6. Malam Pertama Bagian 2

1137 Words
"Apa katanya Mbak Salsa?" tanya Haya ingin tahu. "Ini, baca saja!" Satria memberikan secarik kertas ucapan selamat dari Salsa pada istrinya. Haya membacanya sambil tersenyum senang. "Alhamdulillah, Abang gak jadi sama Mbak Salsa, kalau tidak, saya tidak jadi jalan-jalan naik pesawat, terus nginep di cottage pula, hi hi hi ...." Satria tertawa mendengar komentar Haya yang polos. Istrinya tidak cemburu sama sekali dan itulah yang memang ia harapkan. Haya tidak cemburu dengan semua wanita yang pernah dekat dengannya. "Nanti biar saya WA Mbak Salsa ucapkan terima kasih," katanya lagi masih dengan tangan menggenggam tiga buah tiket honeymoon dari Salsa. "Kamu tidak cemburu?" tanya Satria pada Haya. "Tidak, Abang boleh berteman dengan mantan Abang, karena saya juga masih temenan sama mantan suami saya." Haya menyeringai lebar. "M-maksud kamu apa, Ya?" Satria menelan ludah, lalu menoleh ke kanan dan kiri dengan perasaan takut. "Saya indigo, Bang, jadi bisa lihat makhluk tak kasat mata, tapi Abang gak usah khawatir karena mereka gak bakalan ganggu kita. Udah saya beritahu kok, pada nurut Alhamdulillah." "Oh, gitu ... jadi ... ya ampun, saya kok merinding," kata Satria sambil mengusap lengannya. "Jangan takut, Bang. Ada saya sebagai pawang mereka, he he ... jadi, kita mau langsung atau mau buka kado dulu?" Haya menaruh Samudra kembali di atas tempat tidur, lalu ia mengambil Pampers yang sudah ia siapkan di dekat lemari pakaian. "Kamu urus Samudra aja dulu ya. Abang keluar sebentar." Satria turun dari tempat tidur, lalu berjalan cepat keluar dari kamar. Tujuannya saat ini adalah dapur. Satria menuangkan air ke dalam gelas besar, lalu meminumnya hingga tandas. Napasnya sedikit sesak setelah mendengar penuturan Haya. Jika dia spesial karena Asep Tyrex, maka Haya spesial dengan kelebihannya. Sayup-sayup suara azan magrib berkumandang. Satria memutuskan untuk berangkat solat berjamaah ke masjid. Setelah berwudhu, pria itu masuk ke dalam kamar untuk memakai baju solatnya. "Abang mau ke masjid dulu ya," kata Satria pada istrinya. "Iya, Bang, hati-hati ya," kata Haya sambil tersenyum hangat. Satria bergegas keluar dari rumah, saat melewati rumah Mak Piah, Satria menoleh, seakan ada seseorang yang memaksanya untuk menoleh ke arah rumah Mak Piah. Wanita tua itu tepat berdiri di depan pintu rumahnya, seperti sedang ingin menutup pintu. "Bang Satlia," serunya sambil tersenyum. Wah, ini nenek pasti lagi gak pake gigi palsu, nama gue jadi Satlia. Batin Satria. "Iya, Mak, mau solat dulu ya." "Mampir sini, magrib loh!" "Iya, Mak, ntar saya mampir kalau mau nyolatin Mak ya, sekarang saya mau ke masjid dulu," jawab Satria berjalan sambil berjalan semakin cepat meninggalkan rumah Mak Piah. Wanita tua itu hanya bisa mengangkat bahu sambil menggelengkan kepalanya. Seandainya gue boleh bicala, pasti Satlia gak bakalan kawin cele mulu! Duh, nyusahin aja emang itu olang. Pukul tujuh tiga puluh, Satria sudah kembali ke rumah. Sengaja lebih lambat dari biasanya karena sedang ada tausiyah dari ustadz ibu kota yang kebetulan sedang mampir solat di masjid tempat tinggalnya. Kepulangannya disambut dengan aneka hidangan makanan catring pernikahan yang memang masih tersisa cukup untuk keluarganya. Bu Mae nampak sedang memangku Samudra di depan televisi, sedangkan Haya sudah berdiri menyambut Satria untuk makan malam. "Makan dulu, Bang," ajak Haya. "Iya." Satria membuka pecinya, lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh Haya. Wanita itu juga mengambilkan nasi ke dalam piring untuk Satria, begitu juga dengan lauk-pauknya. "Biar saya suapi," kata Haya lagi dengan senyuman manis. Bu Mae melihat perlakuan Haya yang begitu lembut dan totalitas dalam melayani anaknya, tentu saja merasa sangat senang. Ia berharap Haya adalah jodoh terakhir anak semata wayangnya hingga kakek dan nenek kelak. Semoga Asep Tyrex lu bisa diajak kerja sama, Sat. Kalau tidak, kabur lagi anak orang. Batin Bu Mae. Bep! Bep! Bu Mae meraih ponselnya yang berdering persis di sampingnya. Ada nomor Bu RT di sana yang tengah memanggilnya. ["Halo, assalamualaikum, ya, Bu?"] ["Ambulan udah ready, Bu."] ["Oke, Bu, begitu terdengar suara minta tolong, langsung sigap ya, Bu, saya juga akan berjaga-jaga di depan pintu kamar."] ["Saya nunggu bareng Bu Mae di depan pintu kamar apa bagaimana nih?"] ["He he ... Ibu nunggu depan kamar Mak Piah lebih pas. Jagain tuh nenek takutnya nyeruduk kamar anak saya."] ["Ha ha ha ... Bu Mae bisa aja. Jangan nguping terlalu lama di depan kamar Satria, Bu, saya takutnya Bu Mae yang dibawa ke IGD karena gak ada lawannya, ha ha ha ...."] ["Bu, mari kita akhiri pembicaraan gak jelas ini, Bu, terima kasih atas bantuan Bu RT, assalamualaikum."] Bu Mae mencebik, lalu meletakkan kembali ponsel di sampingnya. Mata wanita setengah baya itu kembali menoleh pada Satria yang masih asik disuapi makan oleh Haya. Bu Mae tentu tidak mau melewatkan momen bahagia seperti ini. Dia memotretnya, lalu menjadikannya sebagai status WA. Pengantin baru suap-suapan. Satria malu-malu mau buka mulut terlalu lebar. Padahal panci mi rebus aja biasanya muat, ha ha ha ... Langgeng ya anak-anakku. Juwi tengah membalas pesan dari teman pengajiannya saat update terbaru status Bu Mae muncul di WA-nya. Ia menekan tombol lihat, lalu memperbesar gambar tersebut. Ada foto Satria yang makan tengah disuapi Haya. "Kenapa, Bun? Tumben senyam-senyum depan HP," tanya Salsa ingin tahu. "Ini, lihat saja! Sepertinya Satria itu memang berjodoh ya dengan Haya," komentar Juwi sambil memberikan ponselnya pada Salsa. Wanita itu menatap ponsel ibunya dengan senyuman yang amat terpaksa. Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas, ia harus tetap legowo menerima takdir Tuhan. "Ini, Salsa masuk dulu, Bun." Salsa memberikan ponsel kembali pada Juwi. Ia melangkah lunglai menuju kamarnya dan bersiap untuk kembali menumpahkan air mata. Sementara itu, kini Haya dan Satria sudah berada di dalam kamar mereka. Samudra tengah disusui asi oleh Haya terlelap yang memunggungi suaminya. Wanita itu masih malu jika terang-terangan menyusui putranya di depan Satria. "Ya, bisa bilangin Samudra suara nyusunya jangan kenceng-kenceng gak? Abang takutnya si Asep bangun," bisik Satria tanpa berani menoleh. Tubuhnya sudah terlanjur basah oleh keringat gara-gara suara Samudra. Haya tertawa terpingkal-pingkal sambil menutup mulutnya. Jika ia lepaskan tawanya, bisa saja Samudra kembali terbangun dan rencana mereka malam ini bisa gagal. "Sebentar lagi juga tidur, Bang, sabar ya," jawab Haya dengan wajah merona. "Bang, emangnya malam ini kita jadi malam pertama?" tanya Haya malu-malu. "Ya jadi, Ya, kalau gak jadi, nanti penulisnya disantet pembaca, kasian, ha ha ha ...." "Sekarang, Bang?" "He he he ... ya sekarang, Sayang, masa tahun depan? Tapi Abang mau bilang, kalau Asep Tyrex agak hiperaktif mohon dimaafkan ya." "Ha ha ha ... Abang lucu nih!" Haya mencubit gemas pinggang Satria, lalu menggeser Samudra yang terlelap ke pinggir tempat tidur. Bep! Bep! "Ish, Bu RT rese banget sih," gumam Bu Mae kesal saat ponselnya kembali berdering. ["Ya, halo, kenapa, Bu?"] ["Udah ada suara minta tolong gak, Bu?"] ["Belom, Bu RT, anak saya masih ha ha hi hi di kamar. Gak tahu keenakan apa kegelian?"] ["Ha ha ha ... Bu Mae, coba taruh ponselnya di pintu kamar Satria, biar saya bisa ikutan ...."] Tut! Tut! Bu Mae menutup panggilan Bu RT dengan kesal. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD