Part 6

1913 Words
Salma duduk murung tanpa menjawab. Bisa dia lihat bagaimana kilat mata Raga yang menunjukkan ekspresi tak terima. "Kenapa diem aja?" tanya Raga, memaksa Salma meneguk ludah. Otak Salma juga menanyakan dirinya, kenapa dia tidak bisa menjawab? Padahal mudah saja; Salma ingin menjadikan Raga sebagai suaminya sehidup semati. Salma mulai jatuh cinta sama Raga, entah sejak kapan, mereka memang sahabat tapi Salma tidak menyesalinya. Bukankah mereka pernah menjalin sebuah hubungan sekali? "Memangnya yang boleh deketin lo siapa aja?" Salma balik bertanya. "Bukan siapa-siapa." "Trus kenapa lo bohong, Ga?" Karena suasana ini akhirnya Salma bisa mengutarakan protesnya beberapa hari yang lalu. "Ngakunya udah balik ke Bandung." Raga menggeleng. Tapi menatap Salma misterius. "Ih, seriusan, Raga!" Salma memukul-mukul bahu Raga, tapi empunya terus menatap. "Nggak penting untuk diceritain." Alasan lain sudah jelas; Raga memang tidak mau Salma tahu bahwa dia di sini. Dia sedang dalam mode ingin menjauh dari para wanita-wanita. Setelah bertemu, ternyata Salma bukan lagi tipenya. "Lo malu?" Salma menyelidik. "Lo selalu bilang; bajingann, bajingann terus. Nggak ada yang mikir gitu padahal." "Kenapa lo yakin?" "Ya ... karena emang nggak ada yang mikir gitu, 'kan?" Raga tertawa kering setelahnya, seolah-olah meremehkan kalimat yang barusan itu. Yang tahu bagaimana perasaannya bukan Salma, dia tidak tahu apa yang menjadi ketakutan Raga. Raga bangkit berdiri. "Larinya udah, 'kan? Udah kapok gara-gara jatuh." Salma cemberut. "Gara-gara siapa gue jatuh?" sindirnya. Tanpa disangka-sangka Raga meraih lengan Salma dan membantunya untuk berdiri. Salma terkejut tanpa bisa menahan pipinya untuk tidak memerah. "Raga yang gue kenal sekarang udah berubah," dia membersihkan celananya dari debu. Melepas sweater Raga. "Dia yang sekarang cuek." Lalu dia menyodorkan sweater itu pada pemiliknya. "Gue memang punya maksud untuk deketin lo. Tapi gue nggak bisa kasih tau alasannya sekarang." Salma merapikan ikatan rambutnya sebelum pergi. Belum ada satu jam mereka di sini, Salma belum ingin pulang, kalau pulang artinya dia akan menyerah. Dia akan mencoba mengubah sendiri Raga dengan kekuatannya. "Abis ini kita ke mana?" Raga linglung. "Memangnya gue masih mau ngikutin lo?" "Kenapa nggak mau?" Salma membalasnya dengan tengil. "Tadi lo dari mana? Ayo, kita ke sana." Tak ada jawaban. Sweater Raga melayang menutupi kepalanya, saat ingin protes, Raga sudah berbalik meninggalkannya. Maka Salma segera mengejarnya sambil tersenyum malu. Raga memang cuek, tapi dia tetap perhatian. Salma tidak mengikat sweater itu di pinggangnya, tapi memakainya dengan benar. Ada bau semerbak parfum yang menguar di sana. Bau yang maskulin. Raga sudah menunggunya di depan pintu mobil, lalu masuk saat Salma masuk. Mobil melindas bebatuan sebelum melaju lancar menuju ke jalan raya. Jalan yang ditempuh bukan menuju ke arah pulang, terus menerus berada di jalan besar selama setengah jam lebih. Mobil itu akhirnya berhenti pada sebuah rumah besar dengan gerbang yang terkunci. "Turun, Sal. Buka gerbangnya." Sebelum Salma membantah, dia diberikan sebuah kunci gembok. Mobil masuk saat gerbang sudah terbuka. Salma berdiri manis menunggu Raga keluar sembari memerhatikan sekeliling taman kecil di sekitarnya. Tidak ada banyak tanaman; sebagian yang ada malah terlihat mengering dan sampah daun berserakan di sana sini bahkan mengotori kolam kecil yang tidak ada airnya. Wah, rumah kosong? Salma tidak sadar kalau Raga sudah membuka pintu ganda rumah itu. Menyalakan lampu padahal di luar masih terang, tapi di dalam memang gelap. Salma tersentak saat Raga membanting kunci mobil ke meja. "Ini rumah siapa?" tanya Salma, ingin memperjelas. Dia sebenarnya menebak ini pasti milik Raga. Tak ada jawaban. Sejauh mata memandang; itu memang rumah kosong, tapi nampaknya pernah ada yang tinggal di sini. Sampah plastik bekas snack berceceran di meja yang berada paling dalam. Salma juga melihat mug berisi kopi yang baru habis separuh. Dia melihat Raga dengan tatapan bertanya. "Rumah gue." Raga duduk di sofa. Mata Salma berbinar. "Serius? Lo bisa beli rumah gede ini sendiri?" Raga tidak tertarik dengan pertanyaan itu, sebaliknya dia menganggap Salma itu aneh. Membeli rumah dengan hasil sendiri itu wajar, apalagi kalau dia lelaki yang sudah mapan. Sekarang yang dia butuhkan hanya istri, setelah itu lengkap. Raga tertawa miring dengan pemikiran itu. Memangnya siapa yang mau sama cowok dengan reputasi buruk? "Sejak kapan lo balik ke Jakarta?" "Mungkin setahun yang lalu." "Setahun?!" Salma menatapnya tak percaya. Mengguncang bahu Raga. "Kenapa lo bohongin gue sih? Kenapa lo ngilang dari gue, Ga? Gue salah apa?" Pertanyaan-pertanyaan Salma selalu membuat Raga tak tahan. Sepertinya Salma memang berniat mengupas tajam kisah hidupnya yang dia tutup rapat. Dalam kelengahan Salma, Raga meraih kedua pergelangan tangannya, mendorongnya mundur terlentang di sofa, wajah mereka berdekatan. Raga menatapnya dalam diam. Sweater yang tidak terkancing memperlihatkan pusar Salma di bawahnya. Raga langsung melepaskannya. Salma buru-buru bangun. "K-Kenapa lo tiba-tiba dorong gue?" "Lo udah puas, 'kan?" Salma tidak mengerti. Raga tidak memedulikannya, mengambil rokok dan menyulutnya. "Apalagi yang mau lo tau dari gue?" tanya Raga dingin. Jujur saja Salma merasa sedikit takut. "Gue cuma—" Kalimatnya tertahan saat atensi Raga kembali padanya lagi. "Lo pengen tau gue bahagia atau nggak?" Dia bisa baca pikiran? batin Salma. "Setelah lo tau, apa yang mau lo lakuin, Sal?" lanjut Raga. "Mau ketawa?" Salma ingin menjawab, tapi dia tiba bisa memilih kata-kata yang baik. "Gue udah mapan sekarang, Salma. Gimana? Bukannya kaya juga udah cukup untuk narik cewek? Dan lo ... apa lo mau, Sal, nikah sama gue? Gue bisa ngebahagiain lo dengan uang sekarang, lo nggak perlu repot-repot kerja lagi." Setelah berkata dengan percaya diri, Raga mendekatkan wajahnya, ekspresi Raga benar-benar dingin dan dia tersenyum aneh. Mulutnya mengembuskan asap. "Itu 'kan yang dibutuhin semua cewek? Asal cowok bisa mapan, duda pun nggak masalah. Gue duda, berengsek, b******n, apa—" Salma meraup mulut Raga dengan telapak tangannya secara penuh, Raga melotot, di sisi lain Salma sudah kembang kempis ingin marah. Matanya hanya bergeletar, bibirnya bergetar, kata-katanya tertelan lagi. Perlahan-lahan tangannya lepas. "Stop! O-Oke, ngerti. Gue pulang. Dadah." Salma berdiri, hampir tersandung kaki meja, dengan mantap berdiri tegak lagi. Dia tak bisa menahan dirinya untuk pergi menuju pintu, tapi kembali lagi, melepas sweater Raga dan melemparnya ke kursi. Sama sekali tidak menatap Raga. Jantung Salma mau copot. Dia ketakutan. Dia pasti sudah salah bicara. Atau dia pikir, seharusnya dia yang marah, 'kan? Ingat apa yang dikatakan Raga barusan; Raga mengajaknya menikah, mengatakan dia sudah mapan dan dia berengsek, tapi dia juga menyamaratakan bahwa cewek cuma mau sama yang mapan meskipun calon suaminya duda. Whatever. Itu saja bukan pertanda baik. Tidak tahu arah, Salma hanya mengandalkan ojek online, dan kabur menuju rumah secepat mungkin. Dan Raga ... kosong. Seperti rumahnya. Rumah yang dia bangun untuk istri masa depan yang masih dia nantikan. *** "Sal, Sal, gimana Danu?" "Duh, nggak tau. Nggak usah dibahas." Karina pagi-pagi sudah memberondonginya pertanyaan yang sama. Cewek itu bukan tipe yang mudah menyerah, dia terus mengganggu Salma sebelum mendapat jawaban. Sialnya Salma lagi pusing dengan banyak kerjaan dari bos. "Jawab aja, nanti nggak gue ganggu lagi." Salma menatapnya. Tersenyum singkat. "Kami nggak cocok," katanya. "Lho, kenapa? Dia itu ganteng, Sal. Mapan. Kaya. Apalagi yang salah?" Karina terus bertanya. Salma ingin menjelaskan semuanya, tapi dia sudah berjanji bahwa dia tidak ingin memberi opini jelek tentang Danu. "Gue mau fokus sama Raga." Yang ini bukan jawaban bohong. "Duda itu lagi?" Salma menatapnya. "Kenapa kalau duda?" "Sal, gue bukannya keberatan soal dia duda atau nggak." "Oke, fix, jadi lo cukup dukung gue aja." "Apa dia tajir?" "Rin, lo udah janji nggak bakal ganggu gue lagi." Salma memberi tatapan memperingati. "Lihat kerjaan gue numpuk mau bikin segabrek invoice." Karina menyerah, tapi wajahnya tidak terima, masih ada yang mengganjal. "Oke." Dari situ, mungkin Salma benar-benar mendapat ketenangan, Karina nampaknya tidak mengganggunya bahkan sampai jam pulang tiba. Saat itu Salma tidak melihatnya sudah pergi lebih dulu. Hujan juga turun tiba-tiba. Deras. Yang terlintas di pikirannya sekarang adalah Raga. Bukan hari ini saja, Salma memikirkannya sejak semalam. Kurang lebih Salma tahu apa yang dialami Raga, cowok itu pasti mendapat tekanan berat karena apa yang pernah dilakukannya dulu. Mungkin saat ini gosip sudah mereda, tapi dampak ketakutan yang dialami Raga masih tertinggal di sana. Cowok itu jadi paranoid. Apa itu yang membuatnya berubah? Bagaimana mungkin Salma akan meninggalkannya? Saat memikirkan itu, Salma berpikir mungkin dia bisa menghibur Raga sedikit, meskipun dia tidak tahu caranya. Mood Raga sedang tidak mulus, salah bicara sedikit akan memancing emosinya seperti kemarin. Huft. Ini benar-benar sulit. Mobil hitam tiba-tiba muncul di depannya. Di tengah hujan, mobil itu sudah basah kuyup, namun setelah memasuki pekarangan lobi, permukaannya terlindung dari hujan. Salma melihat kaca mobil itu turun. "Salma mau pulang?" Seperti ada tengkorak yang retak di bagian tubuh Salma, yang barusan itu adalah Danu. Salma berdeham. "Iya." "Mau aku anter?" Saat hendak menolak, satu kepala lagi muncul, Salma mengerutkan dahi. "Ayo, Sal, naik." "Karina?" "Iya, siapa lagi. Lo nggak bakal dapet taksi di hujan deres begini. Di depan pasti banjir. Kita lewat belakang bareng Danu." "Er ...." Emang bener sih. "Masuk dulu, buruan," Karina sudah membuka mobil dan menariknya masuk. "Sorry, gue yang minta Danu jemput." "Oh." Meskipun kejadian waktu itu cukup mengganggu, asal Karina masih di sini mungkin aman. Karina mendesah. "Gue kayaknya tau kenapa lo nggak suka sama Danu." Cewek itu menjewer Danu tiba-tiba sampai Salma kaget. "Pasti ini orang ngajakin lo main, kan? Huh! Udah gue duga, ini mulut nggak bisa bener dijaga." "Sakit, Ririn, serius! Aku lagi nyetir!" Danu mengaduh. "Nyetir-nyetir aja, jangan nguping!" Karina mendengus. "Bujang tua bukannya buruan cari istri yang bener." Salma linglung. "Maksudnya gimana sih?" "Salma, Danu ini nggak maksud apa-apa untuk kemarin. Gue tau reaksi lo begitu pasti karena kata-kata Danu, 'kan?" Salma diam. Memangnya Karina tahu apa yang mereka bicarakan waktu itu? Karina menguping? "Serius, Sal, Danu ini cuma mau ngetes lo aja." "Ngetes? Gue nggak butuh dites." "Nah!" Karina membenarkan. "Denger itu, Danu. Salma ini sahabat gue, mana mungkin gue kasih lo cewek abal-abal. Tau nggak, meskipun lo hampir ngelecehin dia kemarin, dia bahkan nggak ngejelekin lo sama sekali di depan gue." Salma tidak menjelekkan Danu karena takut Karina tersinggung, itu saja. Karina memegang tangannya. "Sal, gue ngewakilin Danu untuk minta maaf." Tidak ada kata-kata yang bisa digunakan Salma untuk menjawab, dia hanya mengangguk. Lalu mereka tidak mengarah pada jalan pulang. Sebaliknya Danu membawanya ke sebuah kafe yang menyajikan live music. Penerangan pada kafe itu cukup minim, tapi tidak terlalu membutakan, semua terlihat jelas, hanya redup. Seorang wanita menyanyi lagu pop akustik di panggung dekat bar utama. Danu otomatis memesan makan untuk mereka bertiga tanpa bertanya. "Gue toilet dulu," pamit Karina tiba-tiba tanpa bisa Salma cegah. "Salma, aku minta maaf ya untuk kemarin." Danu menatapnya menyesal. Duh. Ini sih gawat. Padahal akhirnya Salma punya alasan untuk menjauh dari Danu. Maklum saja jika ini Karina, dia pasti ingin menjadi mak comblangnya sampai akhir hayat—sampai dia laku. "Nggak usah dibahas lagi," sahut Salma. Dia berkali-kali melihat ke arah Karina pergi berharap sahabatnya itu kembali. Pesanan mereka tiba; ternyata Danu hanya memesan makanan ringan beberapa macam. Mengingat Karina tidak kembali juga, Salma berani bertaruh kalau dia ditinggalkan di sini. "Kenapa gelisah?" tanya Danu. Berkat kemarin, setiap kali cowok itu bicara, Salma merasa merinding. "Karina lama." "Sal," Danu memegang tangannya tiba-tiba, Salma membeku. Orang ini jelas sama dengan kemarin. Ngetes apanya? "Jauhin tangan lo dari gue!" Danu menarik tangan maklum. "Aku tau kamu marah soal kemarin." "Nggak marah, Dan. Cuma kita bukan apa-apa jadi jangan pegang-pegang." Tatapan Danu sangat rumit. Situasi ini begitu mencekik. Dia tidak mau harta kekayaan manapun, yang dia inginkan sekarang hanya Raga. Dia cuma mau Raga yang jadi suaminya bagaimanapun caranya. "Kalau gitu, kamu mau nikah sama aku?" tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD