan matang. Bukan hanya pakaian miliknya, pakaian Satria dan Haya pun ada di dalam tasnya.
"Sat, bangun lu! Solat dulu," panggil Bu Mae pada putranya.
"Sebentar lagi, Bu," jawab Satria dari bilik.
"Sat, sekarang! Udah jam lima lewat," seru Bu Mae lagi.
"Sebentar, Bu," balas Satria lagi.
"Bang, solat dulu," bisik Haya sambil menyentuh lembut lengan suaminya.
"Mau pelukan dulu, Ya. Semalam belum sempat pelukan. Habis capek mompa, saya langsung gotong kamu ke rumah sakit. Biarin pelukan dulu," ujar Satria dengan manjanya pada Haya. Kepala Satria berada di Curug leher istrinya, mengendus aroma obat bercampur aroma percintaan.
"Satria, lu mau solat apa gue solatin," seru Bu Mae lagi dengan nada serius. Satria bangun dengan malas, lalu turun perlahan dari brangkar istrinya.
Selepas mandi dan solat subuh, Satria turun ke kantin rumah sakit untuk membeli makanan. Haya merengek lapar, begitu juga Bu Mae. Satria membeli beberapa buah roti, nasi goreng, dan juga teh manis hangat untuk ibu dan juga istrinya.
Kantin rumah sakit memang sudah menyiapkan menu sarapan sejak pukul enam tiga puluh, sehingga memudahkan para penunggu pasien untuk mengisi perut mereka.
Sambil menunggu pesanan, Satria mengetik pesan pada seseorang.
Bawakan motor NMax kemarin ke alamat bengkel ya.
Send
Satria tersenyum setelah pesan itu terkirim. Pantang baginya mengingkari janji, apalagi Ramlan sudah memberikan istri terbaik untuk dirinya. Haya adalah satu-satunya istri yang mampu mengimbanginya hingga tiga jam, sedangkan tujuh orang istri sebelumya, hanya mampu bertahan satu jam setengah. Bukan ia membandingkan, tetapi memang itulah kenyataannya. Ia berharap untuk ke depannya Asep Tyrex bisa dikondisikan.
Pukul sembilan pagi, Ramlan dan Sapto yang datang lebih dulu ke bengkel, sedang menikmati segelas kopi pagi. Tiga karyawan lainnya belum datang dan pelanggan juga belum ada.
"Ram, menurut lu, bos kita aman lagi hari ini? Gue pantau statusnya, gak ada posting apapun. Kalau sebelum-sebelumnya pasti akan ada status lagi di rumah sakit," tanya Sapto pada Ramlan.
"Aman kayaknya. Lagi bergerak terus di ranjang. Maklum, kalau sudah sama-sama berpengalaman biasanya lebih hot. Semoga aja Mbak Haya gak pingsan, apalagi dibawa ke rumah sakit, bisa-bisa motor yang buat gue, bannya tersisa satu doang, ha ha ha ...," timpal Ramlan sambil terbahak.
Sebuah mobil pick up berhenti di depan bengkel. Ramlan dan Sapto bangun dari duduknya, lalu menatap mobil itu dengan bingung. Ramlan berjalan menghampiri sang Sopir.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Ramlan heran sembari memandangi motor kece impiannya yang tidak berani ia minta pada Satria. Ia hanya berani meminta sekelas Honda Biit dan itu pun kalau benar-benar Satria memenuhi janjinya.
"Oh, ini saya diminta Pak Satria Kuat untuk mengantar motor ini untuk Pak Ramlan."
"Hah? Apa? I-ini motor buat saya? Saya Ramlan, Pak. I-ini, sebentar, saya keluarkan KTP saya kalau Bapak gak percaya." Dengan tangan gemetaran dan wajah pucat, Ramlan mengeluarkan dompet tipis yang tidak ada isinya kecuali KTP, pas foto 3x4, dan dua lembar uang lima ribu rupiah.
Hanafi Ramlan Prawira.
"Benar, sesuai dengan nama yang diucapkan kustomer saya. Saya turunkan dulu motornya ya. Ini, silakan pegang kuncinya."
Ramlan menatap tak percaya hadiah yang diberikan Satria padanya. Tubuh Ramlan melemah dan ia jatuh pingsan di teras bengkel karena terlalu gembira.