Ramlan baru sadar dari pingsannya setelah diberi minyak kayu putih pada hidung, tenggorokan, serta juga dua telapak kakinya yang dingin. Untunglah baru ada kustomer yang datang sehingga bisa di-handle oleh temannya yang lain.
"Akhirnya lu sadar juga, kalau nggak, pan lumayan motor buat lu jadi diwariskan ke gue. Secara nenek kita sepupu ipar," ujar Sapto sambil menyeringai.
"Enak aja! Mana mau gue mati meninggalkan motor baru. Yang ada kalau gue mati, motornya harus ikut gue masuk ke kuburan berserta kunci dan BPKB," balas Ramlan sengit.
"Mau balapan sama mayat yang lain lu? Atau pas mau digadein ada berkasnya? Ha ha ha ... Sakit lu, Raam!" keduanya tertawa terbahak-bahak. Sapto memberikan secangkir teh untuk Ramlan agar tenaganya kembali pulih.
"Gue telepon Bos Satria dulu, mau ngucapin terima kasih," kata Ramlan pada Sapto. Pemuda itu bangun dari duduknya, lalu berjalan keluar bengkel dan berdiri di bawah pohon pisang.
Eh, kok gak aktif nomornya? Apa karena pengantin baru ya? Ramlan bermonolog. Lalu ia kembali bergabung bersama teman-temannya sambil tersenyum memperhatikan motor impian berwarna merah marun.
Sore hari, Ramlan memberanikan diri untuk ke rumah Satria untuk memberikan ucapan terima kasih. Ia meminjam uang Murtadi tiga puluh ribu untuk mengisi bensin dan membeli martabak manis sepuluh ribuan untuk dibawa ke rumah Satria.
Sesampainya di sana, rumah Satria sepi dan tidak ada tetangga yang wara-wiri di depan rumah Satria. Ke mana bosnya? Apa bulan madu?
"Cali siapa, Bang?" seru suara seseorang yang tidak asing di telinga Ramlan.
"Saya cari Bang Satria, Mak," jawab Ramlan.
"Oh, Satlia di lumah sakit, istelinya pingsan lagi habis digempul. Siap-siap aja cele lagi," jawab Mak Piah dengan wajah masam.
"Ya Allah, beneran, Mak? di rumah sakit mana? Mak tahu gak?"
"Di lumah sakit Citla, lu lihat aja ke sono." Setelah mendengar ucapan Mak Piah, Ramlan langsung memutar motornya untuk menuju rumah sakit yang diberitahu Mak Piah. Jaraknya hanya lima kilo meter saja dari rumah Satria, mungkin memakan waktu setengah jam saja.
Begitu sampai di rumah sakit, Ramlan langsung bertanya pada resepsionis di mana kamar dari Nurhayati istri dari Bapak Satria kuat.
"Ramlan, ngapain lu kemari?" tanya Satria yang baru kembali dari kantin. Lelaki itu menghampiri Ramlan dengan wajah bertanya-tanya.
"Mau suntik putih, Bos, ya pasti mau nengokin Bos dan Haya. Gimana, Bos? Kok bisa kalah si Haya?" Satria pun menceritakan secara sederhana tentang kejadian yang menimpa istrinya.
"Bos serius? Tiga jam tanpa henti? Tanpa minum? Itu istri apa tawanan perang? Pantes aja!" Ramlan berdecih sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya.
"Iya, gue tahu gue salah. Gue udah minta maaf, sore ini gue mau konsultasi ke dokter spesialis. Biarin deh, demi Haya." Satria menunduk dengan wajah penuh rasa bersalah. Keduanya masuk ke dalam lift dan melanjutkan pembicaraan mereka sepanjang jalan menuju kamar perawatan Haya.
Haya tengah duduk bersandar sambil memakan buah potong. Wajahnya sudah lebih segar dan cerah, hanya saja ia belum bisa banyak bergerak karena luka pada organ intimnya.
Ia tersenyum saat langkah kaki suaminya semakin dekat ke bilik.
"Sa, eh ... Ya, pakai dulu kerudungnya, ada Ramlan," seru Satria yang salah menyebut panggilan. Semoga Haya tidak menyadarinya.
"Eh, Bang Ramlan," sapa Haya ramah yang sudah memakai kerudung, saat tirai bilik dibuka suaminya.
"Gimana, Mbak? Udah baikan?" tanya Ramlan penuh simpati.
"Udah kok, mungkin besok bisa pulang. Terima kasih udah jenguk saya," kata Haya sambil tersenyum.
"Sama-sama, Mbak, saya ke sini mau mengucapkan terima kasih untuk motor pemberian Bos Satria. Mimpi apa saya, mintanya A dikasih malah A plus plus, makasih buat Bos Satria dan Mbak Haya. Semoga rejekinya berkah selalu dan langgeng pernikahannya," ucap Ramlan tulus.
"Iya, Ram, gue juga makasih, udah dikenalin dengan istri hebat seperti Haya." Satria duduk di dekat istrinya sambil merangkul pundak Haya dengan penuh sayang.
"Foto dulu ya." Ramlan mengambil ponsel, lalu memotret Satria yang tengah merangkul Haya yang tangannya masih tertancap jarum infus. Ketiganya berbincang sejenak, lalu Ramlan pun pamit pulang.
Sebelum naik ke atas motor barunya, Ramlan membuat status WA dengan memasang foto Satria dan Haya.
Semoga lekas sehat istri majikanku. Terima kasih untuk hadiah motornya. Sayang kalian berdua pokoknya.
Status lebay Ramlan tentu saja dibaca Salsa yang saat ini tengah berada di butik daster miliknya.
Sakit apa?
Send
Salsa bertanya pada Ramlan lewat pesan.
Kelamaan digoyang, Mbak, ha ha ha ... Pengantin baru maruk.
Salsa mengangguk paham.
Di rumah sakit mana?
Ada deh, he he ...
Salsa memutar bola mata malasnya. Ia tahu mengapa Ramlan enggan memberitahu, pasti karena ia tidak mungkin memberitahukan pada wanita yang pernah dengan mentah-mentah menolak bosnya.
Dua hari berlalu dan sore ini Haya sudah kembali berada di rumah suaminya. Samudra yang sangat rindu dengan ibunya, tentu saja langsung melahap asi Haya tanpa henti. Jika bayi tampan gembul itu tertidur karena kekenyangan, maka ia akan cepat terbangun jika asi ibunya jauh darinya.
Satria baru saja selesai mandi dan melihat pemandangan penuh haru sekaligus menantang. Ingat, ia baru sekali naik-naik ke puncak gunung, tentu saja hasrat itu masih saja menggebu tanpa pernah puas.
Satria mendekati istrinya, lalu mengusap rambut Haya dengan penuh sayang.
"Malam ini sudah bisa lagi belum?" tanya Satria sambil berbisik.
"Bisa, tapi jangan lama-lama ya, Bang, saya takut punya saya nanti lepas dari tempatnya, jatuh di lantai, lalu disemutin," jawab Haya polos dengan wajah penuh permohonan. Satria tergelak mendengar perkataan istrinya, lalu mencium pipi itu dengan gemas.
"Iya, semoga satu jam cukup Asep berpetualang," kata Satria lagi penuh keyakinan. Di kepalanya tengah memikirkan apa yang kiranya bisa membuat Asep lebih slow respon dari sebelumnya? Kemarin dokter mengatakan bahwa ia harus rutin berolahraga agar stamina yang dikeluarkan juga tidak berlebihan dan status bercintanya dengan Haya bisa berkualitas. Jika terlalu sering dan lama, maka spe*ma miliknya tidak akan bisa dibuahi dengan baik, sehingga akan sulit memiliki anak.
"Sayang, Abang mau olah raga dulu ya, mungkin lari. Abang mau bikin cape badan, baru kita pacaran, biar gak terlalu lama si Asepnya," kata Satria pada Haya.
"Iya, Bang, saran dari dokter diikuti saja. Celana training Abang ada di rak atas," jawab Haya sambil tersenyum. Satria pun mengganti pakaian santainya dengan pakaian olahraga. Dari atas lemari ia menurunkan kotak sepatu berlogo Nik*.
"Abang, sepatunya bagus, beli di pasar mana?" komentar Haya melihat Satria tengah mengikat tali sepatu.
"Di mal, Sayang."
"Yang tujuh puluh lima atau yang seratus dua puluh, Bang? Almarhum suami saya dulu beli seratus lima puluh ditawar jadi seratus dua lima dapat," cerita Haya dengan antusias.
"Lima belas, Sayang."
"Hah? Murah banget lima belas ribu? Mal mana?"
"Lima belas juta, he he ... Besok, kalau Puput udah sehat, kita jalan-jalan ke Mal pakai si hijau ya," kata Satria sambil mencium kening istrinya untuk berpamitan.
"Puput siapa, Bang?" tanya Haya saat Satria sudah siap menekan kenop pintu kamar.
"Temen ngopi Asep Tyrex," jawab Satria sambil terbahak.
Bersambung.