“Sayang,” panggil Radit sekali lagi membuat darahku berdesir mendengarnya.
Zein menarikku kasar menjauh dari Radit yang tampak begitu marah melihat perlakuan Zein.
“Aku keluar keluar sebentar, Kak,” pamitku pada Radit—menuntun Zein keluar ruangan. Namun, Zein terus menarikku hingga ke arah mobilnya terparkir. Sepanjang jalan aku mencoba melepas genggamannya, tapi usahaku selalu gagal.
“Masuk!” titahnya begitu membuka pintu mobil.
“Kenapa kamu ada di sini?” Bukannya mendengarkan titah Zein, aku malah memberinya pertanyaan. Heran, sudah seperti jin saja bisa berpindah-pindah sekelip mata.
“Aku yang harusnya bertanya, kenapa kamu di sini? Seharian tidak membuka pesan dan mengabaikan teleponku. Malah asyik berduaan dengan lelaki, sungguh tidak pantas,” ocehnya berkepanjangan.
“Aku sudah bilang jangan campuri urusanku, Zein,” tekanku padanya.
Zein mendekatkan wajahnya menatap mata dan bibirku bergantian hingga aku melipat bibirku.
“Dengar, Zee. Aku tidak lagi akan mengigit telingamu, tapi memotongnya.” Aku menutup telingaku setelah mendengar kalimatnya. Walau itu tidak mungkin terjadi, tapi terdengar sangat mengerikan. Ditambah lagi wajah dan nada bicara Zein yang begitu meyakinkan. “Masuk!” titahnya seolah tak ingin dibantah.
Aku terpaksa ikut bersama Zein pulang, Radit pasti menungguku. Namun, aku bernapas lega saat melihat Tante Vero keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke rumah sakit.
“Lihat, dia tidak sendiri. Ada keluarganya yang siaga menjaga dan merawatnya,” ujar Zein. Aku yakin dia juga melihat Tante Vero.
Aku memilih diam saja, enggan menanggapinya.
Begitu tiba di apartemen aku langsung mengurung diriku di kamar.
Aku keluar hanya mengambil apel dan mengisi ulang air minumku, lalu kembali ke dalam kamar.
“Zee,” panggilnya mengajakku makan bersama, tapi aku mengabaikannya.
Tidak ada kehidupan layaknya suami istri. Hampa dan hambar begitulah adanya. Lihat saja seberapa tahan dia menjalani pernikahan yang jauh dari kata harmonis dan romantis.
Aku melanjutkan pekerjaan kantor, memeriksa laporan yang Sinta berikan padaku melalui email. Tidak sadar jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku menyudahi kegiatanku dan naik ke atas kasur—mematikan lampu kamar.
Dengan setengah kesadaran, aku terusik saat pintu kamarku terbuka dan Zein masuk lalu naik ke atas ranjangku.
Aku merasakan tangan besar melingkar di perutku, tapi aku sudah terlalu lelah untuk berontak.
“Zein?”
“Aku hanya ingin memastikan sesuatu, tidurlah.”
***
Bangun pagi ini rasanya berbeda, tidurku malam tadi nyenyak sekali, sangat berkualitas. Seketika aku mengingat sesuatu. Aku mengecek sisi kasurku, tidak ada Zein di sini. Syukurlah, tapi malam tadi aku seolah melihatnya naik ke atas ranjang. Sebanyak apa aku mengingat, aku tidak mendapatkan jawaban. Aku mengedikan bahuku acuh, mungkin aku hanya bermimpi.
Aku tidak tahu Zein sudah bangun atau belum. Aku tidak tahu semua tentangnya dan aku tidak peduli.
“Pagi, Nyonya.” Aku terkejut saat wanita paruh baya menyapaku dengan sebutan Nyonya. Aku sampai memastikan kalau yang dipanggil Nyonya itu benar diriku. “Saya Bik Sasa, yang diminta Mas Zein bekerja di sini masak dan beberes,” jelasnya.
Aku hanya meringis dan mengisi ulang botol minumku.
“Sarapan, ya, Nyonya. Saya sudah siapkan,” ujar Bik Sasa.
“Jangan panggil Nyonya, Bik. Panggil Vanya saja,” pintaku segan.
Kalau tidak salah ini hari kedua Bik Sasa bekerja dengan kami. Ini kali pertama aku melihatnya. Biasanya beliau datang saat aku sudah berangkat dan pulang sebelum aku tiba di apartemen.
“Tapi Mas Zein bilang panggilnya Nyonya Besar. Kalau nggak nanti Nyonya marah.”
Dasar Zein, ternyata saat aku tidak ada dia menggibahiku.
“Pembohong, Zein itu pembohong. Saya nggak pemarah, kok. Bik panggil Vanya saja, ya.”
Bik Sasa tersenyum seraya mengangguk. Beliau menyuguhkan bubur ayam buatannya, tahu saja kalau aku suka bubur ayam.
“Enak nggak, Mbak? Mas Zein bilang Mbak Vanya suka bubur ayam. Maaf, ya, Mbak. Mas Zein juga bilang kalau nggak enak saya bisa langsung dipecat oleh Mbak Vanya.”
Waduh, waduh … ternyata bakat terpendamnya adalah pandai bersilat lidah. Awas saja dia nanti.
Aku mengatakan pada Bik Sasa agar jangan mempercayai Zein dan Bik Sasa mengangguk paham. Bik Sasa mendekat dan memberi secarik kertas padaku.
Sayang, selamat menikmati sarapannya. Wajib membaca pesan dan mengangkat teleponku. Hari ini tidak boleh ke rumah sakit, mata-mataku ada di mana-mana. Jika tetap pergi siap-siap telingamu kupotong.
Aku mengangkat pandanganku dan Bik Sasa meringis—meminta maaf karena dia sudah membacanya lebih dahulu.
Fix, di mata Bik Sasa, aku adalah wanita terburuk di dunia.
***
Seharian bekerja aku langsung pulang, aku tidak ke rumah sakit. Bukan karena ancaman Zein, tapi aku hanya tidak siap bertemu dengan Radit. Jujur aku masih penasaran kenapa dia memanggilku sayang kemarin.
Deringan dari ponselku mengusik lamunanku.
Ternyata dari si pengganggu, dengan malas aku menerima panggilan teleponnya.
“Sayang,” rengeknya menyapaku.
Terdengar kekehan di seberang sana, sepertinya Zein sedang berkumpul dengan teman-temannya. Ada yang menggodanya, ada pula yang mengoloknya.
“Aku tutup teleponnya,” ketusku dan Zein cepat menyahut.
“Jangan dong. Lagi mana?”
“Lift.”
“Hari ini aku pulang malam, ada acara kantor. Aku pulang dengan kereta cepat dan meninggalkan mobilku di sini.”
Aku menyernyitkan dahiku mendengar penjelasannya.
“Aku tidak tanya,” jawabku lalu mematikan telepon secara sepihak.
Deringan kembali terdengar saat aku menekan password unitku. Aku pun menerima telepon tanpa melihat siapa peneleponnya.
“Apa lagi?” sapaku kasar.
“Sayang, kenapa tidak datang menjenguk?”
Aku menjauhkan ponselku melihat nama ‘Kesayangan’ pada layar ponselku. Aku belum mengganti nama Radit di ponselku.
“Kak Radit,” lirihku.
“Hari ini datang tidak, Sayang? Mama tidak menemaniku malam ini, Papa take off pukul delapan malam kembali ke Australia. Aku merindukanmu, Sayang.”
Air mataku jatuh mendengar suaranya. Rengekan biasa yang dia sering lakukan untuk mengambil simpatiku.
“Vanya nggak bisa ke sana karena sibuk seharian.”
“Besok wajib datang, ya.”
Setelah berjanji akan datang, aku memutuskan sambungan telepon dengan Radit dan menghubungi Tante Vero.
Aku tidak percaya dengan fakta yang baru saja aku dengar. Radit mengalami amnesia pasca operasi.
“Tidak tahu sebatas mana memori yang tidak dia ingat, tapi yang jelas dia tidak ingat kalau Om Brandon pindah tugas ke Australia padahal kejadian itu tepat saat dia pulang dari Jepang.”
Aku tertawa sumbang mendengar ketidakmungkinan ini. Begitu sambungan telepon berakhir. Aku membuka pesan singkat yang Radit kirimkan untukku.
Kesayangan
Sayang besok datang, ya, love you.
***
Keesokan harinya
Hari ini sama seperti kemarin aku bangun dalam keadaan segar dan bugar. Aku jadi bersemangat pagi ini.
Bik Sasa menyapaku begitu aku keluar dari kamar. Dan Zein keluar dari kamarnya terburu-buru menarikku dan mengecup puncak kepalaku.
“Aku berangkat, Zee.”
Aku terdiam mencerna apa yang baru saja terjadi padaku.
Zein! teriakku dalam hati.
“Kasian Mas Zein terlambat, katanya dia harus mengejar kereta paling pagi malah kesiangan.”
Aku menyimak sambil menikmati sarapanku.
“Katanya keasikan kelonan sama istri.”
Aku terbatuk-batuk hingga membuat Bik Sasa panik lalu memberiku minuman.
Istri mana yang dia kelonin, batinku.
***
Aku memberanikan diri datang ke rumah sakit setelah bekerja. Seperti biasa aku tidak izin pada Zein.
Aku masuk ke dalam ruangan Radit sambil mengendap—melihat barang kali ada yang memata-mataiku.
Aku merasakan pelukan dari belakang dan mematung ketika puncak kepalaku dikecup. Dengan cepat aku melepas paksa dan mundur menjauh.
“Kenapa, Sayang?” tanya Radit bingung.
“T-tidak apa-apa.”
Radit tampak biasa saja, tidak ada kesenjangan sama sekali. Dia terlihat bahagia dengan kedatanganku. Banyak hal yang dia ceritakan tentang pekerjaan barunya.
“Besok aku sudah boleh pulang, Sayang. Bagaimana kalau kita makan malam berdua? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Mataku membulat, apa yang Radit katakan barusan sama persis dengan yang dia katakan sebelum dia melamarku malam itu.
Apakah ini kesempatan kedua untuk hubungan kami? Bisakah aku merubah takdirku?
Aku menatap matanya lekat mencari jawaban atas pertanyaanku.
Radit mengusap pipiku lembut—menyadarkanku dari lamunan.
“Sayang.”
“Jangan bilang Kakak mau melamarku?” lirihku.
Radit tertawa lalu mencubit hidungku.
“Ternyata kekasihku titisan cenayang. Maukah dilamar?”
Aku menggeleng ragu dan dia tersenyum seraya mengusap lembut kepalaku.
“Okey, ada misi yang harus aku selesaikan sebelum melamarmu, right?”
Air mataku jatuh mendengar kalimatnya. Dengan cepat Radit mengusapnya—mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.
Aku pamit pulang sebelum Tante Vero datang. Begitu tiba di rumah, Zein sudah menungguku di ruang tengah. Dia berdiri begitu melihatku melangkah masuk ke dalam kamar dan menarikku.
“Jangan bilang kamu dari rumah sakit.”
“Bukan urusanmu.” Aku mengempas tangannya hingga terlepas.
“Karena kamu tidak bisa mendengarkanku, maka aku yang akan meminta Radit untuk mendengarkanku.”
Aku reflek mengatakan pada Zein kalau Radit lupa ingatan. Mengatakan kalau ini adalah kesempatan kedua untuk hubungan kami. Aku memberi saran pada Zein untuk mencari wanita yang tepat untuknya dan menceraikanku setelah menemukan wanita yang dia cintai.
“Itu hanya dalam mimpimu, Zee. Tidak ada perceraian dalam kamus hidupku.”
Aku kembali menantangnya, lihat saja seberapa luas sabarnya terhadap pernikahan yang tidak membahagiakan ini.