"Mbak Salsa, terima kasih sudah menyediakan mobil sekaligus menjadi sopirnya. Saya doakan Mbak Salsa segera menyusul ya, Mbak," ujar Haya tulus sambil tersenyum.
"Eh, iya, Mbak Haya, sama-sama. Saya senang bisa berpartisipasi dalam acara sakral Bang Satria dan Mbak Haya," jawab Salsa diiringi senyuman.
"Bang."
"Ya."
Keduanya sama-sama ingin memulai pembicaraan.
"Abang dulu deh," kata Haya dengan wajah tersipu malu.
"Terima kasih sudah mau menjadi istri saya," bisik Satria di telinga Haya hingga istrinya itu merasa kegelian.
"Geli ih!" Haya tertawa dengan bulu tangan yang meremang. Salsa merasa hatinya bagaikan dicubit menggunakan tang. Namun ia harus bersabar karena ini adalah pilihannya. Ia harus siap dengan segala rasa cemburu dan sakit hati yang saat ini ia rasakan.
"Saya yang terima kasih Abang sudah mau menjadi imam saya dan ayah sambung untuk Samudra. Semoga kita bisa bersama-sama melewati bahtera rumah tangga dengan baik dan penuh cinta," kata Haya bijak dan diikuti kata Aamiin yang diucapkan Satria. Lelaki itu mencium punggung tangan Haya, lalu menggenggamnya dengan erat sepanjang perjalanan.
Pemandangan manis yang berada di depan mata Salsa. Sekaligus pemandangan menyakitkan. Bukan hanya saling menggenggam, Satria juga diam-diam mencium pipi Haya berkali-kali, hingga Salsa merasakan napasnya menjadi sesak.
Setengah jam penuh ketegangan di dalam mobil, akhirnya sampai juga mereka di rumah Satria yang sudah ramai orang. Meja prasmanan juga sudah terisi dengan penuh. Semua orang turun dari mobil dan menyerbu aneka hidangan yang sudah dipesan oleh Bu Mae, sedangkan pengantin berjalan bergandengan masuk ke dalam rumah.
"Eh, eh, ... mau ke mana?" tanya Bu Mae menahan lengan Satria.
"Ke kamar, Bu," jawab Satria sambil menyeringai.
"Nanti ya, Ganteng Ibu, lu naik ke pelaminan dulu. Kalau lu duluan masuk kamar, tamu undangan nanti gak jadi ngasih amplop. Gak bisa, naik dulu sana! Nikah sih nikah, bisnis juga termasuk di dalamnya," ujar Bu Mae sambil mencebik pada Satria. Mau tidak mau, Satria menurut saja berjalan bergandengan tangan bersama Haya untuk naik ke pelaminan sederhana tetapi tetap berkesan elegan.
Satu per satu teman, saudara, dan para tetangga mengucapkan selamat dan mendoakan Satria dan Haya agar pernikahan keduanya langgeng hingga kakek dan nenek. Banyak yang memuji ketampanan Satria dan betapa cantiknya Haya yang dibalut baju pernikahan.
"Selamat Bang Satria, Mpok harap ini pernikahan yang terakhir ya, Bang. Mpok setahun udah tujuh kali ngamplopin, ditambah hari ini jadi delapan amplop. Dikali aja dua puluh lima ribu, jadi berapa itu? Banyak, Bang, dapat beras sekarung. Kalau Abang sampai nikah lagi yang kedelapan kali, kami warga di sini sudah bertekad tidak mau diundang, gak sanggup amplopnya," oceh Mpok Nur tetangga dekat Satria yang juga merupakan teman pengajian ibunya.
Satria tergelak mendengar doa dari Mpok Nur. Ia tidak marah sama sekali, justru ia merasa bersalah karena sudah merepotkan warga sekitarnya hingga delapan kali memberikannya amplop pernikahan.
"Aamiin ya Allah, terima kasih doanya, Mpok. InsyaAllah ini yang terakhir," jawab Satria sambil tersenyum.
Tamu masih saja silih berganti memberikan ucapan selamat. Semua karyawan bengkel turut hadir memberikan doa selamat. Penduduk kontrakan juga seluruhnya diundang oleh Satria. Ia tidak mempermasalahkan kado atau uang amplop yang diberikan tamu padanya, ia hanya ingin berbagi kebahagiaan kerena bisa menikah lagi dengan wanita soliha dan keibuan.
"Bos, gue balik dulu, masih ada undangan lagi di dekat rumah gue," ujar Ramlan sambil menyelipkan amplop putih ke dalam saku jas Satria.
