"Sepertinya istri Mas terlalu kelelahan. Dehidrasi, dan maaf, Mas bilang tadi masih suasana pengantin baru ya? Ini ... mm ... ada sedikit luka lecet di organ intimnya." Satria menghela napas berat, lalu menoleh pada ibunya yang sudah meneteskan air mata. Satria pun kini tengah berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah.
"Saran saya, biar istri Mas dirawat dahulu mungkin dua malam ya. Mas bisa konsultasi ke dokter kelamin jika nanti memang diperlukan bagaimana kiranya berhubungan dengan pasangan secara normal dan tentu saja yang sehat," lanjut dokter lagi sambil tersenyum tipis.
"Baik, Dok, terima kasih atas penjelasannya." Dokter itu pun pamit meninggalkan Satria dan Bu Mae di ruangan VIP. Haya masih terlelap dengan jarum infus menancap di punggung tangan kirinya. Satria mendekati brangkar, mencium kening istrinya dengan satu dua tetes air mata yang jatuh di dahi kain kerudung yang dipakai istrinya.
"Yah, Sat, kasihan Haya. Emangnya gimana sih? Kenapa bisa sampai pingsan? Emangnya lu mamah papah sampai berapa lama?" tanya Bu Mae sambil menarik tangan anaknya menjauh dari brangkar Haya.
"Tiga jam, Bu," jawab Satria sambil menunduk menyembunyikan air matanya.
"Ya ampun, bukannya juga biasanya lu dua jam paling lama. Tujuh kali dalam sehari. Ya, kalau sekali mamah papah tiga jam, dikali tujuh udah berapa? Lu mau bikin Samudra yatim piatu? Dosa, BangSaaat!" Bu Mae terus saja memukul-mukul tubuh Satria karena kesal akan kelakuan anaknya.
"Lu boleh bernafsu sama istri lu. Halal bagi lu, tapi ya tahu diri dong, Sat, masa lu mau Haya ninggalin lu lagi? Mau sampai kapan begini? Ya ampun, Samudra semoga masih pules di rumah sama Bu Yayuk," omel Bu Mae sambil mengusap air matanya.
Satria pasrah akan kemarahan serta kekecewaan ibunya.
"Bu, kenapa cuma Satria yang diomelin? Ini si Asep penyebab utamanya," kata Satria polos. Bu Mae yang tadinya duduk bersandar di sofa, menjadi duduk tegak dan menatap Satria dengan mata terbelalak.
"Asep lagi lu salahin? Kalau bisa gue sembelih udah gue sembelih dia biar tobat Satriaa! Lu jangan bikin gue emosi! Dengar, gue gak mau tahu, pernikahan lu dengan Haya jangan sampai gagal lagi! Lu obatin si Asep
sampai sembuh. Kalau gak sembuh juga, lu gue sunat lagi biar buang sial!" Bu Mae bangun dari duduknya dan berjalan dengan serampangan keluar dari kamar perawatan Haya.
Satria tidak menyahut kekecewaan dan kemarahan ibunya. Ia memang menyadari semua salahnya yang berlebihan dalam berhubungan dengan istri-istrinya dan durasi paling lama adalah bersama Haya. Ia pun bingung kenapa bisa terlalu lama dan ia tidak merasakan pegal atau lelah sama sekali?
"Bang," suara lirih Haya memanggil namanya, membuat Satria bangun dengan cepat dan menghampiri istrinya.
"Ya, Sayang, ada apa? Apa yang sakit? Minum ya?" Dengan sigap Satria mengambil gelas air minum yang sudah diberikan sedotan untuk minum istrinya. Haya minum dengan begitu tergesa-gesa.
"Kurang, Bang, lagi air minumnya," pinta Haya sambil menoleh pada air mineral botol besar yang ada di samping brangkarnya. Satria mengangguk paham, lalu mengisi gelas yang telah kosong dengan air mineral lagi, kemudian diberikan pada Haya. Satu gelas penuh air putih kembali habis diteguk Haya dengan begitu nikmatnya.
"Sayang, maafin Abang ya," ujar Satria sambil menggenggam tangan Haya.
"Bang, saya kata dokter kenapa? Bukan kanker'kan? Atau tumor? Atau usus buntu?" Satria tersenyum lebar, lalu menggeleng pelan.
"Kamu kelelahan gara-gara Asep. Kamu juga dehidrasi gara-gara Asep. Jadi kata dokter kamu harus menginap di rumah sakit dua hari untuk beristirahat," jawab Satria masih menggenggam tangan istrinya.
"Jadi, ini bukan salah Abang ya? tapi salah si Asep?"
"Iya, Abang mah sebenarnya penurut, Ya, tapi gara-gara Asep, Abang jadi ikutan salah deh," komentar Satria sambil berusaha menahan tawa.
"Berarti Asep dipecat aja, Bang, cari yang lain yang gak nyusahin," kata Haya membuat Satria dengan gerakan refleks menoleh pada Asep, lalu menyembunyikannya di balik kedua kakinya.
"He he he ... Maafin Abang ya. Besok Abang mau konsultasi ke dokter dan minta obat untuk Asep. Semoga ada jalan keluar untuk kita. Kamu gak kapok'kan? Gak ada niatan ninggalin Abang'kan?" Haya tersenyum, lalu menyentuh pipi Satria dengan tangannya yang hangat.
"Nggak, Bang, namanya juga rumah tangga. Harus saling sabar dan menerim kekurangan serta kelebihan pasangan. InsyaAllah saya kuat, mungkin tadi itu saya haus saja dan memang lelah. Abang juga pasti belum mandi hadas ya? Mandi dulu, Bang, saya gak bisa mandi hadas karena dalam keadaan seperti ini."
"Iya, untung kamu ingatkan. Senangnya Abang punya istri soliha seperti kamu. Menutup aurat dan sabar. Abang akan berusaha mengobati Asep demi istri Abang ini." Satria memeluk Haya, lalu melayangkan satu kecupan tipis di bibir istrinya sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara itu, Ramlan masih menatap ponselnya dengan hampa. Satria belum membalas pesannya. Sepertinya Satria tidak memegang ponsel karena melihat riwayat online terakhir sebelum magrib.
Pemuda itu tidak bisa tidur sepanjang malam menanti keputusan Satria yang berjanji memberikannya motor. Jarum pendek di jam dinding sudah menunjukkan pukul empat subuh dan Ramlan belum juga bisa tidur.
Apa menelepon Bu Mae saja ya? Pasti emak-emak jam empat subuh udah bangun. Batin Ramlan dalam hati.
Bu, udah bangun belum? Saya mau nelepon Ibu, boleh?
Send
Ramlan memutuskan untuk mengirimkan pesan saja, agar tidak terlalu mengganggu.
Merasa ponselnya bergetar di sampingnya, Bu Mae yang sedang tertidur dengan lelap di sofa rumah sakit akhirnya terbangun. Namun karena matanya begitu berat, ditambah tubuhnya yang sangat lelah, membuat Bu Mae hanya melihat sekilas saja ponselnya, lalu ia memejamkan matanya kembali.
Satria tidur bersama Haya di brangkar, sehingga sofa panjang bisa ia gunakan untuk beristirahat.
Drt! Drt!
Bu Mae lagi apa? Belum bangun juga ya?"
"Ck, siapa sih?" Dengan mata yang sangat berat untuk dibuka, Bu Mae memaksakan matanya untuk membaca pesan di layar ponsel dengan mata menyipit.
Mata yang awalnya segaris, menjadi terbelalak membaca rentetan pesan dari Ramlan. Garis bibirnya tiba-tiba tertarik ke atas dengan hati yang membuncah senang. Kenapa Ramlan begitu perhatian padanya? Apakah berondong seperti Ramlan menyukainya? Bu Mae mendekap ponsel di dadanya dengan wajah bersemu merah.
Bersambung