Part 1
"Kamu belum ada rencana buat nikah?"
Salma menahan napas, tangannya yang bergerak di layar ponsel berhenti.
Tatapannya diulur jauh dari sang ibu. Pura-pura tidak mendengar sambil menyenandung lagu asal-asalan. Harusnya dia sebisa mungkin menghindari pertanyaan ini seperti hari yang sudah-sudah. Jika hanya seorang teman atau rekan kerja yang bertanya, Salma bisa membalas dengan ketus dan marah. Tapi ibunya punya karakterisasi yang sama dengannya, apabila Salma membalasnya dengan keras, ibunya pula akan membalas sama kerasnya.
Cewek bernama lengkap Salma Keenala itu memang sudah berusia 28 tahun, katanya usia yang cukup matang bagi seorang wanita untuk menikah. Namun Salma tidak berpikir seperti itu, sebaliknya dia masih dalam gairah remaja yang tengah asik bergulat dengan hobi dan meniti karir. Omong-omong, Salma ingin punya usaha independen dan menjadi entrepreneur kaya raya.
Mumpung dia jomblo.
Akan tetapi dia bolak balik ditanyai orang-orang satu pertanyaan yang sama; Kapan nikah?
Salma menutup laman browsernya sebelum menjawab, "Nunggu jodoh dateng, Ma."
"Kalau nggak dicari nggak akan dateng, Sayang."
"Mau cari di mana? Di internet bisa nggak ya?" Salma berkelakar.
Ibunya tidak dalam mood baik saat berkata, "Carilah di luar sana, minta kenalin sama temen kamu. Pasti banyak."
"Cowok banyak, Ma, yang sayang sama aku belum tentu."
"Mau dibantuin nyari?"
Ada banyak kerugian kalau Salma menyetujui itu; dia harus terpaksa dijodohkan, terlibat hubungan pernikahan tanpa cinta, dan menyesal seumur hidup. Salma tidak bisa membayangkan kebebasannya direnggut seperti itu.
"Nggak usah. Mama sibukin diri nonton sinetron aja, belum tamat, kan?"
Salma bisa mendengar ibunya mencibir. Dia bergegas mengambil peralatan mainnya; kertas-kertas pola yang baru saja dia gunting juga beberapa kain baru, lalu masuk ke kamar buru-buru.
Ibunya masih mengomel di balik pintu saat Salma membuang kertas-kertasnya di ranjang. Salma menutup wajahnya dengan bantal erat-erat. Setelah berpikir banyak, mungkin dia butuh pacar sewaan untuk membungkam ibunya terlebih dulu. Ide itu memang terkesan sama saja dengan dijodohkan a la ibunya. Apalagi kalau menyewa pacar, risiko yang dia dapat lebih banyak.
Omong-omong soal pacar sewaan, Salma jadi teringat masa lalunya. Dulu saat dia SMA, dia pernah bertengkar dengan pacar sendiri, dia berinisiatif pura-pura pacaran sama cowok lain berharap pacarnya akan cemburu. Dengan enteng menembak sahabatnya yang terkenal ganteng dan alim. Mereka pacaran tak lebih dari sebulan, Salma tidak menganggap serius, begitu Salma kembali pada pacar aslinya, dia minta putus sama pacar bohongannya itu, dan Salma ingat bagaimana cowok itu marah besar padanya hingga mereka lost contact.
Heh?
Namanya Raga, 'kan?
Cowok itu sejak kecil punya reputasi yang baik; ganteng, pintar, alim dan sopan. Salma pernah beberapa kali minta bantuan untuk mengerjakan PR saat SMA dulu, dia 'kan lemah sama pelajaran Olahraga. Raga tidak pernah mengeluh saat Salma meminta bantuannya, kadang mereka akan hangout bareng di weekend sebagai penghilang penat.
Salma tiba-tiba rindu masa-masa itu. Sejak mereka lost contact sepuluh tahun silam, Raga sama sekali tidak bisa dicari, dia seolah-olah hilang ditelan bumi. Hanya saja setelah mereka lulus SMA, ada rumor yang mengatakan bahwa Raga menghamili seorang cewek dan dia pergi ke luar kota.
Sulit dipercaya. Raga yang alim dan sopan itu?
Sambil mengotak-atik ponsel, Salma iseng membuka akun media sosialnya, sekarang jaman sudah modern dari beberapa tahun lalu, Raga mungkin saja salah satu manusia yang up to date sama kemajuan teknologi. Tak ada salahnya kalau Salma mencoba untuk mencarinya di sana; berbekal nama lengkap Raga.
Salma membuka laman pencarian, mengetik nama; Kanuraga Septino.
Pertama, ada banyak nama yang serupa dalam pencarian, Salma membukanya satu persatu dengan telaten. Memerhatikan foto, bio, semuanya sambil mengingat-ingat segala hal yang berhubungan dengan Raga.
Lalu, dia menemukan satu akun yang merujuk kepada Raga.
Salma meng-klik username yang bertuliskan; Kanu_raga_septino dan matanya berbinar seperti melihat harta karun. Tanpa basa-basi menulis direct message singkat, senyum-senyum baper sambil menuang harapan besar.
Dan dia melihat pesannya sekali lagi, tersenyum yakin:
'Raga, masih inget gue?' Pukul 21.25
Salma tak bisa menahan senyumnya ketika selesai menyapa. Akun media milik 'Raga' dalam keadaan terkunci dan dia belum bisa melihat postingan pada akun tersebut. Ini belum terlalu larut jika memang Raga masih sempat mengeceknya, Salma pasti akan cepat mendapat balasan. Namun, setelah tiga jam, pesan Salma tak terbalas. Padahal, dia sudah membayangkan akan mengajak cowok itu hangout seperti yang dia lakukan tempo dulu. Raga pasti masihlah cowok baik dan kalem. Bisa jadi Raga adalah jodohnya kalau mereka dipertemukan.
Saat pagi menjelang, gedoran pintu dan teriakan ibunya membuat Salma terbangun. Hari ini dia ada jadwal ke kantor pagi, jadi dia bergegas mandi.
Di ruang makan, ada s**u dan nasi goreng super pedas buatan sang ayah. Salma menyantapnya dengan rakus. Makanan buatan ayahnya memang tak pernah ditandingi oleh apa pun.
"Papa hari ini lembur?" tanya Salma di tengah kunyahannya. Sang ayah menggeleng. "Nonton yuk, ada film horor yang pengen banget aku tonton."
"Emang nggak ngajak temen kamu?" Ayahnya bertanya sambil fokus pada televisi yang menampilkan berita.
"Nggak."
"Pacar?" Sang ayah melirik Salma. Pertanyaan ini bersifat pancingan, diam-diam ayahnya juga ingin tahu apakah anak gadisnya itu masih betah menjomblo atau tidak. Sang ayah memang tidak menuntut, tapi pria paruh baya itu khawatir karena Salma nampaknya tidak peduli tentang suruhan ibunya untuk segera menikah.
"Jomblo, Pa."
Ayahnya tak mengatakan apa pun lagi.
"Jadi, gimana?"
"Jam berapa?" tanya ayahnya.
Belum sempat Salma menjawab, ibunya berkata, "Ngapain ngajakin Papa kamu sendiri, ajak pacar dong. Udah tua, buruan nikah, trus punya anak."
Mood Salma langsung jelek.
"Bilangin tuh, Pa, anaknya. Biar cepetan cari jodoh."
Ayahnya tersenyum tipis. "Jual emas itu memang susah, Ma, soalnya mahal."
Saat tahu maksudnya, Salma langsung terkekeh, memberi ayahnya cubitan di pipi. Ibunya melengos, tak mau menanggapi kekompakan ayah dan anak itu.
Salma memang terlalu mahal untuk cowok sembarangan, itulah yang dia pikirkan.
"Aku berangkat dulu, Pa."
Salma mencium tangan ayahnya, di sisi lain ponselnya berdering karena sebuah pesan masuk.
"OH MY GOD!" Salma teriak kegirangan, dia melirik ayahnya yang tak peduli teriakan barusan, lalu mencium pipi sang ayah tiba-tiba. "Doain, Pa, bentar lagi dapet jodoh."
Lalu Salma ngacir keluar untuk berangkat kerja.
Selama perjalanan, dia terus menatap kotak direct message yang menampilkan sebuah pesan pendek dari Kanu_raga_septino;
'Ini siapa?' Pukul 08.06
Salma belum memikirkan balasan untuk pesan itu, dia terlalu bersemangat.
Ketika di kantor, Salma bahkan tak lepas dari layar ponsel. Raga sudah mengikuti balik akunnya dan privasi akun Raga yang tadinya masih terkunci saat ini sudah bisa Salma lihat dengan leluasa. Tak salah lagi cowok yang sekarang berbalas pesan dengannya memang Raga. Wajah cowok itu tidak pernah bisa dia lupakan. Sejak beberapa tahun tak saling bertemu, rupanya Raga sudah bertambah tampan dan terlihat lebih cukup terawat. Model rambutnya masih sama dengan saat Raga SMA dulu, bedanya hanya terlihat sedikit memanjang.
Salma membuka semua foto yang Raga unggah satu persatu, senyumnya tidak bisa ditahan. Setiap postingannya, tidak pernah Salma lihat Raga menggandeng cewek lain. Harapannya langsung membuncah. Dalam otaknya yang liar, Salma sedikit berangan-angan bahwa Raga bisa menjadi jodohnya.
Di pesan singkat keduanya tidak malu untuk mengingat masa lalu.
Raga juga tidak lupa dengan Salma, jadi percakapan mereka terlihat lebih akrab dari yang Salma kira sebelumnya.
Sampai akhirnya dia iseng bertanya, "Lo udah nikah, ya?"
Salma melipat bibir ragu saat menulis pertanyaan itu. Beberapa tahun lalu, dia memang mendengar bahwa Raga telah menghamili seorang cewek dan sampai akhirnya Raga memilih keluar kota untuk melanjutkan kuliah.
Tanda read sudah muncul, artinya Raga sudah membacanya, tapi nampaknya Raga tak terlihat sedang mengetik balasan.
Salma cemas. "Mampus! Jangan-jangan dia marah."
Sampai Salma pulang sore harinya, balasan masih belum muncul dari Raga. Selama seharian penuh Salma benar-benar tidak konsentrasi pada kerjaannya. Salma merasa takut, padahal dia sangat menaruh harapan besar, dan berangan-angan bahwa Raga adalah jodoh yang akan dipertemukan Tuhan untuknya.
Ada banyak keuntungan yang akan diterima Salma kalau Raga menjadi jodohnya; salah satunya karena Raga sudah sangat mengenal kepribadian Salma, begitu juga sebaliknya.
Bonusnya; Raga itu ganteng.
Dan kelihatannya mapan.
Oh. Oke. Mapan itu urusan belakangan untuk Salma, sekarang yang penting dia punya jodoh dulu.
Tapi, Raga belum membalas pesannya!
Mungkin Salma memang sial. Putus asa untuk menghapus nama Raga dari daftar calon suaminya. Bersamaan dengan pikiran itu, ponselnya berdering.
Raga memanggil.
Enaknya kalau sudah bertukar nomor ponsel, ya begini, bisa saling menelepon.
Tunggu?! Raga! Menelepon!
"Halo?"
"Halo, Sal."
Kanuraga Septino, dulu suaranya masih khas anak-anak, sekarang ada suara dewasa yang menginvasi telinga Salma. Samar-samar masih melekat nada bicara cowok kenalan lamanya itu. Diselingi gemerisik kecil.
"Raga."
Salma tak mampu berkata lebih dari ini. Kakinya lemas, dadanya meletup-letup. Duh, calon jodoh, katanya.
Suara Salma mungkin terdengar gemetar, tapi semoga Raga tidak menyadari.
"Ini bener Salma, 'kan? Yang kecil itu?"
Ada kekeh ringan yang renyah. Salma tidak tersinggung dikatai 'kecil', justru berbunga-bunga.
"Iya, siapa lagi coba Salma. Nama gue nggak pasaran, 'kan?" Salma mencoba sebisa mungkin untuk menahan suaranya supaya terdengar anggun.
Tidak peduli sedalam apa Raga sudah mengenal pribadinya dulu.
"Sorry, tadi sibuk, jadi nggak bales."
"Ups, ganggu ya, Bos?"
"Nggak kok."
"Gimana kabarnya, Ga?"
"Baik, Sal. Gue lagi di Jakarta."
Wow, kebetulan macam apa ini?
Salma terdiam sejenak untuk berpikir, kalau Raga bilang begitu artinya sedang ada di sini. Di kota mereka dilahirkan. Memang sekarang sedang musim liburan panjang sih, tapi liburan anak sekolah, 'kan?
"Lagi cuti?"
Ada jeda panjang sebelum dia menjawab, "Iya, mau nemenin anak, lagi libur sekolah."
Salma meneguk ludah diam-diam menelan kekecewaannya. Bukannya dia tidak antisipasi kalau hal ini akan terjadi. Salma tahu bahwa berita Raga menghamili seorang cewek itu benar, dan cewek itu sempat melahirkan anak mereka berdua.
Tapi Salma tidak tahu bahwa mereka akhirnya telah menikah.
Mungkin Salma benar-benar akan menghapus Raga dari daftar calonnya setelah ini.
"Oh, jadi bener lo udah nikah?"
Salma mengira Raga tak ingin membahasnya, dikira telepon sudah tak tersambung, tapi kemudian dia mendengar Raga menghela napas.
Salma tertawa canggung. Dadanya agak ngilu. "Ya udah, mumpung lo pulang, mau traktir gue nonton?"
"Boleh. Kapan?"
Salma hampir tersedak, tidak menyangka Raga bakal mengiyakan ajakan yang keluar begitu saja dari pikirannya. Salma menarik napas sambil mencari tempat duduk nyaman di depan kantor kerjanya.
"Gimana kalau besok?"
"Oke, besok."
"Pas gue pulang kerja, ya."
"Nanti gue jemput."
Salma tidak berharap Raga bakal menjemputnya, kelamaan jomblo membuatnya terbiasa berjalan sendiri tanpa jemputan. Tapi dia pikir memang sudah seharusnya lelaki menjemput seorang wanita, 'kan?
Setelah mengiyakan, telepon itu ditutup.
Wajah Salma sudah memerah seperti tomat sampai ke bagian telinga. Suara Raga yang renyah terus terngiang-ngiang sampai dia merasa bahwa suara itu masih berbicara di telinganya.
Malam itu, mereka tidak lepas komunikasi. Sebagai orang yang sedang balik ke kampung meninggalkan rutinitas, pastilah kesibukan Raga tidak terlalu berarti, makanya Salma maklum jika terkadang Raga akan meninggalkannya untuk aktifitas lain. Raga tak banyak berkomunikasi lewat pesan, dia lebih sering menelepon dan tak banyak pula yang mereka bincangkan. Mereka sudah sama-sama dewasa rasanya berbalas pesan tak perlu setiap saat.
Hari berikutnya, Salma sama sekali tidak konsen bekerja.
Ini sih gila.
Kehilangan akal seperti ini sama sekali bukan Salma, biasanya untuk hangout dengan orang lain, dia tak segugup dan segelisah ini. Raga seolah-olah sudah mengambil seluruh atensinya dengan suara-suaranya yang empuk, pesan-pesannya yang sopan, dan tidak membuat Salma berpikir bahwa dia agresif dan terlalu menggebu-gebu.
Raga tidak mungkin buta melihat bagaimana Salma berubah menjadi agresif semenjak kemarin. Raga begitu pintar mengobrak-abrik pertahanan Salma.
Apa dulu Salma sempat lupa fakta bahwa Raga itu pintar menarik hati orang lain?
Malamnya, Salma sudah duduk menepi di ruang tamu dengan d**a meletup-letup. Dia bahkan tidak bisa menyembunyikan itu dari ayahnya yang hanya bisa mengintip dari balik kacamata tanpa bertanya. Sedangkan Salma tampaknya galau harus bercerita atau tidak, dia tipe yang cukup terbuka pada sang ayah biasanya.
"Pa, aku main ya," katanya.
Sang ayah menggulir jarinya pada laman berita ponsel, bertanya, "Sama siapa?"
"Sama temen," jawab Salma antusias, seperti remaja puber. "Sama Raga lho, tau nggak?"
"Temen SD kamu itu?"
Salma mengangguk semangat. Tak perlu waktu lama untuk ayahnya mengingat cowok itu, jelas sekali, karena dulu mereka sangat dekat dan sering main bareng dengan sepengetahuan sang ayah. Salma menangkap bagaimana ayahnya diam-diam tersenyum di balik kacamata. Tidak berkomentar lebih.
"Aku pulang malem nggak apa-apa, 'kan?"
Ayahnya tidak berkata apa-apa, tapi Salma tahu dia diizinkan.
"Kok belum berangkat?" tanya ayahnya tiba-tiba.
"Bentar lagi sampe, dia mau jemput."
Jadwal sebenarnya diubah, pada awalnya, mereka janjian untuk bertemu di kantor dan Raga akan menjemputnya di sana. Tapi Salma pikir penampilannya setelah bekerja akan terlihat sangat tidak modis. Apalagi ini adalah kesempatan yang ditunggunya sekian lama, dia merasa harus totalitas.
Salma mengenakan blouse marun dengan tali panjang yang diikat pita di perut, dengan celana perpotongan betis berwarna abu dan juga sepatu yang agak tinggi, dia berharap hari ini dia tidak terlalu mencolok; sederhana tapi tidak membosankan.
Tak lama kemudian, Salma mendengar deru mobil yang rendah. Saat mengintip dari jendela, dia melihat Raga keluar dari pintu mobil hitam dengan pakaian santai dan wajah familier yang sedikit asing. Cowok itu tetap tampan dan sederhana. Mereka tak bertemu sekian lama, tapi jantung Salma berdegup begitu kencang, sampai dia harus memegangi dadanya.
Kenapa deg-degan gini?
Ketukan pintu terdengar pada pintu yang telah terbuka, kepala Raga melongok dari luar.
Salma mempersilakan Raga masuk, sebagai formalitas cowok itu mencium tangan ayah Salma dan berbasa-basi singkat.
Sang ayah melihatnya, tidak menyelidik, namun tatapannya tak lepas. Raga menolak saat dipinta duduk oleh ayahnya, beralasan bahwa takut terlalu malam dan pamit mengajak Salma pergi. Saat melihat sang ayah, Salma melepas tatapan maklum, mencium tangan ayahnya dan pergi mengikuti Raga.
Raga mungkin agak tidak sopan bagi Salma, tapi mungkin perasaannya saja. Dia bertanya, "Kita mau ke mana?"
"Enaknya ke mana?" jawabnya.
Raga membuka pintu mobil, menatapnya sebelum masuk, Salma otomatis di pintu yang berseberangan.
"Mau nonton, 'kan?" Salma membuka pintu, tapi kemudian dia membeku sebentar melihat seorang anak kecil di kursi belakang, dia mundur. "Ga, a-ada orang di dalem."
Salma mengira itu hantu, waktu Raga terkekeh, sepertinya dia sudah salah sangka, dia membuka pintu lagi.
"Dia ...."
"Reksi," jawab Raga, memicingkan mata seolah-olah menunggu reaksi Salma yang mengejutkan, "anak gue, Sal."
Salma tidak bisa berkata apa pun.
"Nggak keberatan kalau gue bawa dia?"
"Oh, n-nggak." Salma terbata. Masuk ke dalam dan menoleh ke belakang memaksakan senyum. "Jadi, lo beneran udah nikah?"
Seperti yang terakhir kali, Raga tidak menjawab pertanyaan ini.
Sebaliknya Raga meliriknya dengan wajah yang datar, benar-benar tidak bersahabat dan Salma tidak memperkirakan hal itu akan terjadi dan dia tidak nyaman. Salma tidak masalah kalau Raga membawa anaknya, tapi kenapa Raga menatapnya seperti itu?
"Gimana kalau gue jawab 'iya'?
tbc.