"Sayang, apa malam ini kamu juga tidak makan malam di rumah?" Ruby bertanya pada Arslan melalui panggilan telepon.
"Maafkan aku, Ruby. Sepertinya aku harus lembur lagi. Kamu makan dan tidurlah lebih dulu. Jangan menungguku." Arslan menjawab, lalu mengakhiri panggilan telepon begitu saja.
Semenjak kedatangan Nyonya Rose hari itu, semuanya mulai berubah sedikit demi sedikit. Bukan hanya menjadi semakin sibuk dan jarang pulang, tapi sikap Arslan juga menjadi dingin. Ruby tak tahu letak kesalahannya di mana, tapi hubungannya dengan Arslan kini menjadi semakin renggang.
Ruby memang sudah tidak menjadi sekretaris pribadi Arslan lagi. Sejak hubungan antara Arslan dan Ruby diketahui oleh Nyonya Rose, Ruby sudah tak diperkenankan lagi bekerja di perusahaan Dominic. Nyonya Rose sendiri yang memecat Ruby, dengan harapan Arslan akan menjauh jika Ruby tak lagi berada di sisi sang putra. Tapi rupanya, Arslan lebih nekat dari yang Nyonya Rose kira. Arslan terus saja mencari Ruby, bahkan sampai menikahi gadis itu.
Ruby sendiri mengira kisah cintanya yang keras dan berliku akan berakhir bahagia setelah dia dan Arslan menikah. Tapi rupanya semuanya tak semanis itu. Sikap Arslan kini mulai berubah, tak selembut dulu. Lelaki itu seolah menyesal telah menjadikan Ruby sebagai istrinya.
Malam itu, Arslan pulang ke apartemen dengan wajah yang begitu lelah. Penampilan lelaki itu tampak kacau, seolah ada hal buruk yang tak bisa Arslan atasi di perusahaan. Dia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, lalu memejamkan matanya sejenak.
"Apa yang terjadi?" tanya Ruby melihat sang suami yang bertingkah tak seperti biasanya.
Arslan tak langsung menjawab. Lelaki itu membuang napas kasar, lalu kembali membuka matanya. Dia menatap Ruby dengan tatapan yang tak bisa Ruby artikan.
"Data rahasia perusahaan bocor. Banyak kekacauan yang terjadi. Harga saham bahkan sampai menurun drastis," ujar Arslan kemudian setelah terdiam cukup lama.
Mata Ruby sedikit membeliak. Tentu saja apa yang Arslan katakan padanya sangat mengejutkan.
"Sebelumnya, hanya aku dan kamu yang memiliki akses untuk melihat data tersebut," sambung Arslan lagi.
"Hah?" Kali ini Ruby dibuat semakin terhenyak. "Apa maksudnya itu?" tanyanya kemudian dengan sedikit tertahan.
"Aku tidak percaya jika kamu adalah pelaku yang telah membocorkan data rahasia tersebut pada pihak lawan. Beberapa waktu terakhir aku bekerja sangat keras untuk menemukan celah jika ada orang lain yang mengaksesnya, tapi ternyata tidak ada," sahut Arslan.
Mata Ruby semakin membeliak.
"Aku tidak tahu data rahasia mana yang kamu bicarakan, tapi aku tidak pernah membocorkan data apapun selama aku bekerja menjadi sekretarismu." Ruby menyangkal sambil menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia tak pernah melakukan hal itu. Bahkan, dalam angan sekalipun dia tak pernah berkhianat pada Arslan.
Arslan kembali menatap Ruby tanpa mengatakan apapun. Sorot mata lelaki itu terlihat penuh dengan keraguan, membuat Ruby amat terluka karenanya.
"Sejumlah uang yang nilainya tak sedikit masuk ke rekeningmu, Ruby. Baru-baru ini, bahkan juga ditemukan riwayat pembelian sebuah Penthouse atas namamu." Arslan bergumam dengan nada datar.
Semakin terkejut saja Ruby mendengar penuturan suaminya itu.
"Bagaimana bisa?" gumam Ruby kebingungan. Dia tak mengerti dengan apa yang Arslan katakan barusan. Bagaimana bisa ada dana yang masuk ke rekeningnya dan ada pembelian sebuah penthouse atas namanya, sementara dirinya sendiri tak mengetahui hal itu.
Arslan masih menatap Ruby dengan tatapan yang semakin tak bisa Ruby artikan. Ketimbang marah, tampaknya lelaki itu lebih menunjukkan raut wajah kecewa.
"Aku tidak melakukan apapun, Arslan. Sungguh, aku tidak tahu apa-apa tentang semua itu. Terakhir kali aku memeriksa saldo rekeningku, isinya hanya tabunganku saat masih bekerja. Tidak ada aliran dana dan aku juga tidak pernah menerima pemberitahuan tentang penambahan dana dalan jumlah besar." Ruby berusaha menjelaskan pada Arslan.
Arslan menghela napasnya dengan berat, lalu mengeluarkan beberapa berkas dari dalam tas kerjanya. Lelaki itu memberikannya pada Ruby untuk Ruby periksa.
Alangkah terkejutnya Ruby melihat semua yang ada di dalam berkas tersebut. Semuanya adalah bukti-bukti tak terbantahkan yang mengarahkan dirinya sebagai pelaku yang telah membocorkan data rahasia perusahaan.
"Aku tidak melakukan semua ini, Arslan. Percayalah padaku. Pasti ada orang yang sengaja mengatur semuanya, lalu menjadikan aku sebagai kambing hitam." Ruby kembali membela diri.
