Saat sipir yang mengantarnya meminta Ruby untuk duduk, barulah Ruby tersadar dari lamunannya. Dia duduk di kursi yang berhadapan dengan wanita paruh baya itu. Setelah itu, sipir yang mengantar Ruby pun meninggalkan tempat, memberi ruang bagi mereka berdua untuk berbicara.
"Anda teman baik ibu saya?" Ruby membuka percakapan. "Tapi, maaf, saya tidak ingat kalau ibu saya memiliki teman baik. Beliau selalu terlihat sendirian, bahkan saat meninggal dan dimakamkan tempo hari pun saya tidak melihat beliau memiliki teman." Nada bicara Ruby sopan, tapi terdengar agak sarkas. Sungguh dia sedang malas mendengarkan omong kosong dari seseorang bahkan yang tidak dia kenal sama sekali.
"Maafkan saya karena datang terlambat. Saya tidak sempat menghadiri pemakaman Hana," sahut wanita paruh baya itu.
Ruby sedikit tercenung. Wanita itu menyebut nama mending ibunya dengan sangat akrab. Mungkinkah jika dia memang teman baik sang ibu yang tak dirinya ketahui?
"Perkenalkan, saya Garcia. Saya dan Hana sudah bersahabat sejak kami kecil hingga dewasa." Wanita itu memperkenalkan diri lalu, mengeluarkan selembar foto yang ditunjukkannya pada Ruby. Foto yang memuat dua orang gadis muda yang saling merangkul. "Ini saya dan ibumu saat kami merayakan kelulusan sekolah menengah. Hanya foto itu yang tersisa karena panti asuhan tempat tinggal kami mengalami kebakaran."
Ruby kembali tercenung mendengar penuturan wanita bernama Garcia itu. Dia memperhatikan foto yang ditunjukkan oleh Garcia dan mengakui jika salah satu gadis di foto itu adalah sosok ibunya saat masih belia dulu. Ibunya juga pernah bercerita jika dia dibesarkan di sebuah panti asuhan sebelum kemudian bekerja menjadi pelayan Nyonya Rose. Jadi, wanita paruh baya di hadapannya ini adalah saudara satu panti ibunya?
"Anda sungguh teman ibu saya?" Kalimat Ruby lebih terdengar sebagai gumaman ketimbang pertanyaan. "Lalu kenapa selama ini saya tidak pernah melihat keberadaan Anda? Ibu saya juga tidak pernah bercerita tentang Anda?"
"Itu semua salah saya. Saya tinggal di luar negeri dan kehilangan kontak selama lebih dari dua puluh lima tahun. Padahal, sebelumnya Hana telah banyak membantu saya. Saat baru-baru ini saya berhasil mendapatkan akses lagi untuk menjalin komunikasi, saya mendengar Hana sudah meninggal." Raut wajah Garcia terlihat sedih tanpa dibuat-buat.
Ruby kembali tertegun, tak tahu harus menanggapi seperti apa.
"Saya juga mendengar jika suaminya sudah lama meninggal karena kecelakaan. Saat saya berangkat ke luar negeri dulu, kamu baru berumur sekitar dua atau tiga tahun. Saya memang tidak terlalu dekat dengan ayahmu, tetapi saya tahu jika dia adalah yang baik dan bertanggung jawab. Dia juga ikut membantu ibumu menyelamatkan saya dan memberangkatkan saya ke luar negeri." Garcia kembali berujar.
"Ibu dan ayah saya sudah meninggal. Mungkin pertemanan Anda dengan ibu saya memang dekat di masa lalu, tetapi sekarang beliau sudah tidak ada lagi. Mengunjungi saya ke tempat ini untuk bernostalgia tentang kisah persahabatan Anda dengan ibu saya bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan, Nyonya. Lebih baik Anda kembali sekarang. Jika Anda merindukan ibu saya, Anda bisa datang mengunjungi makamnya. Mungkin beliau akan senang melihat sahabatnya akhirnya datang." Ruby akhirnya menanggapi.
"Sebelum datang kemari, saya sudah lebih dulu mengunjungi makam Hana. Saya bahkan sudah meminta izin padanya untuk datang menemuimu." Garcia menyahut sembari tersenyum tipis. "Dan juga, saya datang bukan hanya sekedar untuk bernostalgia, melainkan untuk membalas budi."
Ruby menautkan kedua alisnya, tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Garcia barusan.
"Membalas budi?" ulang Ruby dengan memasang ekspresi tak mengerti.
"Ya, dulu Hana dan suaminya telah memberikan sebuah bantuan yang besar kepada saya, sudah seperti menyelamatkan hidup saya. Sekarang saya ingin membalas budi dengan menyelamatkan putrinya," sahut Garcia.
"Maksudnya?" Ruby masih tak paham. Mungkinkah wanita bernama Garcia itu hendak menyelamatkan dirinya dari penjara terkutuk ini? Tetapi bukankah itu hal yang sulit dilakukan oleh orang biasa? Jika itu teman ibunya, berarti orang tersebut hanya orang biasa yang tak memiliki kemampuan apapun, kan?
"Sebelum saya kemari, saya sudah banyak mengumpulkan informasi tentang apa yang terjadi pada Hana, juga pada dirimu. Seorang perawat di rumah sakit tempat Hana dirawat mengungkapkan, sebelum meninggal, Hana sempat mengatakan pada perawat itu jika putrinya tak bersalah. Dia percaya jika putrinya tak melakukan semua perbuatan yang dituduhkan padanya. Karena itulah, saya datang kemari. Saya akan mengeluarkan kamu dari tempat ini." Garcia berujar dengan tatapan tajam yang begitu tegas.
"Apa?" Ruby terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Semua kalimat Garcia terasa seperti angin segar yang begitu menyejukkan hatinya. Tetapi apakah semua itu memang benar?
"Ibu saya mengatakan dia percaya pada saya?" Ketimbang kalimat Garcia yang hendak mengeluarkan dirinya dari tempat itu, Ruby lebih tersentuh pada kata-kata sang ibu yang percaya padanya. Dia selalu merasa bersalah dengan semua pemberitaan buruk tentang dirinya belakangan ini. Ruby takut dia telah membuat ibunya kecewa dan marah terlalu dalam.
"Ya, benar. Perawat itu mengatakan jika Hana percaya putrinya tak bersalah dan berharap kebenaran akan segera terungkap. Makanya, saya datang untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginan terakhir Hana," sahut Garcia.
Ruby tertegun dengan raut wajah yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Ucapan Garcia terlalu indah untuk dia percaya begitu saja. Rasanya tak mungkin semudah itu mengeluarkan dirinya dari tempat ini dan mengungkapkan jika dirinya dijebak.
"Anda ingin mengeluarkan saya dari tempat ini?" tanya Ruby meyakinkan.
"Ya, saya akan mengeluarkan kamu dari tempat ini dan membantumu mendapatkan keadilan. Seperti yang diharapkan oleh Hana, kebenaran harus diungkap." Garcia menjawab tanpa keraguan, seolah wanita itu memiliki kekuatan yang teramat besar untuk mewujudkan kata-katanya tersebut.
"Tetapi ... apa Anda tahu siapa yang akan Anda hadapi? Lagipula, saya sudah dijatuhi vonis oleh hakim, rasanya mustahil untuk keluar dari tempat ini," ujar Ruby menyangkal. Bukannya dia pesimis, tetapi memang tak mudah untuk melakukan apa yang Garcia katakan tadi.
Mendengar keraguan Ruby, Garcia tersenyum. "Kamu tunggu saja. Setelah ini, saya akan kembali untuk menjemputmu meninggalkan tempat ini. Saya berjanji atas nama Hana."
Entah kenapa, Ruby Ingin sekali mempercayai apa yang Garcia katakan mesti secara logika itu bukanlah hal yang masuk akal. Ruby tak mengenal wanita itu dan tak tahu apakah pengakuannya sebagai sahabat ibu Ruby adalah sesuatu yang bisa dipastikan atau tidak. Akan tetapi, ini adalah satu-satunya mengharapkan yang membuat Ruby sedikit memiliki asa.
"Kalau begitu, saya akan menunggu," ujar Ruby akhirnya setelah terdiam cukup lama. Dia memutuskan untuk menggantungkan harapannya pada sosok yang baru ditemuinya hari ini.
Garcia tersenyum, lalu bangkit dari duduknya.
"Saya akan berusaha menjemputmu secepat mungkin. Tunggulah dengan sabar," ujar wanita paruh baya itu, sebelum akhirnya meninggalkan Ruby.