Restunya Tak Berpihak Pada Kita

1744 Words
Aku tersentak saat pergerakan cepat Zein, tiba-tiba pisau di tanganku sudah berada di tangannya. Aku melihat dia mengeraskan rahang dan napasnya berderu menahan amarah. “Ganti pakaianmu, Zee. Aku akan mengantarmu.” Aku mengangguk cepat dan gegas mengganti pakaianku. Saking buru-burunya tadi aku tidak sadar hanya mengenakan piayama. Aku siap lebih dahulu—duduk di sofa, begitu melihat Zein keluar dari ruang ganti aku cepat meraih kunci mobil miliknya dan memberikan padanya. Zein tidak langsung mengambilnya, dia menatapku begitu dalam. “Zein,” panggilku tak ingin membuang waktu. Aku berjalan lebih dahulu setelah Zein meraih kunci mobil yang aku berikan. Saat akan membuka pintu aku membeku ketika Zein memelukku dari arah belakang—membenamkan wajahnya di ceruk leherku. “Janji setiba di sana kamu tetap akan mendengarkanku, Zee,” lirihnya membuat aku menyernyitkan dahiku. Tanpa berpikir panjang aku tegas berjanji padanya. Zein mengecup puncak kepalaku, lalu melepas pelukannya—memutar tubuhku—memakaikan jaket untukku yang sudah ada di tangannya. “Pakai, ya, ini sudah larut malam.” *** Mobil yang Zein kendarai sudah terparkir sempurna di halaman rumah sakit. Zein menahanku saat aku akan keluar, paham maksudnya aku pun menunggu. Zein selalu membukakan pintu mobil untukku. Aku berlari ke IGD mencari tahu keberadaan Radit dan bertemu dengan Hilman—teman Radit. “Vanya,” panggilnya. Aku mendekatinya dan dia tampak terkejut dengan keberadaanku. “Lo—” “Kak, Kak Radit di mana, Kak?” pangkasku. Hilman tak menjawabku dan menoleh ke arah belakangku. Aku pun mengikuti arah pandangnya. Ternyata Hilman melihat Zein yang berada tidak jauh dariku. Hilman mengatakan kalau Radit sedang ditangani di ruang operasi. Hilman menunjuk arah ruangannya sementara dia meminta maaf tidak bisa mengantarku karena harus mengambil beberapa kebutuhan untuk Tante Vero. Aku menoleh ke arah Zein dan dia mengangguk seolah mengizinkanku. Begitu tiba di ruangan tunggu depan ruang operasi, Tante Vero langsung bangkit dari duduknya memelukku. Dia meminta maaf padaku dan Zein karena sudah mengganggu waktu kami. “Tante tidak paham, Vanya. Kenapa Radit terus memanggil kamu.” Tante Vero menceritakan semuanya, mulai dari beliau dan Radit janjian akan datang bersama ke acara pernikahanku. Namun, Tante Vero terpaksa datang sendiri karena Radit khawatir dia akan terlambat tiba di Jakarta, sementara Om Brandon masih di Australia. “Radit kecelakaan dalam keadaan mabuk, Vanya,” lirih Tante Vero membuat darahku berdesir. “Kamu yang paling mengerti dia seperti apa. Dia tidak pernah menyentuh minuman seperti itu. Tante khawatir, masalah apa yang membuat dia seperti tidak b*******h untuk hidup setelah pulang dari Jepang.” Air mataku jatuh mendengar setiap penuturan Tante Vero. Tante Vero kembali meminta maaf padaku dan Zein karena sudah merepotkan. “Vanya ini teman pertama Radit saat kami pindah ke Jakarta, Zein. Mereka satu sekolah sampai satu universitas,” jelas Tante Vero pada Zein. Kini Tante Vero beralih menatapku. “Benar kamu tidak tahu masalah apa yang terjadi pada Radit?” Susah payah aku menelan salivaku dan menggeleng pelan. *** Dua jam sudah aku menunggu, tapi pintu ruang operasi tak kunjung terbuka. Aku melihat Zein berjalan ke arahku memberikan minum untuk Tante Vero, kemudian bersimpuh di hadapanku membuat aku menerjap. Zein membuka botol minum dan memberikannya padaku. Aku manfaatkan momen ini meminta izin padanya bahwa aku ingin menemani Tante Vero. “Zein, jawab,” paksaku karena dia tak kunjung memberi jawaban. “Aku ikut bersamamu.” Terserah saja, asal aku tetap bisa di sini, pikirku. Zein duduk di sampingku—menarik kepalaku untuk disandarkan di bahunya, tapi aku menolak. Pukul empat dini hari, pintu ruangan operasi terbuka. Beberapa dokter keluar dari ruangan. Kulihat seorang dokter tampak berbicara dengan Tante Vero dan aku mendekati keduanya. Tante Vero memelukku, kami bernapas lega karena operasi berjalan lancar. Setelah ini Radit akan dipindahkan ke ruang ICU. Aku melihat Zein berbicara dengan seorang dokter, keduanya terlihat akrab. Kemudian brankar yang membawa Radit melewatiku, air mataku mengalir melihatnya tenang dalam tidurnya. Aku melangkah begitu saja mengikuti perawat yang mendorong brankar Radit, tapi langkahku terhenti saat Zein menahanku. “Dia akan langsung dibawa ke ruang ICU.” Aku menoleh dan mendapati Radit sudah menjauh. “Kita pulang sekarang, ya.” Aku mengangguk setuju, tadi aku sudah berjanji akan mendengarkan Zein. Aku mengikuti langkahnya menuju mobil, setelah berpamitan pada Tante Vero. “Aku ingin melihatnya lagi nanti,” ujarku saat Zein membuka pintu mobil untukku. “Boleh, asal kamu tidur bersamaku di ranjang yang sama bukan di sofa.” Aku menerjap saat Zein mendekatkan wajahnya menunggu jawabanku. “Deal?” Aku tidak menjawabnya dan masuk, lalu menutup sendiri pintu mobil. Sepanjang perjalanan aku hanya diam saja, begitu juga dengan Zein. Kami tiba di hotel saat adzan subuh berkumandang. Begitu tiba di kamar, aku terus berjalan melangkahkan kakiku ke arah sofa dan Zein menahanku—memelukku dari arah belakang—melingkarkan kedua tangannya kebagian depan leherku. “Langsung bersih-bersih, wudhu dan kita shalat berjamaah,” ujarnya lalu memutar tubuhku ke arah kamar mandi. Aku melepas paksa tangannya, tapi tidak bisa karena Zein sengaja menahannya. “Jangan peluk-peluk!” kesalku. “Kenapa? Aku memeluk istriku,” ujarnya seraya melepas pelukannya. Aku memicingkan mataku padanya dan dia mengedipkan sebelah matanya. Hih, genit. *** Zein mengulurkan tangannya—memintaku menyalaminya setelah kami shalat bersama. Saat dia hendak mengecup keningku aku menghindar dan menjauh darinya. Baru saja akan merebahkan tubuhku di sofa, Zein sudah bersiul kemudian memberi isyarat memintaku naik ke atas kasur. Seketika aku mengingat tawarannya tadi. Dia akan mengizinkanku kembali ke rumah sakit kalau kami tidur di tempat yang sama. Aku melangkah ragu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku pun naik ke atas kasur—memunggunginya dan dia menyelimutiku. “Jangan mendekat!” bentakku saat dia sedikit bergeser ke arahku. “Ternyata kasur ini kecil dari yang aku kira. Aku bisa terjatuh kalau terlalu di pinggir karena aku sedikit lasak saat tidur, Zee,” ujarnya. Seperti anak kecil saja jatuh dari kasur karena tidak bisa diam saat tidur. Lagi pula kasur ini cukup besar menurutku. Zein menarik tubuhku menghadapnya dan aku meletakkan bantal di antara kami. “Aku sudah bilang pada Mama kalau kita tidak akan ikut sarapan bersama pagi ini karena akan melanjutkan tidur. Nanti makannya dari kamar saja, ya.” Aku hanya berdehem lalu berbalik kembali memunggunginya. *** Pagi harinya Aku tersentak dari tidurku begitu sadar tidur seranjang dengan Zein. Aku bernapas lega karena saat ini aku masih berpakaian lengkap dan Zein tidak ada di sampingku. Aku melihat pintu balkon terbuka, ternyata Zein duduk di balkon sepertinya sedang menikmati sarapannya. Aku bergegas membersihkan diri dan duduk di kursi dekat meja yang sudah dipenuhi makanan. Makanannya masih banyak. Apa Zein belum makan? Bodo amat, ah. Baru saja akan meraih botol minum, Zein sudah masuk dan menyambar botol di tanganku dan membukanya untukku. “Seenaknya saja makan duluan, aku menunggumu sedari tadi,” rajuknya. Aku hanya diam dan menegak minumanku, lalu menyantap sarapanku. Zein bilang siang ini kami akan checkout dari hotel dan meletakkan barangku di apartemennya. Kami akan mulai tinggal bersama. Zein meraih sebelah tanganku dan memberi card holder di atas telapak tanganku, tapi aku menolaknya. “Zee, ini tap card apartemen dan kartu debit untuk kamu. Isinya tidak banyak, tapi aku pastikan kamu tidak pernah merasa kekurangan. Sejak kemarin kamu sudah menjadi tanggung jawabku, Zee.” Zein tersenyum saat aku menerima card holder darinya. Dia mengingatkanku untuk tidak ragu menghabiskan isinya. Bicara soal apartemen, Zein mengaku baru saja membelinya jadi tidak begitu banyak perabotan. Kami tidak akan menempati rumah orang tua Zein di Jakarta sekalipun rumah itu kosong karena Mama dan Papa menetap di Jepang. Zein mengizinkanku bekerja bersama Ayah. Dan apartemen yang dia beli lokasinya dekat dari kantor Ayah dan stasiun kereta. Zein akan melakukan perjalanan Jakarta – Bandung setiap hari. “So, tidak ada LDM,” lanjutnya. Whatever, aku tidak peduli. “Kita besuk Radit ke rumah sakit setelah dari apartemen, lalu menyusul keluarga ke villa di Lembang, ya,” usulnya dan aku hanya mengangguk. Malam ini kami sekeluarga akan menginap di villa keluarga Zein. Kami juga berencana liburan bersama selama tiga hari. *** Apartemen yang akan kami tempati benar-benar dekat dengan kantor Ayah. Aku sangat tahu apartemen ini, harganya sangat fantastik. Area mall di apartemen ini terhubung dengan plaza yang berada tepat di samping kantor Ayah. Aku hanya cukup berjalan kaki untuk tiba di kantor dari apartemen. “Aku mau pakai kamar yang satu ini.” Tanpa persetujuan dari Zein aku memasukkan semua barang-barangku ke dalam kamar tamu. “Zee ….” “Aku butuh ruang Zein. Semua ini terlalu cepat untukku. Perjodohan kita, pernikahan ini, dan kamu. Aku sulit menerima semua ini,” tekanku padanya. Aku mengambil card holder yang Zein berikan tadi, mengambil tap card apartemen dan mengembalikan kartu debit yang Zein berikan. “Kamu tidak perlu mendalami peranmu, Zein. Tidak perlu bertanggung jawab atas nafkah—” Kalimatku terhenti saat Zein melangkah mendekatiku sementara aku mundur hingga kakiku berada di pinggir ranjang. “Kamu istriku, Zee.” Aku menahan Zein agar dia tidak semakin dekat, tapi nyatanya dia terus maju hingga aku terduduk di ranjang dan terbaring karena dia tak kunjung mundur. “Aku berhak menafkahimu lahir dan batin,” lirihnya saat tubuhnya berada tepat di atasku. Aku terpaku menatap manik matanya. “Bernapas, Zee,” lanjutnya, lalu pergi meninggalkanku. Aku menghirup napas sebanyak-banyaknya. Gila! Zein memang gila! teriakku dalam hati. *** Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit aku hanya diam dan sesekali menyahut saat Zein bertanya. Zein tetap ikut bersamaku ke rumah sakit dan akan menungguku. Tidak akan lama karena setelahnya kami akan melanjutkan perjalanan ke Lembang. Setiba di rumah sakit aku mendapati Tante Vero menangis dalam pelukan suaminya. Aku berlari mendekati keduanya dan Tante Vero langsung memelukku. “Tante,” lirihku. Tante Vero menangis dalam pelukanku. “Radit dinyatakan koma pasca operasi, Vanya.” Air mataku mengalir saat pandanganku jatuh pada alat-alat di tubuh Radit. Aku hanya melihatnya dari balik dinding kaca sambil memeluk Tante Vero. Kak, maafin Vanya, batinku. Flashback “Sayang, kalau aku lamar kamu, kamu terima, nggak?” tanya Radit saat kami sedang duduk berdua menatap gunung fuji di seberang sana. “Of course. Kamu mau lamar aku, Kak?” “Ya, nggak sekarang. Harus yang romantis and memorable.” Kami tertawa bersama. “Sebelum itu?” tanyaku menggantung menangkup kedua pipinya dengan tanganku. “Sebelum melamar, aku harus mengikuti step by step yang kita rancang bersama. Mengantongi restu orang tua kita.” Aku mengecupnya dari jauh dan dia mendekatkan wajahnya ke arahku, tapi cepat aku menutup mulutnya hingga kami tergelak bersama. “Sayang, apakah restu mereka berpihak pada kita?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD