"Mbak, kita terpisah dari rombongan yang lain, apa ini tidak salah jalan?" tanya Satria kebingungan sambil memperhatikan jalanan yang saat ini sedang ia lewati.
"Saya tahu jalan pintas, Bang, tenang saja," jawab Salsa dengan suara bergetar. Ia masih fokus mengendarai mobilnya dengan d**a yang berdebar. Melewati jalan yang berbeda dari rombongan pengiringnya yang lain.
"Apa tidak akan lama?" tanya Satria lagi dengan perasaan khawatir.
"Tidak." Salsa menjawab pendek. Satria melepas peci, lalu melihat jam di tangannya. Setengah jam lagi acara akad dimulai dan ia tidak tahu sedang ada jalan mana bersama Salsa.
"Kenapa tidak ikuti rombongan saja biar sampai di sana bareng?" tanya Satria lagi seakan protes dengan apa yang dilakukan Salsa. Mobil masih berjalan dengan kecepatan sedang, lalu di ujung jalan ada jembatan penyeberangan yang biasa dilalui orang dan pengendara roda empat maupun roda dua, tetapi banyak juga yang berhenti di pinggir jalan untuk sekedar menikmati kopi atau buah potong yang segar.
"Mbak, ada apa?" tanya Satria semakin bingung saat Salsa malah berhenti di pinggir jalan layang itu.
"Bang ... s-saya ...." Salsa mencengkeram kemudi dengan tangan gemetar.
"Mbak Salsa sakit? Kalau sakit, biar saya yang bawa mobilnya, ayo, kita bergantian saja!" ujar Satria memberikan masukan. Ia baru saja hendak membuka pintu mobil, tetapi Salsa sudah kembali menggerakkan kemudinya. Satria kembali duduk di tempatnya dan merasa semakin kebingungan dengan sikap Salsa yang sedari tadi dianggapnya sangat aneh.
Sementara itu, iring-iringan pengantin Satria sudah lebih dahulu sampai di KUA. Rombongan pengantin perempuan pun sudah sampai lebih dulu. Mereka heran karena tidak menemukan calon mempelai pria yang sampai bersama para pengiring lainnya.
"Bu, Bos Satria ke mana nih? Mobilnya tadi berbelok, saya kirain mau ke mana? Masa Mbak Salsa salah jalan?" tanya Ramlan bingung. Pemuda itu keluar dari area KUA untuk mengecek mobil yang membawa Satria.
"Calon suami kamu mana, Ya? Ketinggalan atau bagaimana?" tanya seorang pria sepuh pada Haya. Dia adalah ayah dari Haya yang baru saja datang dari kampung.
"Gak tahu, Pak, mungkin sebentar lagi sampai," jawab Haya ikut kebingungan.
"Ram, coba telepon!" seru Bu Mae pada Ramlan. Pemuda itu mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku baju batiknya.
"Eh, itu dia mobilnya, Bu! Alhamdulillah, sampai!" seru Ramlan sambil mengusap dadanya penuh kelegaan.
Mobil yang dikendarai Salsa memasuki area KUA dan tepat berhenti di samping angkutan umum yang tadi membawa para tetangga Satria. Pria itu merapikan peci dan juga jas yang ia kenakan, lalu turun dengan senyuman amat sangat lebar.
Satria langsung berbaur dengan ibunya dan juga sanak famili serta para tetangga yang sudah menunggunya. Salsa masih di dalam mobil menahan air mata. Ia menoleh pada Satria dan Haya yang sudah siap berjalan masuk ke dalam kantor KUA. Garis bibirnya tertarik ke atas sedikit. Jauh di dalam hatinya, ia ingin sekali mengatakan perasaannya saat ini pada Satria, tetapi ia tidak mungkin merusak acara yang sudah dipersiapkan. Ia juga tidak tega dengan Haya. Janda anak satu yang ditinggal meninggal suaminya itu pantas berbahagia dengan Satria karena mereka memang sudah ditakdirkan berjodoh.
Tok! Tok!
Kaca mobilnya diketuk oleh Juwi.
"Sa, kamu gak turun?" tanya Juwi pada putrinya yang sudah meneteskan air mata.
"Bunda saja. Saya biar menunggu di sini," jawab Salsa sambil menunduk.
"Sa, ikhlas ya, Nak. Bukan jodoh dan kita gak bisa memaksa. Bunda yakin anak Bunda bisa melewati semua ini," ujar Juwi menyemangati Salsa. Tadi malam, Salsa menceritakan tentang perasaannya pada Satria dengan linangan air mata. Ia tidak mengira bahwa rasa cintanya datang setelah ia menolak Satria dan melihat Satria akan menikah dengan orang lain. Persis seperti dirinya dahulu, tetapi Salsa berbeda karena sepertinya tidak akan ada hal tidak menyenangkan yang akan membatalkan pernikahan Satria dan Haya.
"Bunda masuk saja, biar Salsa menunggu di sini," kata Salsa lagi dengan senyuman. Juwi pun mengangguk, lalu beranjak dari parkiran untuk masuk ke dalam kantor KUA.
Sementara itu, Satria sudah sangat siap duduk di kursinya. Di sampingnya sudah ada Haya yang dengan baju pernikahan yang ia belikan beberapa hari lalu, sangat cantik memakai kebaya brukat mutiara berwarna krem. Selaras dengan kerudung yang menutup kepala Haya.
"Kita mulai ijabnya sekarang ya," ujar penghulu pada semua orang yang ada di sana. Satria mengangguk dengan perasaan sangat berdebar. Kepala terangkat untuk melihat semua tamu yang ada di sana, tetapi ia tidak menemukan Salsa.
"Silakan berjabat tangan, Nak Satria!" Satria tersenyum, lalu berjabat tangan dengan ayah dari Haya.
"Bismillahirrahmanirrahim, ananda Satria Kuat, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak saya Nurhayati binti Hermansyah dengan mas kawin perhiasan emas lima puluh gram dan seperangkat alat solat dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Nurhayati binti Hermansyah dengan mas kawin yang tersebut tunai."
Sah!
Alhamdulillah.
Semua orang mengangkat tangan berdoa untuk kebaikan sepasang pengantin yang baru saja disahkan hubungannya di mata negara dan juga agama. Haya mencium punggung tangan Satria, kemudian Satria mencium kening Haya dengan penuh hikmat.
Dilanjut dengan acara sungkeman meminta restu kepada orang tua Satria maupun orang tua Haya. Selesai acara sungkeman, Satria dan Haya melakukan sesi foto bersama keluarga sambil memperlihatkan buku nikah. Senyuman lebar Satria dan Haya tak lekang menerima ucapan selamat dari para sanak famili dan juga para tetangga.
"Selamat, Bos, semoga sakinah Mawaddah wa Rohmah." Ramlan memeluk Satria sambil memasukkan amplop putih ke dalam saku jas Satria.
"Terima kasih, Ram," balas Satria dengan senyuman yang sama lebarnya.
Satu per satu tamu juga memberikan selamat sekaligus memberikan amplop untuk Satria dan juga Bu Mae.
"Terima kasih ya," bisik Satria pada Haya yang terlihat sangat senang. Sedari tadi Haya sama sekali tidak melepas rangkulannya pada lengan Satria, seakan ingin menunjukkan rasa bahagianya pada semua orang.
Salsa menoleh ke arah pintu kantor dan melihat Satria tengah bergandengan tangan dengan Haya menuju mobilnya. Salsa keluar dari dalam mobil, lalu dengan memaksakan senyum, membukakan pintu mobil untuk pengantin.
"Selamat Mbak Haya, selamat Bang Satria," kata Salsa tulus sambil mempersilakan Satria dan Haya masuk ke dalam mobilnya.
"Terima kasih, Mbak," jawab Satria dan Haya bersamaan.
Dari kejauhan Juwi melihat anaknya dengan mata berkaca-kaca. Ia pernah ada di posisi yang sama dan rasanya sangat sakit. Ia berharap Salsa pun seperti dirinya yang kuat dan bisa berbesar hati menerima takdir Tuhan.
Bersambung