Aku tetap pergi sekalipun Zein melarangku. Radit masih terbaring di ruang ICU. Meski diizinkan masuk, aku tetap tidak berani menemuinya. Padahal dia dalam keadaan tidak sadarkan diri. Jujur, aku takut, aku tak kuat menyaksikan keadaannya yang seperti ini. Biarkan saja dia beristirahat agar segera kembali pulih.
Aslinya aku belum puas memandangi Radit meski dari kejauhan, tapi hari sudah semakin sore. Aku akan langsung pulang ke apartemen. Tadi Zein ikut bersama Ayah menemui klien. Ayah memang selalu menyambut klien yang datang sekalipun bukan urusan pekerjaan. Katanya hanya ingin menyambung silaturahmi.
Aku masih sibuk dengan ponselku. Taksi online yang aku pesan sudah mengabariku bahwa dia sudah di lobi rumah sakit.
Aku tersentak saat ponselku dirampas dan bernapas lega setelah tahu itu Zein. Namun, setelahnya aku kesal bukan main padanya.
“Pulang denganku,” titahnya.
“Eh, mana bisa. Aku sudah pesan taksi online.”
Zein menuju sebuah mobil dan menyerahkan sejumlah uang, setelah itu mobil taksi pesananku pun menjauh.
Zein tidak menuntunku, dia terus berjalan ke arah mobilnya yang terparkir tidak jauh dari lobi—membuka pintu untukku. Dengan langkah malas aku mendekat ke arahnya. Begitu akan masuk ke dalam mobil Zein menarik kepalaku dan mengecupnya.
“Jangan begini, Zee—”
“Lepas!” Aku masuk ke dalam mobil lalu menutupnya keras.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diamnya.
Zein terus mengemudikan mobilnya ke apartemen. Aku jalan mendahuluinya begitu mobil terparkir sempurna di basemen dan enggam berbicara dengannya. Aku terus melangkah hingga sampai ke unit kami berada.
“Zee, kita harus bicara.” Aku menghindar darinya, mengabaikannya—berjalan ke arah kamarku berada. “Zee.” Aku mengempas tangan Zein saat dia menyentuhku.
“Dengar Zein, jangan ikut campur urusanku. Baik kemarin atau hari ini bagiku sama saja, pernikahan ini tidak berarti bagiku.”
Zein menggeleng—mengembuskan napas panjang. Aku yakin dia tengah menahan amarahnya.
“Bukankah ini hanya pernikahan bisnis? Kita dijodohkan, menikah, dan bisnis berjalan lancar. Simbiosis mutualisme bagi kamu dan Ayah, lalu bagaimana dengan aku? Aku yang paling tersakiti di atas kejayaan yang kamu dapatkan. Aku benci kamu, Zein! Benci!”
Aku masuk ke dalam kamar menutup pintu dan seketika tubuhku luruh bersandar di belakang pintu.
Aku tidak hanya membenci Zein, aku mulai membenci diriku sendiri. Radit begini karena aku, ya, benar begitu, ‘kan?
Aku masih berharap apa yang terjadi dalam hidupku ini adalah mimpi, tapi kenapa aku tidak juga tersadar dan bangun dari mimpi ini?
***
Sejak hari di mana aku mengungkap kesalku pada Zein, tidak ada yang berubah darinya. Dia tetap Zein bersikap lembut dan tenang.
Kemarin aku kembali membesuk Radit tanpa berpamitan pada Zein. Namun, aku tahu dia terus mengikutiku. Biarkan saja dia lelah sendiri, aku tidak peduli.
Aku baru saja selesai jogging dan mendapati Zein duduk di meja makan sibuk dengan ponselnya.
“Zee, mulai besok ada Bik Sasa yang akan rutin datang pagi dan pulang setelah selesai masak dan membersihkan apartemen,” ujarnya setelah menyimpan ponselnya dan berjalan ke arahku yang sedang mengisi ulang air mineral ke botol minumku.
“Kenapa selalu mengabaikanku, hm?” Sesuka itu dihukum?”
Ya, tiap kali aku mengabaikannya, ada saja tingkahnya yang membuatku resah. Zein sudah seperti zombi yang terus mengigitku tanpa aba-aba. Sama sekali tidak lucu.
Senin nanti aku sudah rutin ke kantor dan Zein juga akan kembali bekerja. Zein adalah seorang manager pemasaran di anak perusahaan keluarganya yang bertempat di Bandung. Perusahaan pusatnya berada di Jepang tempat Mama Seina bekerja.
“Malam ini temani aku tidur, ya,” pintanya lirih dan aku terus berjalan ke dalam kamar tak menghiraukannya. “Pelitnya,” sindirnya sebelum aku masuk ke dalam kamar.
***
Keesokan harinya
Aku bangun pagi—bersiap bekerja dan tidak melihat Zein. Di meja makan sudah ada roti lapis dan secarik kertas.
Morning, Zee
Sarapan sebelum berangkat, ya
Aku meletak asal catatan yang Zein tinggalkan.
Inilah awal kesibukanku. Ayah sudah mulai melimpahkan pekerjaannya padaku. Aku diminta untuk turun langsung, tapi tetap dalam pengawasan beliau.
Seharian bekerja sore ini aku berencana untuk kembali membesuk Radit. Aku datang dan pergi sesuka hati, hanya ingin melihatnya meski sebentar saja.
Setelah sampai di rumah sakit, aku mendapati Radit sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kali ini aku bertemu dengan Tante Vero, matanya terlihat sembab. Beliau mengajakku masuk ke ruang perawatan Radit. Tidak ada yang berubah, bahkan sejumlah alat yang melekat di tubuhnya tidak ada yang berkurang.
Sudah seruangan begini pun aku tidak berani mendekatinya. Rasanya sangat tidak pantas sebab karena akulah Radit jadi begini.
“Kenapa kamu terus datang, Vanya? Hari ini Tante tidak melihat suamimu. Selalunya dia menunggumu—duduk di kafetaria atau di lobi.”
Aku tidak menjawab pertanyaan Tante Vero hanya mengiris saja.
“Sudah, Ma?—loh, ada Vanya,” ujar Om Brandon.
Beliau menanyakan kabarku dan kami terlibat pembicaraan singkat.
“Vanya, kamu masih lama atau nggak? Tante dan Om ada kepentingan sebentar, nanti teman Radit datang. Dia yang akan menjaga Radit sampai Om dan Tante kembali malam nanti.”
“Kalau begitu Vanya tunggu di sini sampai yang jaga datang, Tante,” ujarku dan Tante Vero setuju.
***
Aku menatap Radit dari kejauhan, hatiku terasa diremas hebat. Kalau sebelumnya aku hanya melihat dari balik dinding kaca, sekarang dia nyata di depanku. Aku bangkit dari sofa melangkah terus hingga berdiri ke sisinya. Sekalipun ruangan ini besar, tapi sunyi, yang terdengar hanya dentingan suara alat.
Air mataku mengalir melihat wajah teduhnya. Hari kini sudah berganti minggu, tapi dia masih betah tidur dengan tenang.
Kini jemariku terulur menyentuh pipinya.
“Kak, Vanya di sini—Kak.” Aku mundur selangkah menutup mulutku saat melihat air mata Radit jatuh sementara matanya masih terpejam.
Aku menekan panggilan, sesaat kemudian seorang perawat datang dan keluar untuk memanggil dokter setelah aku menceritakan apa yang aku saksikan.
Dua orang dokter masuk, satu di antaranya menatapku heran hingga membuat aku salah tingkah. Aku sedikit bergeser memberi ruang pada dokter dan perawat yang memeriksa Radit setelah mengatakan bahwa wali pasien sedang keluar dan akan kembali malam nanti.
Satu per satu alat di tubuh Radit disingkirkan. Aku tak tenang menunggu dokter melakukan pemeriksaan.
“Pak Radit,” panggil seorang dokter membuat darahku berdesir. “Pak Radit bisa mendengarkan saya?”
Air mataku kembali mengalir saat mendengar suara Radit begitu lirih.
Aku buru-buru meraih ponselku ingin menghubungi Tante Vero, tapi ternyata ponselku dalam keadaan mati.
Jantungku berdegup kencang saat dokter memberi beberapa pertanyaan singkat pada Radit dan dia kembali menjawabnya meski suaranya terdengar tidak begitu jelas.
Dokter memanggilku mendekat, tetapi aku ragu untuk melangkah.
Radit menoleh ke arahku dan menatapku lalu tersenyum.
“Vanya,” panggilnya. Aku menatap Radit dan dokter yang memanggilku bergantian seolah menanti jawabanku dan aku mengangguk.
“Syukurlah, Pak Radit lanjut istirahat, ya. Mbak Vanya, Pak Raditnya ditemani dulu, kami akan menghubungi wali pasien.”
Dokter memberikan beberapa arahan perihal perawatan khusus yang harus tetap dipatuhi sampai kondisi lebih stabil.
Kedua dokter berpamitan, tapi aku masih risih dengan tatapan rekan dokter Herman. Sesekali dia tampak mencuri pandang padaku, dokter Ganda. Dia dokter yang berbicara dengan Zein pasca operasi Radit malam itu.
Kini tinggallah aku berdua dengan Radit. Dia terus tersenyum menatapku.
“Tante Vero dan Om Brandon sedang keluar, t-tapi pihak rumah sakit akan menghubungi mereka Ponselku habis daya,” lirihku dan Radit hanya tersenyum.
Aku dan Radit saling beradu pandang. Aku sangat merindukannya. Wajahnya masih terlihat lemas dan bibirnya sedikit pucat.
“Diam aja, sih, tidak rindu memangnya?” tanyanya membuat aku salah tingkah.
“A-aku mau keluar sebentar—”
“Zee.” Aku berbalik mendapati Zein berdiri di pintu.
“Tunggu, Sayang.” Aku kembali menoleh ke arah Radit setelah mendengar Radit memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’.