"Bos, wah ... ganteng banget pakai jas begini, pangling saya," puji Ramlan saat memasuki kamar Satria yang sudah dihias begitu cantik. Satria tersenyum, lalu menepuk sisi tempat tidur yang sudah berhiaskan taburan kelopak mawar dengan maksud meminta Ramlan duduk di dekatnya.
"Kenapa, Bos?" tanya Ramlan penasaran.
"Gue deg-degan," kata Satria sambil memegang dadanya.
"Ini pernikahan kedelapan, masa masih deg-degan aja. Bukannya udah hapal luar kepala. Mau apa dulu yang dipelorotin? Ha ha ha ...."
Puk!
"Aw!" Satria memukul kepala Ramlan dengan peci hitamnya.
"Kalau itu iya, Ram, gue udah c*m laude, tapi ijab sah ini loh yang bikin gue deg-degan. Mungkin ini firasat baik bahwa pernikahan gue dan Haya akan langgeng ya, Ram. Aamiin ... Masalah cinta bisa datang karena terbiasa. Gue harap setelah menikah nanti, gue bisa menyerahkan semua hati gue dan Tyrex gue hanya untuk Haya," ujar Satria serius. Namun Ramlan malah terbahak mendengar penuturan Satria yang sangat polos.
"Emangnya si Tyrex yang Bos kasih nama Asep itu mau dibagi separoh doang sama Mbak Haya? Ya kagak enaklah, gak dalem!"
"Ha ha ha ... sempak lu, Ram!" Satria ikut terbahak mendengar ucapannya yang salah sebut di depan Ramlan.
Tok! Tok!
Ramlan dan Satria menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk.
"Siapa? Masuk aja," seru Satria dari dalam kamar. Pelan pintu kamar terbuka dan Satria serta Ramlan cukup kaget melihat siapa yang ada di sana. Salsa dengan kebaya cantik berwarna gading dengan pasangan kain batik pas badan, sangat cantik dan mempesona siapapun yang melihatnya. Jika orang tidak paham, maka pasti banyak yang mengira Salsa adalah calon pengantinnya.
"Mbak Salsa," ujar Satria yang langsung berdiri berbarengan dengan Ramlan. Dua lelaki itu heran dengan hadirnya Salsa di sana.
"Saya pamit dulu, Bos, kayaknya ada yang mau mengucapkan selamat secara khusus," bisik Ramlan sambil mengedipkan matanya. Satria pun mengangguk paham.
"Silakan masuk, Mbak," ujar Ramlan mempersilakan.
"Maaf, saya jadi ganggu waktunya Bang Ramlan dan Bang Satria," ujar Salsa tidak enak hati.
"Gak papa, Mbak, saya sudah selesai kok. Pintunya Jang ditutup ya, Mbak, pamali kamar pengantin dimasuki mantan calon istri," bisik Ramlan memberikan kode. Salsa pun mengangguk paham dengan maksud ucapan teman Satria itu.
Pintu dibiarkan terbuka dan Salsa berjalan menghampiri Satria yang berdiri dengan canggung berdua di kamar pengantin dengan Salsa.
"Kapan sampai, Mbak? Sama siapa kemari?" tanya Satria berbasa-basi, berharap bisa mengusir kegugupannya.
"Sama Bunda. Ada di depan ngobrol sama Ibu," kata Salsa masih dengan senyuman yang sama.
"Eh, ayo, duduk di sini!" Satria memberikan kursi meja rias untuk Salsa duduk. Wanita itu mengangguk pelan sambil terus memperhatikan isi kamar Satria yang sepertinya semua barang nampak baru dan mahal.
"Ada apa, Mbak?" tanya Satria pada Salsa.
"Saya hanya ingin mengucapkan selamat atas pernikahan Bang Satria. Semoga langgeng hingga kakek dan nenek. Sakinah, Mawaddah wa Rohmah hingga maut memisahkan, aamiin," ujar Salsa tulus sambil menahan getir agar air matanya tidak tumpah.
"Ini hadiah dari saya." Salsa mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempangnya, lalu ia mengulurkan amplop berwarna coklat itu untuk Satria.
"Apa ini, Mbak?" tanya Satria terheran.
"Bukanya nanti saja, Bang, semoga Bang Satria dan Mbak Haya suka. Mm .. baik, saya permisi ya, Bang. Semoga acaranya lancar," ujar Salsa lagi sambil memainkan jarinya dengan gelisah. Satria menangkap sesuatu yang berbeda dengan bahasa tubuh Salsa yang nampak tengah menahan sesuatu.
"Mbak baik-baik saja'kan? Oh, iya, kapan Mbak dan Mas Fajar menyusul?"
"Masih lama, Bang, he he ... Ya udah kalau gitu, saya permisi, Bang." Salsa bangun dari duduknya lalu berjalan cepat keluar dari kamar. Satria merasa ada bagian dari hatinya yang nyeri melihat Salsa mengucapkan selamat seperti tadi.
Wajahnya tidak benar-benar bahagia dan seperti tengah tersiksa oleh sesuatu.
Satria memandang amplop dari Salsa. Ia ingin sekali membukanya karena penasaran, tetapi ia harus tahan sampai selesai acara sesuai permintaan Salsa. Amplop coklat itu ia taruh di dalam laci lemari, lalu Satria beranjak untuk keluar dari kamar.
Orang-orang sudah berkumpul untuk mengantar dirinya menikah di KUA. Ada dua angkutan umum, dua mobil pribadi milik Pak RT dan juga mobil sedan yang ia yakini adalah milik Salsa. Mobil yang sudah dihias dengan cantik dengan pita yang diberi bunga hias pada bagian ujung kap mobil dan juga pada setiap pegangan pintu.
Satria menoleh pada Salsa yang tengah tersenyum padanya. Di samping Salsa ada Juwi, yang juga ikut tersenyum pada Satria.
"Saya tidak memikirkan hal seperti ini, Mbak, terima kasih banyak," ujar Satria terharu.
"Terima kasih Bunda Salsa sudah mau datang ke acara sederhana saya," ujar Satria lagi sambil mencium punggung tangan Juwi.
"Selamat ya, Satria," balas Juwi sambil menepuk lembut pundak Satria yang begitu gagah terbalut jas yang pas sekali di badannya.
"Berbeda saat datang malam itu, gagah yang sekarang," puji Juwi lagi sambil tersenyum malu.
"Waktu itu Bundanya Salsa kan langsung pingsan, jadi gak lihat jelas ketampanan anak saya, he he ... aslinya mah, seperti ini," sahut Bu Mae sedikit menyindir.
"Satu jam lagi akadnya dimulai, ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Salsa yang sudah lebih dahulu berjalan menuju pekarangan rumah Satria untuk membukakan pintu mobil untuk calon pengantin.
"Ibu sama Satria di mobil Salsa, biar saya naik angkutan saja sama seperti ibu-ibu yang lain," kata Juwi sambil tersenyum.
"Nggak, ah! Saya naik mobil Pak RT aja. Ayo, Bunda Juwi naik mobil Pak RT dengan saya. Biar calon pengantin naik mobil pengantin berada sopir cantiknya.
"Ayo, Bang, nanti terlambat!" ajak Salsa lagi mengingatkan Satria. Lelaki itu mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil sedan cantik Salsa dengan perasaan canggung. Salsa menyusul duduk di kursi pengemudi. Ia memasang sitbelt, lalu mulai menyalakan mesin mobilnya.
Salsa memegang stir mobil dengan kuat sambil menahan air mata.
"Kita berangkat," kata Salsa pelan mulai mengemudikan mobil dengan kecepatan lambat karena harus bergantian dengan kendaraan lain yang ikut keluar dari pekarangan rumah Satria.
"Kenapa Mbak lakukan semua ini untuk saya?" tanya Satria saat mereka sudah berada di jalan raya.
"Karena saya ingin. Waktu itu saya pernah mengecewakan Bang Satria, maka saya akan menebusnya hari ini," jawab Salsa dengan suara bergetar.
"Terima kasih, Mbak," ujar Satria lagi dengan penuh haru.
"Ini sudah yang terbaik bagi kita. Mungkin memang tidak berjodoh," ujar Satria lagi.
"Iya, Bang," jawab Salsa.
Sa, Lo yakin gak mau ambil kesempatan ini? Lo bisa bawa Satria kabur dan bilang perasaan Lo sama dia. Sebelum janur kuning melengkung, Sa. Cepat! Bisik hati Salsa gamang.