"Kita buka kado dulu aja yuk, Ya? Masih sore ini, saya juga belum isya. Asep Tyrex masih bisa nunggu kok," kata Satria pada istrinya. Haya tertawa, lalu mengangguk setuju. Walau ia sudah pernah menikah, tetap saja berduaan dengan lelaki yang baru saja menjadi suaminya, membuat jantungnya berdetak cepat.
Akan lebih siap dirinya jika Satria memberikannya cukup waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.
"Terima kasih Abang sudah mengerti. Saya gak harus buru-buru pelorotin sarung Abang, he he he ...." Haya bersemu merah mendengar ucapannya sendiri.
"Saya paham, Haya, justru itu saya gak mau buru-buru, yang penting saya sudah punya istri. Biarin Bu RT sama sopir ambulan kesel nunggu di depan, padahal kita gak ngapa-ngapain, ha ha ha ...." Satria terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya.
"Ambulan untuk apa, Bang?" tanya Haya tak paham.
"Untuk siaga satu, siapatahu kamu pingsan saat bertemu Asep nanti," jawab Satria dengan tangan yang sudah mengambil kotak kado pertama.
"Oh, iya, juga ya, Bang. Buat jaga-jaga, tapi mudah-mudahan saya bisa." Hanya mengangguk sambil tersenyum.
Duh, kayak mau ujian aja ya? Ha ha ha. Haya tergelak dalam hati.
Satria duduk di lantai dan mulai membuka kado pernikahan pertama. Sebuah kotak berukuran sedang dengan bungkus kado polkadot hitam putih.
"Apa ini?" tanya Satria bingung.
"Siapa pengirimnya, Bang?" Haya ikut membantu merobek dus berwarna kuning.
"Ini dari Gyta Artanti, oh ... mantan Abang yang dapat motor. Waduh, tolak angin! Ha ha ha ... wah, ngajak ribut ini anak, masa ngado tolak angin satu dus, ha ha ha ...." Satria tertawa terbahak-bahak begitu pun Haya.
"Ya, cari kado dari nama-nama mantan Abang ya. Tia, Mira, Robiah, Kholifah, Dewi, dan Ika. Abang khawatir mereka kasih kado obat semua. Ayo, cepat cari!" Haya mengangguk, lalu membantu mencari kado dengan nama-nama yang disebutkan oleh Satria. Enam kotak berukuran sedang berhasil ditemukan dan Haya memberikannya pada suaminya.
"Sini, biar saya bantu buka, Bang!" kata Haya dengan penuh semangat. Satria pun ikut membuka kotak kado yang lainnya.
"Bang, ini lihat, Paramex dua dus. Selamat menempuh hidup baru untuk mantan terhebatku, semoga langgeng sampai kakek dan nenek dari Robiah."
Ha ha ha
"Ini juga dari mantan Abang nih. Ya Allah, ha ha ha .... Amoxcylin 250gram dua dus. Selamat menempuh hidup baru, Bang, semoga Kak Haya gak kena Thypus ya, dari Dewi."
"Ini juga dari mantan Abang,Ya. Dasar asem! Pada ngasih obat semua, ha ha ha ... ya ampun, hansaplast, ha ha ha .... Selamat Bang, semoga gak sampai luka istrinya ya, dari Tya." Satria dan Haya terpingkal-pingkal menertawakan semua kado dari mantannya.
"Bang, ini salep untuk nyeri pinggang, dari Kholifah. Selamat menempuh hidup baru Bang Satria, semoga istrinya kuat dan gak sakit pinggang, dari Kholifah dan suami, ha ha ha ... eh, ada amplopnya, Bang." Haya tak sabar membuka amplop dari dalam kotak yang berisi salep nyeri otot.
"Berapa Ya?" tanya Satria tak sabar.
"Bang, pantesan tebal, uang dua ribuan, satu, dua, tiga, empat, lima, .... lima puluh ribu, Bang, Alhamdulillah, paling mendingan dari yang lain, ha ha ha ...." Satria dan Haya lagi-lagi tertawa.
"Bang, masih ada satu lagi nih, agak besar, berat lagi. Pemberian dari Mira dan Ika, coba saya buka ya, Bang, barangkali aja berbeda yang ini." Haya meminta ijin suaminya, lalu membuka satu kotak terakhir dari kado mantan suaminya.
"Eh, apa ini? Oh, kotak P3K, ha ha ha ... ada koyok cabenya, Bang, ha ha ha ha aduh, saya gak tahan, kebelet, ha ha ha ...." Haya berlari keluar kamar karena tidak tahan tertawa terus-menerus hingga ingin segera buang air kecil.
Bugh!
"Aw! Aduh, Ibu ... Ya Allah, maaf, Bu, saya gak tahu Ibu di depan pintu, tunggu, Bu, saya udah gak tahan!" Haya tidak sanggup untuk berkata-kata lagi, ia langsung saja berlari ke kamar mandi untuk buang air kecil, sedangkan Bu Mae hanya bisa pasrah sambil mengusap keningnya yang terbentur pintu kamar Satria.
Bu Mae pergi dari sana dan masuk ke dalam kamar untuk mengobati keningnya yang merah. Jangan sampai menantunya tahu kalau ia menguping malam pertama anaknya.
Haya mencari keberadaan ibu mertuanya, tetapi tidak ada. Haya memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar dan ikut duduk di atas karpet bersama suaminya. Satria masih membuka satu per satu kotak kado dari teman-temannya dan juga para saudara.
"Gimana, Bang? Ada kado aneh lagi gak?" tanya Haya.
"Gak ada, Ya, Alhamdulillah, undangan yang lain pada tahu diri semua. Emang mantan saya aja pada kebangetan pengertiannya, semua obat udah mereka siapkan, dengan maksud kamu bisa melewati ujian ini dengan hasil yang baik."
Haya tersenyum, lalu membereskan semua bungkusan kado yang berserakan. Semua jadi satu dikumpulkan ke dalam plastik besar, lalu Haya menaruhnya di depan rumah.
"Ya, solat isya bareng ya," seru Satria dari dalam kamar.
"Iya, Bang," jawab Haya yang bergegas masuk ke kamar mandi untuk berwudhu.
Satria sudah siap dengan sajadah merahnya, di belakang Satria sudah tergelar sajadah warna ungu dan juga mukena hantaran yang ia beli untuk Haya. Bukan mukena biasa, melainkan mukena merk SyR yang dibeli Satria seharga delapan ratus lima puluh ribu rupiah. Berbahan sutra halus yang sangat cantik.
Keduanya solat isya di pimpin oleh Satria. Bacaan solat Satria bagus dan merdu. Bu Mae kembali mengabadikan video anak dan menantunya yang sedang solat, kemudian ia upload sebagai status WA.
Semoga SAMAWA ya anak-anakku. Akhirnya Satria Kuat menemukan wanita yang tepat.
Pembaruan status itu kembali dibaca oleh Juwi. Wanita setengah baya itu mendengarkan bacaan solat Satria yang sangat merdu.
"Apa itu, Bun? Mendengarkan qori dari Arab ya? Tumben, biasanya nontonin iklan alat olah raga melulu!" Devit menghampiri istrinya yang tengah duduk bersandar di punggung tempat tidur.
"Bukan,Pa, ini Satria Kuat, duda muda yang pernah kita tolak untuk Salsa. Ternyata, kita memang tidak boleh menilai orang lain hanya dari covernya saja. Lihatlah, mungkin kita sudah melepas calon imam terbaik untuk Salsa, hanya karena ia duda tujuh kali." Devit meraih ponsel dari tangan istrinya, lalu memperbesar volume bacaan solat Satria yang berdurasi dua puluh lima detik.
"Bagus sekali," gumam Devit sambil menoleh pada istrinya.
Sementara itu, Satria dan Haya sudah memadamkan lampu kamar. Tersisa lampu tidur remang-remang yang menambah sahdu malam pengantin mereka. Keduanya duduk di pinggir tempat tidur dengan saling canggung. Satria menggenggam tangan istrinya, lalu mengecup punggung tangan kekasih halalnya dengan begitu lembut dan penuh perasaan.
"Ya, daritadi Abang belum lihat rambutnya, buka ya kerudungnya?" Haya mengangguk kaku. Satria membuka kerudung instan yang dipakai Haya, lalu memandang wajah cantik istrinya dari keremangan lampu kamar. Rambut Haya panjang dan lurus. Satria mengusapnya dengan lembut, lalu memajukan tubuhnya perlahan untuk mengecup kening Haya.
"Cantik sekali istriku," bisik Satria yang kini sudah mencium bibir Haya dengan sangat hati-hati.
Ciuman yang awalnya malu-malu, kini berubah penuh hasrat yang menggelora. Satria menyukai bibir tipis Haya yang mampu membuatnya betah berlama-lama mengulumnya.
Bersambung