Membohongi Diri

1726 Words
Aku hanyut dalam lamunanku. Ternyata Radit datang ke pesta pernikahanku, dia hanya memandangiku dari kejauhan. Aku menatap fotoku yang sedang tersenyum dengan balutan gaun pernikahanku di ponsel Radit—dia memotretku dari kejauhan. Percayalah, senyuman itu adalah senyuman palsu. Aku tidak sebahagia itu di hari pernikahanku. Sudah sedekat ini, tapi aku tidak bisa memeluknya, hanya bisa memandanginya dari balik dinding kaca. “Gue dapat telepon dari teman gue yang lihat dia mabuk di klub. Impossible, itu bukan Radit banget. Ternyata gue selisih jalan sama dia. Gue nyampe di klub, dia sudah nggak ada di sana.” Ucapan Hilman memenuhi pikiranku. “Nggak jauh, Nyak, lokasi kecelakaannya dari klub. Niat gue mau bantu orang kecelakaan, tahunya tuh korban sahabat gue sendiri, Radit. Dia hancur banget, Nyak, sejak pisah dari lo.” Dasar bodoh! Berusaha tegar nyatanya rapuh. Pengecut! Tidak bisa memperjuangkan padahal masih sangat menginginkan. Aku mengeluarkan keluhku pada sosok dia yang terbaring di sana. Seberapa banyak aku mencari kurangnya, tapi aku tetap tidak bisa membencinya. Aku masih terus menyerukan namanya di hatiku. Berbeda dengan Zein tanpa melakukan apa-apa saja aku dengan mudah membencinya. Aku menghapus fotoku yang Radit ambil malam tadi. Lalu meletakkan kembali ponsel bersama tas miliknya di nurse station. “Mbak, titip tas di sini nanti Tante saya ambil, ya,” pintaku pada perawat. Aku harus meninggalkan rumah sakit. Zein hanya memberiku waktu tiga puluh menit di sini. Ini bahkan sudah lewat lima belas menit. Aku yakin Zein sudah melihatku, dia turun membukakan pintu mobil untukku. “Zee, kamu baik-baik saja?” tanya Zein saat kami sudah melaju menuju Bandung. Aku membuang pandanganku ke arah jendela—mengabaikan Zein dan merasakan usapan lembut pada puncak kepalaku. *** Bandung Begitu tiba di villa kami langsung di sambut riang. Karena kami datang terlambat semua sudah menyantap makan malamnya. “Ayo, langsung makan,” saran Mama Seina. Sebenarnya aku tidak berselera karena terus memikirkan Radit, tapi aku menurut saja berjalan ke arah Mama Seina yang terlihat paling repot. “Ma, kami mau istirahat sebentar, ya, masih terasa lelah,” pamit Zein dan orang tua kami langsung setuju. Mereka bahkan saling menggoda satu sama lain, aku tidak paham apa maksudnya. Zein mendorong tubuhku—tangannya memegang pundakku sesekali memijatnya. “Zein, lepas!” protesku. Begitu tiba di kamar, aku mengembuskan napas kasar, lagi-lagi aku akan seranjang dengan Zein. Aku memilih membersihkan diri lebih dahulu dan Zein setelahku. Sementara Zein mandi, aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Tubuh dan pikiranku sama lelahnya. Beruntung Zein meminta izin untuk beristirahat. Baru saja akan memejamkan mata, Zein memanggilku dari dalam kamar mandi. Aku kesal tiap kali dia memanggilku dengan sebutan Zee, sok akrab sekali. “Zee,” panggilnya lagi, aku turun dari kasur dan gegas menuju ke arahnya tanpa menyahut. “Sayang, loh,” kejutnya saat aku berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. “Zee, kamu maunya aku panggil ‘Sayang’, ya?” “Mau apa Zein? Cepatlah!” kesalku. Kalau memanggil hanya untuk menggodaku lebih baik aku kembali saja ke kasur, pikirku. “Zee,” panggilnya lagi dan aku menghentikan langkahku. Zein memintaku mengambilkan handuk kimono di dalam lemari, dia mengaku lupa membawa serta handuk ke dalam kamar mandi. Aku melangkah malas mencari handuk kimono yang dia maksud. “Nggak ada,” jawabku asal. Aku tidak membuka lemari, hanya mengambil lipatan handuk baru di atas meja samping lemari. “Bukan ini, Zee,” protesnya, tapi aku memaksanya memakai handuk yang aku berikan. Aku memberi dua handuk sekaligus, tapi Zein menolaknya dan mengambil satu handuk. Zein mengoceh saat keluar dari kamar mandi dalam keadaan top-less bahkan bulir air masih membasahi tubuhnya. Aku terpaku saat dia melewatiku. Kemudian terdengar suara ketukan dan pintu tiba-tiba terbuka sebelum kami menyahut. “Zein—” Aku reflek melebarkan handuk di tanganku menutupi tubuh bagian atas Zein—menoleh ke arah Mama yang tengah mengulum senyum. Mama membawa nampan berisi makan malam untukku dan Zein. Aku sampai bingung harus mengambil nampan dari Mama sedangkan tanganku masih menutup bagian tubuh Zein hingga salah tingkah. “Mama letak di meja sini, ya,” ujar Mama setelah meletakkan nampan di meja luar kamar. “Terima kasih, ya, Ma,” ucapku dan Zein bergantian. Aku menurunkan tanganku—bernapas lega begitu pintu kembali tertutup. Setelahnya aku menerjap saat Zein memelukku. Aku menahan napasku saat wajahku tepat di depan d**a bidangnya. Zein mengangkat tubuhku—memutar arah ke depan lemari dan membukanya. “Ini apa, Sayang?” tunjuknya pada handuk kimono yang tergantung di dalam lemari. “Kamu sengaja ingin melihat tubuhku, hm?” Aku memicingkan mataku padanya, menginjak kakinya, dan meninggalkannya. Bahaya, Zein sangat berbahaya. Dia mengeluh kesakitan, tapi aku tetap meninggalkannya. “Zee, makanannya masih di luar,” serunya, sementara aku terus melangkah dan naik ke atas kasur. “Bodo amat!” *** Keesokan harinya Lagi-lagi Zein bangun lebih dahulu dariku. Semalam kami kembali tidur seranjang tanpa melakukan apa-apa. Jujur, Zein adalah lelaki pertama yang berada sedekat ini denganku. Bukannya aku tidak paham harus melakukan apa, aku hanya tidak siap saja. Selain tidak berpengalaman, aku juga tidak akan melakukannya dengan lelaki yang tidak aku cintai. Aku juga akan memastikan Zein tetap utuh sampai dia bertemu dengan wanita yang pantas untuknya dan dia cintai nanti. Hari ini kami seharian mengajak orang tua berkeliling kota Bandung. Keduanya tampak bernostalgia. Selama bersama keluarga, aku dan Zein bersandiwara layaknya pasangan pada umumnya. “Kalian yakin nggak honeymoon? Bukannya Zein sudah ambil cuti seminggu?” “Cutinya mau dipakai untuk beberes apartemen, Ma. Supaya lebih nyaman ditempati, ya, ‘kan, Zee?” Aku hanya meringis dan mengangguk setuju. Aslinya aku tidak tahu apa rencana Zein dan malas bertanya kenapa dia mengambil cuti cukup lama. Aku melihat Ayah duduk sendiri di taman belakang villa dan menghampirinya—menyandarkan kepalaku pada bahunya. Ayah merangkulku mengelus lembut puncak kepalaku. Ayah asyik menceritakan perkembangan kebunnya, beliau terlihat sangat bahagia. Malam ini kami masih akan menginap semalam lagi dan besok kembali ke Jakarta. Mama Seina dan Papa Erwin akan kembali Jepang dan ayahku juga sudah akan mulai bekerja. Ibu datang langsung memisahkan aku dan Ayah—duduk di tengah. “Sama suamimu sana kalau mau manja-manja. Ini suami Ibu,” seru Ibu merangkul lengan Ayah. “Nah, itu suamimu. Zein, sini,” panggil Ibu. “Ini istrimu ingin dimanja.” Aku menoleh mendapati Zein mengulum senyumnya. Sepanjang jalan mendekat ke arahku dia merentangkan kedua tangan dan aku membuang pandanganku. Zein mendekat, dia tidak hanya memelukku, tapi merangkul kami semua—melebarkan tangannya dari arah belakang hingga Ibu dan Ayah tersenyum melihat tingkahnya. *** Jakarta Mama Seina dan Papa Erwin sudah kembali ke Jepang. Ayah dan Ibu sempat menawarkan kami menginap di rumah, tapi aku menolak. Aku benar-benar butuh ruang, beberapa hari lalu aku bagai tak terpisahkan bersama Zein. Ke mana dan di manapun dia selalu ada di sampingku. Untuk itu, aku memutuskan untuk kembali ke apartemen. “Zee, tidurlah bersamaku.” Aku mengabaikannya—menutup pintu kamar. Aku mengembuskan napas kesal mendapati koper dan barang-barangku tidak di kamar ini. Saat aku membuka pintu kamar Zein masih berada di depan pintu. “Ada asisten dari rumah Mama yang membantu merapikan apartemen kemarin dan memindahkan barangmu ke kamar kita,” jelasnya. “Tidak ada kamar kita, Zein. Yang ada hanya aku dan kamu. Tidak perlu mencampuri urusanku dan aku juga tidak akan mencampuri urusanmu,” tekanku. Aku berjalan lebih dahulu ke dalam kamar utama mengambil semua barang-barangku dan memindahkannya. “Tega sekali, aku tidak bisa tidur sendiri, Zee,” lirihnya saat aku melewatinya. “Bukan urusanku.” Aku menutup pintu kamar meninggalkannya. Memangnya dia anak kecil yang harus ditemani saat tidur. *** Pagi harinya Pagi sekali aku sudah bangun, ternyata masih kalah dari Zein yang sudah bangun lebih dahulu. Dia duduk di sofa depan memangku laptop entah mengerjakan apa. “Kita shalat bersama, ya, Zee,” pintanya dan aku mengangguk tanpa bersuara. Seperti biasanya Zein mengulurkan tangannya dan aku selalu menolak saat dia ingin mengecup keningku. Kali ini dia menahan dan mengusap lembut pipiku dengan menatapku lembut. Aku segera kembali ke kamar dan mengurung diriku hingga matahari menyapa. Aku mengganti pakaianku dan bersiap ke kantor hari ini. “Zee, mau ke mana?” tanya Zein ketika aku sudah bersiap akan berangkat bekerja. “Zee.” “Aku mau ke kantor,” jawabku seraya memakai sepatu. Zein memintaku untuk sarapan, tapi aku mengabaikannya. Begitu akan meraih pintu Zein menahanku. “Kita ke kantor bersama, kamu sarapan. Aku bersiap, tidak akan lama.” Aku mengempas keras tangannya hingga terlepas, begitu Zein masuk ke dalam kamar. Aku pergi begitu saja meninggalkannya. Aku tiba di kantor lebih cepat bahkan Ayah saja belum tiba. Namun, Sinta sudah ada di mejanya. Dia menyapaku dengan ramah mengucapkan selamat atas pernikahanku. Setelah meletakkan tas di ruangan Ayah, aku masuk ke dalam pantry membuat kopi untuk menemani pagiku. Aku tersentak saat aku dipeluk dari arah belakang hingga tanganku tidak bisa bergerak. “Mulai nakal. Mana telinganya yang tidak mau mendengar diberi tahu?” “Ah! Zein, lepas.” Aku memberontak saat dia menggigit telingaku, tapi dia menahanku dan memutar tubuhku menghadapnya. “Lepas!” “Kamu akan selalu mendapat hukuman kalau tidak mendengarkanku.” Kini matanya melihat gelas kopiku. “Jangan minum kopi, aku bawa roti lapis untukmu—” Aku dan Zein kompak menoleh ke arah belakang dan mendapati Sinta akan masuk ke dalam pantry. Sinta tampak terkejut dengan apa yang dia lihat. Aku mencoba melepas Zein, tapi dia menahanku. “M—maaf, Mbak, Pak,” ucapnya . “Ada apa, Sinta—loh, kok, sudah kerja?” tanya Ayah heran. Aku sampai menganga melihat Ayah ikut menyaksikan aku dan Zein berpelukan. Beliau mengulum senyumnya seraya menggeleng. “Pelukan jangan di kantor, pulang saja sana,” ujar Ayah lalu meninggalkan kami mengajak serta Sinta yang tampak segan. “Zein, keterlaluan!” Aku mendorong tubuhnya menjauh dariku. “Keterlaluan apanya? Ayo, pulang kita lanjut pelukan.” “Dalam mimpimu, Zein!” *** Siang harinya Zein dan Ayah tampak asyik dengan diskusi mereka sementara waktu makan siang sudah menyapa. Sinta datang membawa makan siang, padahal aku belum menentukan pilihanku. Namun, yang aku dapat justru menu favoritku. Aku melirik ke arah Zein dan dia mengedipkan sebelah matanya. Sudah pasti dia yang memesankannya untukku. Setelah selesai makan aku membersihkan bekas makan kami dan menuju pantry. “Zee, aku ingin ikut Ayah bertemu kliennya. Kamu di sini atau mau ikut—” “Aku ingin ke rumah sakit.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD