"Udah, Sal, jangan pundung terus," hibur Karina yang kebetulan melihat Salma melamun sambil melihat pesan terakhir Raga di ponsel. Karina meremat bahunya prihatin. "Mau gue bantu cari kandidat lain?"
Salma menggeleng lemah.
"Semangat dong, Sal. Gue atur kencan buta mau?"
Barulah Salma bereaksi. "Duh, Rin, ngehadapin orang yang lama kenal aja susah, apalagi orang baru coba?"
"Katanya mau nikah, cari calon aja malesnya kayak gini. Gimana mau dapet?"
Karina menggelung rambutnya dengan jepit ke atas, beberapa helai yang tak terikat jatuh mengenai pipi. Salma heran kenapa Karina bisa begitu cantik meskipun dia tidak sedang dalam mode rapi.
Roda di kursi berdecit saat Karina duduk. Lalu menatap Salma. "Nggak bisa gini terus, Sal. Coba buka hati untuk orang baru. Kenalan lagi dari awal."
Salma tidak mendengarkan. "Kenapa cari suami itu susah sih!"
"Nggak susah," omel Karina, "lo aja yang terlalu pilih-pilih."
"Buat masa depan masa asal-asalan?!"
"Anggap aja ini percobaan, kalau emang nggak cocok, gue nyerah. Gimana?"
Salma tak berkata apa-apa.
Karina melanjutkan, "Cowok ini temen gue; ganteng dan mapan. Lo pasti suka."
Pembicaraan itu terputus sepihak karena Salma lebih memilih untuk bungkam, terus menerus mengumpat soal; cari suami itu susah, atau cowok itu susah banget buat peka. Akhirnya Karina berinisiatif sendiri membuatkan janji pada kenalannya untuk bertemu dengan Salma. Saat dia memberi tahu Salma, bahkan Salma tak punya celah untuk menolak. Janji sudah dibuat.
Karina hanya beralasan bahwa; jadwal cowok ini padat banget, kapan lagi kalau bukan sekarang?
Dan akhirnya membawa Salma ke sini. Dia berdiri di depan pintu restoran Cina yang terletak di dekat lobi sebuah mal di pusat kotanya. Dengan langkah berat, Salma masuk, mereka sudah bertukar pesan sebelum ini, dan cowok itu berkata bahwa dia datang dengan kemeja abu-abu.
Hanya ada satu cowok yang pakai kemeja abu-abu di dalam. Duduk di pojok seorang diri. Itu pasti dia.
Salma berdiri di dekat meja cowok itu, memilin ujung baju, bingung untuk menyapa. "H-Hai," sapanya.
Cowok itu menoleh, rambutnya yang klimis mengilat di bawah sinar lampu, awalnya dia mengernyit, lalu kemudian tersenyum. "Salma ya?"
Salma mengangguk.
Kursi digeser untuk dia duduk. Masih tidak bersuara. Cowok itu nampaknya punya refleks yang bagus, tangannya terjulur, dia mengenalkan dirinya sebagai Danu. Dari penilaian Salma, Danu terlihat seperti cowok yang cukup matang. Kemejanya rapi dan tersetrika rapi, wajahnya halus, berbeda sekali dengan Raga. Cowok ini lebih terlihat seperti orang yang sangat menjaga kulitnya.
Kalau Danu itu teman Karina, sudah pasti umur mereka tidak terpaut jauh.
"Awalnya aku cuma HRD, tapi aku naik pangkat cuma dalam satu bulan. Direktur mungkin lihat potensiku," Danu tersenyum bangga, semua ceritanya masih sekitar dirinya. "Jadi aku bisa sesukses ini."
"Wah, hebat, ya," balas Salma sekenanya.
"Ini semua nggak bisa dibandingkan, Sal. Usaha itu harus dilakukan dengan gigih. Aku memang mudah mendapatkan apa yang aku mau; pangkat, uang, kemewahan. Tapi siapa aja yang mau usaha pasti bisa sampai posisiku, 'kan?" Danu tampak sekali bangga saat dia terus melanjutkan, "Oh ya, aku punya rumah tingkat tiga di Bandung, lagi dalam pembangunan, rumah itu nantinya untuk anak dan istriku."
"Pasti yang jadi istri lo bakal seneng."
Kedua tangan Salma saling menjalin. Ada-ada saja orang yang begitu puas menceritakan tentang dirinya sendiri, bagi Salma yang bukan seorang pendengar yang baik, bahkan dia tidak ingat seperempat cerita Danu.
Salma tersentak, ketika sebuah sentuhan mampir di tangannya. Danu menatapnya dengan tatapan yang cukup membuat Salma tak nyaman di depannya, sambil berkata, "Katanya kamu lagi cari suami?"
Tangannya ditarik, berdeham. "Ya."
Danu juga menarik tangannya yang memakai beberapa cincin yang nampaknya tak murah. Dia sengaja menampilkan itu agar terlihat oleh Salma. "Kalau gitu coba ceritain tentang kamu, Sal."
"Cerita apa?"
Makanan yang baru saja datang seperti oase buat Salma, pembicaraan ini tidak mau dia teruskan lagi, maka dia segera fokus pada makanannya. Ini makanan yang mahal. Salma cukup mampu untuk membelinya, tapi terkadang makanan mahal tak benar-benar sesuai selera.
Danu menyesap minumnya, tak melepaskan mata dari Salma.
"Makanan di sini enak, Sal. Rekomen dari temanku yang asli dari Cina."
"Oh."
Makanannya memang enak, bumbunya pedas dan memiliki rasa yang tajam. Hampir tidak terlihat cabai di beberapa menu, pedas ini adalah rasa lada hitam. Saat itu Danu juga menyantap makanannya, cara makannya sengaja dibuat agar Salma terkesima.
"Abis ini kita mau ke mana?" tanya Danu.
Sebenarnya Salma ingin cepat pulang. "Terserah, ke mana aja," dia berkata akhirnya.
"Kalau gitu kita abis ini langsung main aja gimana?"
"Main?"
"Kita harus kenal satu sama lain lebih dalam, 'kan?"
Salma benar-benar tidak mengerti maksudnya, dan tiba-tiba Danu meraih tangannya sambil mencondongkan tubuh.
"Aku nggak masalah nikah sama kamu, itu juga untuk bantu kamu supaya keluar dari masalah ini. Kamu butuh suami kayak aku, Sal." Danu mengusap jarinya di punggung tangan Salma. "Tapi kita bisa main dulu, 'kan?"
Kursi yang diduduki Salma terdorong ke belakang saat Salma berdiri tiba-tiba. Awalnya sulit untuk menarik tangan sehingga dia harus mencoba lebih kasar. Malah emosinya sudah tersulut sampai kepala. Akibat suara barusan beberapa orang di sana melihat ke arah mereka dengan penasaran. Danu tetap pada posisi duduk. Cowok ini tidak waras, 'main' dalam konteks kalimatnya ... Salma tahu maksudnya.
Ini gila!
"Gue permisi." Salma berbalik. Tangannya diraih Danu.
"Kenapa kamu pergi? Apa aku salah ngomong?"
Salma menarik tangannya sepelan mungkin meskipun dia marah. Dia merapikan rambutnya yang ikal sebahu. "Mungkin niat lo baik, tapi cara lo salah. Maaf."
Danu tidak mencegahnya, kesempatan itu membuat Salma pergi secepat mungkin. Kakinya yang lemas membuatnya tidak pergi menjauh. Dia berhenti pada beranda yang menampilkan pemandangan lantai bawah, mengembus napas.
Ini bahkan tidak cocok dengan kriterianya sama sekali.
Cowok b******n.
Tidak. Dia harus tetap positif. Ada teman cowoknya yang pernah berkata bahwa nafsu itu tidak bisa dipisahkan dengan laki-laki manapun, mereka seperti naluri. Akan tetapi apakah naluri itu tidak bisa dijaga? Untung ini adalah tempat ramai, kabur bisa semudah ini. Dia akan mengadu pada Karina, dia akan menyimpan cerita buruknya dan memberikan alasan yang cukup baik.
Sekarang dia tidak akan mencari kandidat lain.
Masih sore Salma sudah sampai di rumah, hari Sabtu jam kerjanya memang lebih cepat dan cuma satu jam saat dia pergi menemui Danu.
Sang ibu sedang menonton televisi, Salma tidak mengucapkan salam bahkan nyelonong masuk ke kamar dan menutupnya rapat-rapat. Dia bahkan tidak keluar sampai pagi. Jam 10 tepat Salma akhirnya bangun. Mood Salma masih tidak bagus karena mengingat kejadian kemarin. Yang dilakukannya di hari libur ini mungkin hanya akan tidur seharian tanpa melakukan apa-apa.
Salma sedang selonjoran di sofa saat ibunya melihat. "Kamu itu cewek, Salma, mandi sana udah siang."
Salma berguling sebagai jawaban.
"Bantu-bantu Mama di dapur atau ngapain, jangan jadi pemales gini."
Berisik, rutuk Salma dalam hati.
"Salma?" Ibunya menegur lagi dengan nada memperingatkan.
"Aish, Ma, ini 'kan Minggu."
"Memangnya kalau Minggu kenapa? Kamu bisa males-males gitu?" balas sang ibu. "Kamu itu jangan di rumah aja, main sana mumpung libur cari pacar."
"Pacar lagi, pacar lagi. Capek dengernya."
Ibunya jelas-jelas membanting sapu ke meja saat berkata. "Denger ya, Salma. Pokoknya Mama nggak mau tahu, tahun ini kamu udah harus menikah. Tahun depan harus sudah kasih Mama cucu. Titik!"
"Nggak bisa secepet itu, Ma!"
"Makanya jangan jadi pemales!"
"Ya emang nyari suami segampang metik daun apa?"
Perdebatan itu berhenti saat sang ayah melerai, Salma langsung menggunakan kesempatan itu untuk masuk kamar dan membanting pintu. Dia mengecek ponsel, terkahir kali pesan Karina belum dibalasnya, dan dia tidak punya minat membalas. Tangannya justru bergulir ke pesan lain, membuka foto profil pemilik pesan itu; foto seorang gadis kecil.
Kalau Salma tidak gigih artinya dia akan menyerah. Tapi Salma tidak mau terus menerus seperti ini, dia sudah dewasa dan memang butuh suami. Di sisi lain dia belum siap untuk mengandung dan punya anak, namun Raga bisa memberikannya anak, Raga bisa membantunya membungkam mulut sang ibu. Karena ada Reksi jika mereka menikah. Reksi akan menjadi anaknya.
'Bisa kita ketemu, Ga?' Pukul 10.06
Beberapa saat setelah mengirim pesan itu, dia segera mendapat balasan.
Cepat sekali.
'Oke.' Pukul 10.07
Salma segera memberi tahu tempat yang akan dijadikan tempat hangout mereka kali ini. Bukan tempat nonton, atau jalan-jalan tak penting, tapi sebuah taman.
Sampai di sana, jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, matahari masih lumayan terik, tapi Salma bisa menemukan gazebo yang nyaman di bawah pohon. Raga belum tiba, dia mengatakan bahwa ada kemacetan yang menghalanginya untuk cepat sampai. Mereka tidak berjalan bersama karena Raga saat ini tidak sedang berada di rumah, tapi dia juga tidak mengatakan keberadaannya secara pasti.
Salma berdandan tidak seperti biasanya; rambutnya diikat ponytail dengan pita berwarna pink. Dia memakai baju pendek yang memperlihatkan bagian pusar, dan celana training panjang dengan sepatu olahraga. Tujuannya memang jelas; dia akan membawa Raga berlari sore. Dia sudah menjelaskan maksudnya.
Tanpa sengaja dia melihat Raga berjalan dari jarak jauh, matanya memang menajam kalau melihat Raga. Sudah diduganya cowok itu bakal super duper ganteng.
"Dari tadi?" Raga menatapnya atas-bawah, dahinya mengernyit.
Salma mengangguk semangat. Jelas dia sudah menunggu satu jam lamanya, sekarang sudah jam empat, tapi antusiasmenya tidak luntur. "Jogging track ada di sebelah sana, mau lari sekarang?"
Tujuan awal Salma bertemu sebenarnya bukan untuk berlari, olahraga bukan tipikalnya sejak dulu, itulah kenapa dulu dia sering meminta bantuan Raga untuk mengerjakan semua PR Olahraganya.
Seolah-olah membaca pikiran Salma, Raga mendesah. "Duduk dulu aja, gue mau beli minum."
Salma mengangguk patuh. Raga kembali tak lama kemudian dengan dua botol isotonik.
"Jujur aja, kenapa lo ngajak gue jogging sore?"
Salma nyengir.
"Tadinya gue mau ajak Reksi, tapi gara-gara macet kayaknya nggak bakal sempat."
"Harusnya lo bilang, jadi gue bisa bawa Reksi bareng."
Raga membuka sweater merah yang dipakainya, tidak menjawab, lalu keadaan semakin menjadi canggung.
Salma berdeham. "Memangnya lo dari mana?"
Saat itu Raga tidak fokus pada pertanyaan itu, dia melihat Salma beberapa kali menarik bajunya ke bawah untuk menutupi pusarnya sendiri. "Berdiri coba," suruhnya.
Begitu Salma berdiri, Raga mengikat sweater miliknya di pinggang Salma dan menutup pusarnya.
"Kenapa lo pake baju begituan?"
Salma terkejut. Ini adalah pakaian olahraga. Tidak ada yang salah dengan ini.
"Mau pamer udel biar diperkosa orang?"
"Ngomong itu dijaga!"
"Kalimat gue salah? Baju kayak gini bisa ngundang nafsu orang."
Salma berdiri karena kesal. "Kalau otak cuma s**********n, mau cewek pake baju kayak gimana juga tetep aja bikin nafsu."
Seolah-olah Salma lupa bahwa Raga pernah menghamili cewek lain. Raga pasti sama dengan Danu, melihat wanita hanya karena nafsu. Wajar saja kalau dia tidak bisa menahan diri untuk melakukannya dengan cewek bahkan tanpa hubungan menikah dan sekarang akibatnya dia sudah punya anak sebesar Reksi.
Semua itu hanya karena nafsu, bukan salah cewek manapun.
Dia melepas sweater Raga. "Lihat aja, apa ada yang nafsu sama gue."
Sudah kepalang tanggung, Salma berlari menuju jogging track, beberapa orang sudah terlihat. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raga. Apa memang dia tidak peduli jika ada cowok yang akan mengganggunya hanya karena baju ini? Namun, setelah beberapa saat, Raga tidak menyusul, Salma sangat kecewa.
Dia berlari dengan tempo cepat. Tanpa sadar matanya berair. Benar-benar kecewa dan sakit.
Salma kelelahan setelah setengah jam. Dia berjongkok.
"Mana ada lari asal-asalan kayak gitu?"
Belum sempat Salma melihat seseorang yang menegurnya, kepalanya segera tertutup oleh sebuah sweater.
Wangi ini ... milik Raga.
Salma berdiri. Berkaca-kaca.
"Kalau mau lari, pake ini dulu." Raga mendengus. "Jangan umbar aurat."
Salma membiarkan ketika lagi-lagi sweater itu dililitkan Raga pada pinggangnya yang kecil.
"Sekarang lagi ada masalah apa?" tanya Raga.
Memang hebat seorang Raga, benar-benar tahu seperti apa Salma meskipun dia tidak mengutarakannya. Mana mungkin Salma mau melepaskan cowok ini. Dia bahkan mau berjuang sampai mati kalau Raga tak menginginkannya.
Niat untuk menghapus Raga dari calon suami sudah pupus.
Yang ada hanya perasaan menggebu-gebu.
"Ada kesempatan nggak buat gue?" Salma bertanya ambigu.
Raga menaikkan sebelah alisnya. Tidak menjawab.
Lalu dia berlari terlebih dahulu meninggalkan Salma dengan pertanyaan yang tak terjawab. Saat melihat Salma tidak bergerak, dia berhenti, mengulurkan tangan. "Ayo buruan. Bukannya mau lari?"
Salma meraih tangan itu. "Lari dari kenyataan boleh?"
Raga mengangkat bahu. Melepaskan tangan mereka dan berlari terlebih dulu. Salma cemberut, mau bagaimanapun beginilah Raga yang sekarang; terlalu cuek dan sok irit bicara.
"Jangan buru-buru, Ga. Tunggu!" Salma mengejar, tapi kemudian dia terjatuh karena tersandung batu.
Awalnya Raga tak tahu kejadian itu. Dia cuma mendengar Salma berteriak di belakangnya, beberapa orang sudah mendekat waktu Raga menoleh. Lalu dia ikut mendekat. Celana Salma sudah kotor, tapi tidak ada luka di kakinya.
Raga menghela napas. "Nggak bisa olahraga tapi sok ngajak lari," keluhnya, mengajak Salma duduk di rerumputan. Orang yang membantunya tadi sudah pergi. "Jadi, sebenernya apa niat lo ngajak gue keluar?"
Salma membuka mulut, menutupnya lagi. Kemudian dia bergumam, "Memangnya nggak boleh?"
Raga diam saja.
"Ga?"
Tangan Raga menarik celana Salma ke atas, ternyata benar tidak ada luka sama sekali. "Kenapa, Sal? Kenapa lo terus deketin bajingann kayak gue?"
tbc.