"Maaf kekalutanku tadi sehingga asal bicara."
Sera mengangguk. "Saya paham."
"Setelah kehilangan istriku, terlalu banyak hal yang aku takutkan, salah satunya melihat kondisi Kezia tadi."
Sera kembali mengangguk, rasanya ia kehilangan kata. Meski begitu sama sekali tidak ada kemarahan di sana.
"Minggu depan aku ada pekerjaan ke Bandung aku akan membawa anak-anak sekalian berlibur, aku harap kamu juga bisa ikut serta."
"Tentu, saya kan pengasuh anak-anakmu."
"Saya tidak suka dengan sebutan itu."
"Lalu? Baby sitter?"
"Sudahlah, tak perlu dibahas."
Dingin semakin menyeruak ketika rintik hujan mulai turun, tak terasa Sera pun terlelap, Arkan melihat wanita di sampingnya sekilas, ada sebuah perasaan bersalah atas ucapannya tadi. Sekitar satu jam kemudian mereka pun tiba di rumah dan Arkan pun membangunkan Sera.
"Kita sudah sampai."
Sera mengerjap. "Maaf ketiduran."
****
.
.
Hari keberangkatan tiba, Kalina tidak ikut karena kemarin diambil oleh nenek dari ibunya, mereka akan pergi berlima dengan Haliza.
"Ayo, Ma!" ucap Arkan pada ibunya.
"Mama kok pusing banget, ya!" jawabnya seraya memijat kening.
"Jangan memaksakan ikut, Ma. Kita bisa berlibur lain kali."
Haliza mengangguk, ia memang sering kali didera sakit kepala.
"Mama istirahat, kabari aku terus, kalau butuh apa-apa kasih tahu orang rumah," ucap Arkan.
Haliza kembali mengangguk, akhirnya dengan terpaksa mereka pun pergi berempat, Sera membawa barang cukup banyak kebutuhan si kembar, mereka akan berada di Bandung selama lima hari.
Setibanya di mobil, Arkan terlihat mengingat sesuatu.
"Sepertinya aku belum memasukkan jaket, di sana dingin."
"Sudah ku masukkan!"
"Oh, iya. Kaos kaki lupa?"
"Sudah!"
"Handuk dan alat mandi, aku tidak terbiasa dengan fasilitas hotel."
"Sudah, Pak. Semua sudah saya masukkan."
Arkan terdiam sejenak dan melihat ke arah Sera heran. "Kok bisa?"
Sera merogoh tasnya dan mengambil buku berwarna merah muda. "Aku menemukan ini, di sana tercatat jelas tentang semua kebiasaan Pak Arkan dan anak-anak."
Buku yang ditunjukkan itu adalah milik istrinya.
"Kemarin aku tidak sengaja melihatnya di kamar anda, maaf aku mengambilnya."
Arkan mengangguk.
Tak berapa lama si kembar naik ke mobil, mereka saling berebut sesuatu dan salah satu di antaranya menangis.
"Kalian ini sudah Ayah belikan masing-masing tetap saja berebut!"
"Kenzo nih Ayah!" Kezia merengek.
"Kamu ini kakaknya, ngalah dong!" Arkan sedikit membentak.
Sera langsung melihat ke arah majikannya itu, lalu mengambil alih pembicaraan. "Tidak berebut, gunakan ponsel masing-masing."
"Wanita ini terlalu ikut campur!" Kezia berbicara pelan tapi masih terdengar.
"Jaga mulutmu, Zia! Tidak sopan ya kamu!" Arkan kembali bernada tinggi.
"Waktu kalian hanya satu jam, setelah itu aku akan mengambil ponsel itu dan kalian tidur," ucap Sera lagi.
Mobil mulai melaju, belum setengah perjalanan si kembar sudah mulai tertidur.
"Jangan selalu ngebentak anak, Pak."
"Tidak apa-apa, biar suatu saat mentalnya terbentuk, dunia ini keras, mereka tidak harus selalu dimanja!"
"Membentuk karakter anak itu harus kita ajari dengan cara mengelola emosi yang baik, memahami perasaannya, memvalidasi apa yang dia rasakan. Suatu saat ketika dewasa anak juga akan memvalidasi perasaanya, mencari solusi dengan cara yang baik. Kalau sering dibentak, takutnya mereka tumbuh dengan cara yang sama terhadap orang lain ketika merasa marah atau ada perasaan yang tidak nyaman."
Arkan menghela napas. "Siap Bu guru!"
"Aku lagi serius."
"Aku juga serius," jawab Arkan menoleh pada wanita yang kini duduk di sampingnya.
Sera mengalihkan pandangan, menatap ke arah jendela dan menikmati pepohonan yang seolah sedang berjalan bergulir melewatinya.
Sampai di kota Bandung, mereka langsung ke hotel.
"Hanya satu kamar, Pak?" tanya Sera bingung.
"Di dalamnya ada dua ruangan tidur, aku tidak mungkin macam-macam."
Sera pun mengikuti langkah majikannya di belakang si kembar.
"Aku akan menghangatkan makanan, kalian harus makan dulu!"
"Pesan di hotel saja!" ujar Kenzo.
"No! Aku sudah memasak!"
"Makananmu gak enak!" jawab Kenzo lagi.
"Yakin? Kamu selalu lahap memakan masakanku!"
Kenzo tidak lagi menjawab, setelah makanan dihangatkan mereka pun makan siang bersama, terlihat sekali si kembar sangat lahap, begitu juga Arkan, membuat Sera mengembangkan senyumnya diam-diam.
Setelah itu mereka beristirahat, saat malam menjelang semua turun untuk menghadiri sebuah acara resmi. Sera mengenakan dres panjang dengan jilbab senada yang dililit ke leher, membuat Arkan terpukau dibuatnya. Sementara si kembar nampak cantik dengan pakaian formal, begitu juga Arkan yang gagah.
"Jangan berlaga menjadi istri ayahku!" ucap Kenzo yang melihat Sera nampak cantik.
"Tidak! Aku masih terlihat sebagai pengasuh kalian."
"Sudah ... sudah. Ayo kita turun sekarang!"
Suasana nampak megah dan meriah, sepertinya tamu penting yang ada di sana. Mereka berempat jalan beriringan seperti keluarga.
Arkan terlihat begitu dihormati, acara ini begitu mengagumkan untuk Sera, tapi ia pun merasa bosan dan akhirnya beranjak sekadar mengambil cemilan, sementara si kembar sejak tadi bersama ayahnya.
"Hai, Sera!"
Suara seseorang terdengar, ia tidak mengenalnya. Di sampingnya sudah berdiri seseorang yang nampak asing.
"Maaf, anda mengenal saya."
"Tentu. Kamu lupa pada saya?"
Sera mengernyitkan dahi. Pria itu semakin dekat dan berbisik. "Kamu yang waktu itu menemaniku memandu lagu, sayang sekali kita belum sempat check in saat itu, padahal kamu begitu menggoda."
Jantung Sera berdebar kencang, kemudian tak berapa lama ia merasa bagian belakang tubuhnya diremas oleh pria itu. "Kamu check in dengan siapa? Setelah selesai datang ke kamarku, ya! Aku akan membayarmu dengan mahal!"
Sera semakin takut, ia mundur satu langkah, tangannya bergetar hebat, bibirnya kelu tak dapat berkata. Sampai beberapa saat kemudian, pria itu terdengar berteriak, seseorang menggigit tangannya dengan kencang.