"Aku juga berharap seperti itu, Ruby. Tapi semakin aku berusaha membuktikan jika kamu tak bersalah, semakin aku menemukan banyak bukti jika memang kamu yang melakukannya," sahut Arslan.
"Arslan, kamu tidak mempercayaiku? Bukankah kamu yang paling tahu orang seperti apa aku? Apa menurutmu aku akan melakukan semua itu?" tanya Ruby. Dia sungguh tak terima dengan segala tuduhan yang mengarah padanya saat ini.
"Aku juga mengira jika aku sangat tahu seperti apa dirimu, Ruby. Tapi sepertinya aku belum mengenalmu seutuhnya," sahut Arslan sambil bangkit dari duduknya dan meninggalkan Ruby begitu saja.
Ruby termangu dan berusaha mencerna apa yang sedang dihadapinya saat ini. Dia lalu teringat pada ancaman Nyonya Rose tempo hari. Mungkinkah ini adalah perbuatan dari ibu mertuanya itu?
"Tidak ... aku tidak pernah menyembunyikan apapun darimu, Arslan. Pasti ada yang merencanakan semua ini. Ada orang yang ingin menjebakku." Ruby berusaha membela dirinya. "Tempo hari ibumu datang dan memintaku menandatangani surat permohonan cerai, tapi aku menolaknya. Beliau mengancam akan melakukan sesuatu untuk memisahkan kita. Pasti semua ini adalah rencana ibumu–"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Ruby sebelum dia sempat menyelesaikan kata-katanya. Tamparan yang berasal dari tangan seseorang yang selama ini selalu melindunginya tanpa pamrih.
"Kau ... harusnya sejak awal aku menyadari sifat aslimu," geram Arslan dengan tangan yang masih menggantung di udara. "Mama bahkan telah berencana menggelar pesta resepsi untuk kita, bisa-bisanya kamu menuduhnya seperti itu. Selama ini, Mama memang belum memberikan restu, tetapi dia telah berusaha menerima keputusanku menikahimu, Ruby."
Arslan berlalu, meninggalkan Ruby yang termangu dengan air mata yang beruraian membasahi kedua pipinya. Hati wanita itu hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, Arslan yang sebelumnya adalah sosok paling gigih membelanya, kini berbalik menuduhnya. Rupanya, Nyonya Rose jauh lebih licik daripada yang Ruby bayangkan. Tetapi bukankah seharusnya Arslan lebih percaya padanya?
Isak tangis Ruby pecah tanpa bisa dia tahan. Terngiang lagi di telinganya kata-kata yang diucapkan oleh sang ibu saat dirinya memberitahu akan menikah dengan Arslan.
"Ruby, kamu menggapai yang seharusnya tak kamu gapai, Nak. Ibu takut kamu tak sanggup menanggung konsekuensinya. Jika kamu tak cukup kuat, kamu akan hancur."
Ibu Ruby mengucapkannya dengan penuh kekhawatiran, tapi Ruby dengan begitu percaya diri mengatakan jika semua kekhawatiran ibunya itu tak akan terjadi. Ruby pikir, dia telah cukup kuat untuk berdampingan dengan Arslan, tapi rupanya dia tetap anak seorang sopir dan pelayan yang tak memiliki kekuatan apapun.
Sepanjang malam, Ruby tak bisa memejamkan matanya. Arslan juga sepertinya tak berniat mengajaknya bicara. Lelaki itu bahkan tampak tak menyesal sama sekali setelah menampar Ruby. Ruby sungguh tak tahu akan bermuara kemana pernikahan mereka kelak.
Pagi menjelang, Ruby masih belum tahu apa yang mesti dia lakukan. Dia duduk termangu dengan tatapan kosong, sama seperti semalam. Sesaat kemudian, Ruby pun tersadar jika dia tak boleh begini. Bergegas Ruby membasuh wajahnya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Pikirnya, pagi ini mungkin dia harus mengajak bicara Arslan lagi di meja makan. Semuanya pasti akan menjadi lebih baik.
Namun, baru saja Ruby selesai menyeduh kopi, bel apartemennya berbunyi, memberitahukan jika ada yang datang bertandang. Dengan sedikit bertanya-tanya, Ruby melangkah menuju ruang depan dan membukakan pintu apartemen.
Ruby tercengang saat melihat beberapa orang petugas kepolisian dengan seragam lengkap sedang berdiri di ambang pintu apartemennya.
"Permisi, dengan Nyonya Ruby?" tanya salah seorang petugas polisi tersebut.
Ruby hanya mengangguk tanpa tahu harus berkata apa.
"Kami dari petugas kepolisian mendapatkan perintah untuk melakukan penahanan terhadap Anda atas tuduhan tindakan penggelapan uang perusahaan dan juga tindakan menjual data rahasia perusahaan pada pihak asing," ujar polisi tersebut sambil menunjukkan surat perintah penahanan untuk Ruby.
"Saya tidak melakukan semua itu," sahut Ruby. Tapi polisi di hadapannya justru mengeluarkan borgol dan memborgol kedua tangan Ruby.
"Anda berhak diam dan mendapatkan pendampingan dari pengacara." Petugas polisi tersebut mrnggiring Ruby. Bersamaan dengan itu, Arslan tampak keluar menyaksikan apa yang terjadi.
"Arslan, aku tidak melakukan semua itu. Tolong katakan pada mereka, aku tidak bersalah!" Ruby berseru pada Arslan, berharap suaminya itu akan membelanya dan mencegah polisi menangkapnya. Tapi Ruby harus menelan kekecewaan karena Arslan hanya diam mematung tanpa mengatakan apapun, seolah lelaki itu sudah tahu jika pagi ini Ruby akan digelandang oleh polisi.