"Iya, Ram, makasih banyak ya." Satria dan Ramlan saling berpelukan. Beberapa karyawan yang lain pun melakukan hal yang sama, mereka berpamitan setelah menikmati hidangan mewah ala hotel di acara pernikahan Satria.
"Bun, kita pulang yuk, Salsa sakit kepala," kata Salsa pada Juwi yang baru saja menghabiskan semangkuk baso.
"Ya udah, pamitan dulu sana!" kata Juwi pada Salsa.
"Gak usah, Bu, langsung aja yuk!" Salsa sekali lagi menoleh pada pelaminan Satria yang ramai dengan teman-temannya yang mengajak berfoto. Wanita itu tersenyum sambil memantapkan dan menguatkan hatinya, bahwa maut, rejeki, jodoh, adalah rencana Tuhan. Siapatahu mungkin memang Satria bukan yang terbaik untuknya.
"Ayo, kita pulang!" Juwi pun bangun dari duduknya, lalu berjalan menuju mobil. Salsa menyalakan mesin mobil, lalu pergi dari sana dengan hati yang sudah pasrah. Ketika ia menyukai seseorang, jarang sekali ia pun disukai kembali oleh pria tersebut.
Dewo, adik dari papa sambungnya,; Devit adalah pria yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, tetapi sayang, Dewo yang lebih dewasa hanya menganggapnya keponakan lucu yang tidak mungkin dijadikan istri. Ini kali kedua ia jatuh cinta pada seorang lelaki, tetapi ia terlambat menyadarinya, hingga lelaki itu benar-benar terlepas dari genggamannya.
"Kamu pasti bisa," bisik Juwi sambil mengusap lembut pipi Salsa yang basah. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.
"Bunda yakin ini semua jalan takdir untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan yang lebih sempurna. Bunda harap kamu ikhlas dan lekas move on. Duda bukan hanya Satria saja, betulkan?" goda Juwi sambil tertawa. Salsa pun mengangguk setuju.
Pukul empat sore, semua tamu sudah pulang dan acara memang sudah selesai. Bu Mae membatasi acara agar Satria dan khususnya Haya tidak kelelahan untuk malam pertama nantinya.
"Murni, box amplop masukin kamar saya semua ya," seru Bu Mae pada seorang anak SMP yang bertugas sebagai pagar ayu pernikahan anaknya.
"Siap, Bu," kata Murni sambil tersenyum. Satria baru saja selesai makan disuapi oleh Haya. Lelaki itu makan sambil memangku Samudra dengan begitu senangnya. Haya tersenyum bahagia melihat kedekatan Satria dan bayinya yang tulus, bukan dibuat-buat.
"Samudra, nanti malam bobok sama nenek dulu ya, biar Ayah sama Bundanya bikin adik buat Samudra," bisik Satria sambil mencium gemas pipi bayi itu. Haya berdebar mendengar ucapan Satria. Pipinya menghangat hingga rasa itu menjalar ke hatinya. Satria melirik istrinya, lalu dengan cepat melayangkan satu kecupan di bibir wanita itu.
"Bang, ih! Malu!" Haya menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa khawatir jika ada yang melihat yang baru saja dilakukan Satria padanya.
"Yuk, ke kamar, Abang lelah! Ingin segera membelah apa yang perlu dibelah." Satria terbahak begitu pun Haya. Ia berdiri lebih dahulu dari duduknya, lalu sambil menggendong Samudra berjalan masuk ke dalam kamarnya. Haya pun menyusul langkah Satria hendak masuk ke dalam kamar.
"Neng, sini dulu!" Bu Mae tiba-tiba menarik lengan Haya menuju dapur.
"Ada apa, Bu?" tanya Haya keheranan.
"Ini, makan telur ayam kampung dua butir dan madu asli tiga sendok. Pokoknya jangan sampai KO sama Satria, oke?" Haya mengangguk patuh dan langsung memasukkan dua kuning telur ayam kampung yang sudah disiapkan oleh ibu mertuanya. Bu Mae juga menyendokkan tiga sendok madu asli ke dalam mulut Haya.
"Ibu berharap semua berjalan dengan lancar. Semangat ya, Neng," ujar Bu Mae dengan hati yang berdebar. Haya masuk ke dalam kamar dan itu membuat Bu Mae menelan ludah. Dengan cepat ia mengambil ponsel, lalu menekan nomor kontak seseorang.
["Halo, Bu RT, ambulan udah siap ya? Buat jaga-jaga doang saya. Takutnya mantu saya harus ke IGD."]
Bersambung