Part 8

1280 Words
Mobil melaju kencang menembus malam, Bryan masih berpikir keras menemukan cara tetap bisa mendapatkan Nadira tanpa menempatkannya diposisi sulit. Sebagai lelaki, tentu ia tidak rela melepaskan wanita impiannya, tapi sebagai seorang anak yang juga punya orang tua, tentu ingin melihat Nadira berbakti pada orang tuanya. "Nadira ... Sudah larut malam, bagaimana kalau kamu tidur di rumahku? Jangan khawatir, di rumah ada mama. Sekalian ada yang ingin kubicarakan." "Bicara tentang apa?" Bryan menarik napas dalam, "Soal kita ...." Nadira mengernyitkan dahi, menoleh ke jendela. Harusnya hatinya senang mendengar permintaan Bryan, tapi untaian kata yang paling ingin ia dengar itu, terasa menyedihkan. Mengapa kalimat itu terucap di saat hati bimbang? Saat ini, ia tidak ingin memberi harapan apapun pada lelaki disampingnya. Bukan kerena Lendra, tapi karena tak ingin menyakiti Bryan dan mamanya. "Maaf Mas Bryan, saya langsung saja ke apartemen. Besok saya ingin berangkat pagi-pagi sekali, sehari libur, pasti pekerjaan di kantor sudah menumpuk." dalihnya. "Oke, nggak papa, mungkin lain waktu, ... Soalnya, mama ingin ketemu kamu." Nadira tersenyum dan mengangguk. Sesampainya di apartemen, Nadira bersiap turun. Belum sempat jemarinya membuka pintu mobil, Bryan menahannya. "Nadira, boleh kita ngobrol sebentar?" Nadira diam, wajahnya menegang, ada cemas di hatinya. Sungguh ia belum tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Tapi ia sadar, lebih cepat dibicarakan, mungkin lebih baik. Pelan ia mengangguk. "Setelah bercerai dengan Ineke, aku belum pernah membuka hati pada wanita manapun. Bagiku wanita sangat rumit ... Tapi berbeda saat hari pertama bertemu denganmu, caramu menatapku, seolah berkata: wanita itu indah dan unik ... Dan, sinar matamu mampu menghangatkan hatiku. Aku tidak tahu, apakah besok masih boleh aku mengatakannya, atau mungkin hanya malam ini kesempatanku. Aku ingin kamu tahu, disetiap waktu senggangku, bayangmu selalu hadir menemaniku." Hati Nadira bergetar, bibirnya terkatup rapat menahan tangis, tenggorokannya terasa sakit, pundaknya berat seperti memikul beban. Andaikan lelaki di sampingnya tahu, betapa senang ia mendengar pengakuan itu, mungkin lelaki itu takkan pernah berpikir untuk membiarkan gadis itu dalam kebingungan. Hening, "Saat ini, apa kamu menemukan cara agar kita bisa tetap bersama? Katakan apa yang harus kulakukan?" Bryan menoleh Nadira yang masih mematung, tegang. "Kenapa tidak tanyakan pada ayah saat di Bandung?" Nadira keluar dari mobil, lalu berjalan cepat menuju lobi apartemen. Bryan mengernyitkan dahi, mecoba mencerna ucapan Nadira. Dia meremas kepala, benar kata mamanya, ia memang bodoh soal wanita. Tapi, kali ini ia akan pastikan ucapan mamanya salah. Bryan menghubungi seseorang, lalu memintanya mengantar kembali ke Bandung. Kali ini, lelaki itu tidak lagi peduli dengan urusan apapun. Yang ia tahu, waktunya tidak banyak untuk mendapatkan Nadira, ia harus cepat sebelum Lendra memanfaatkan rasa hutang budi Nadira. Jalanan cukup lengang, hanya butuh dua jam, Bryan sudah tiba kembali di rumah sakit tempat ayah Nadira di rawat. Hari masih gelap, diliriknya jam hampir pukul empat dini hari. Bryan pergi ke mushola, untuk menghadap Sang Pencipta, memohon pertolonganNya untuk membukakan jalan. Pagi ini, kondisi Didit semakin memburuk, setelah melakukan pemeriksaan, Dokter berencana akan memajukan jadwal oprasi sehari lebih cepat. Terlebih, pendonor juga sudah siap. Mengetahui kabar itu, Bryan ragu menemui ayah Nadira. Ia khawatir kondisi lelaki paruh baya itu semakin drop. Bryan mondar mandir di depan pintu kamar pasien. Tapi ia tidak mau kembali dengan tangan kosong. Setidaknya ia sudah berusaha memenuhi permintaan Nadira, menemui ayahnya. Pelan, ia membuka pintu. "Assalammualaikum ..." "Waalsikum salam,... " Sahut Eno, ibu Nadira. Ia terkesiap melihat Bryan muncul dari balik pintu. "Nak Bryan? Belum pulang? Nadira dimana?" Eno membrondong Bryan dengan pertanyaan. Bryan mengangguk lalu mendekat, mengatupkan tangan. "Eee, .." Suara Bryan tercekat ditenggorokan saat melirik ayah Nadira yang terlihat pucat dan sesak. "Saya sudah mengantar Nadira sampai apartemennya, Tante. Setelah itu saya kembali ke sini, ada yang ingin saya katakan pada Om dan Tante." "Ada ... Apa, ... Nak Bryan?" tanya Didit dengan suara lemah dan terbata. Bryan mendekat, kemudian duduk di kursi tepat di samping Didit berbaring. "Om, maafkan jika saya lancang mengutarakan hal ini disaat yang tidak tepat ... Saya kesini, ingin melamar Nadira. Didit terkesiap, jantungnya berdetak cepat. Tiba-tiba ia merasa sangat egois pada Nadira. Walau keluarga Kuswoyo tidak memberi syarat apapun, tapi berita Lendra yang sudah menggugat cerai istrinya, sudah menjadi buah bibir. Ia yakin mereka berharap Nadira kembali pada Lendra, walau tidak tersurat, tapi nyata tersirat. Mungkinkah jika tiba masa itu, ia sanggup menolak lamaran orang yang telah menolognya? Bagaimana dengan Nadira, ia kenal betul sifat putrinya. Jika merasa berhutang budi, ia akan rela berkorban walau terpaksa. "Nak Bryan ... Kembalilah ke ... Jakara, dan jangan ... katakan apapun pada ... Nadira, Kalau Nak Bryan... Kesini ... Saya titip Nadira, ... Tolong jaga dia baik-baik, ... sayangi dan cintai dia ... Rahasiakan pertemuan kita ini dari siapapun .... Pergilah, sebelum ada yang melihatmu." Bryan bingung dengan permintaan Didit, tapi sepertinya itu sangat penting. Ia segera pamit dan keluar. Bryan langsung kembali ke Jakarta, meninggalkan tanda tanya: Apa maksudnya semua ini? Di kantor, Nadira sedang sibuk memeriksa semua berkas berkas yang masuk ke mejanya. Ia tenggelam dalam tumpukan file yang menanti koreksi darinya. Lendra bolak balik ke ruangan gadis itu, menanyakan hal-hal yang sebenarnya dia tahu jawabannya. Walau memasang wajah jutek, tetap saja mantan calon suaminya itu tak peduli. Bahkan ia memesan minuman dan cemilan untuk Nadira. Lendra men-service konsultan itu, dengan istimewa. Nadira bertanya-tanya dalam hati : Mengapa Bryan belum datang ke kantor? Padahal ini sudah hampir jam istirahat. Ia berharap siang ini Bryan kembali mengajaknya makan siang. Tapi sayang, Lendra sudah duluan datang menghampiri. "Nadira, izinkan aku kembali ... Beri aku kesempatan sekali lagi, pliss!" Lendra berlutut di kaki Nadira sembari menarik lengan wanita itu. Langkah Nadira terhenti, saat lengannya di tahan Lendra. Spontan ia berbalik. "Plak!" Untuk kedua kalinya, jemari lentik itu menampar pipi Lendra. "Sudah aku bilang, jangan pernah berani menyentujku!" Mata gadis itu membulat, wajahnya memerah menahan marah. Jantungnya berdetak kencang. Ia lupa saat ini, ayahnya sangat butuh kemurahan hati Lelaki itu, merelakan ginjal papanya. Setelah puas melotot, Nadira pergi. Hari In,i gadis itu makan siang sendiri. Ia ingin menenagkan pikirannya. Rasa cemas tiba tiba menyelinap. Bagaimana kalau Lendra marah, lalu membatalkan persetujuan pencangkokan ginjal itu? Nadira menghela napas panjang, saat pikirannya kalut, seorang pramusaji datang menghampiri, menyerahkan setangkai mawar merah padanya. "Dari siapa, Mbak?" Belum sempat pramusaji itu menjawab, seseorang muncul dari belakangnya. "Hai... Masih ingat denganku? Senang bertemu denganmu! " Nadira terkesiap melihat Dave sudah berdiri didepannya. "Mister Dave?" "Panggil Dave saja." "Owh, oke! Sory ...." "Santai saja ... Boleh aku duduk di sini,?" "Eehh, ... Silakan," jawab Nadira ragu. Sebenarnya dia enggan makan berdua dengan pria bule itu, tapi sungkan jika menolak. Gadis itu mempercepat menghabiskan makanannya, berharap ia bisa duluan pergi. Dave memperhatikan tingkah wanita berkerudung didepannya. Walau ingin mengobrol santai, tapi urung dilakukan. Sebab lawan bicaranya masih terlihat enggan. " Dave, maaf, saya sudah selesai maka, saya harus kembali ke kantor, masih banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan." ujarnya sembari membungkuk, memberi hormat. Tanpa menunggu jawaban, Nadira beringsut pergi. Dave tersenyum tipis, menatap punggung wanita itu. Ia semakin takjub, kini ia yakin dengan perasaannya. *** Pukul dua siang, akhirnya Bryan sampi di kantor. Wajahnya tampak lelah, kurang tidur. Tapi ia tetap memaksakan diri masuk, menyiapkan laporan, sebab besok akan ada pertemuan dengan investor. Di ruangannya, Nadira kebingungan. Baru saja ia mendapat kabar jika ayahnya menolak menerima cangkok ginjal. Dan sekarang kondisi lelaki itu semakin buruk. Ingin rasanya ia melesat secepat kilat kembali ke rumah sakit. Ada apa? Mengapa begitu tiba-tiba? Apa ada hubungannya denga sikapnya yang kasar pada Lendra? Nadira menghempas ke kursi. Kepalanya berdenyut. Bergegas ia pergi ke ruangan Lendra. "Lendra! Apa kamu tahu kenapa ayah menolak cangkok ginjal itu?" Lendra menoleh, matanya membulat. Ia terkejut mendengar kabar dari Nadira. "Menolak kenapa? Bukankah jadwal oprasi sudah ditentukan?" "Ah ... Entahlah ... Aku tidak mengerti kenapa ayah tiba-tiba berubah pikiran." Nadira memijat kening.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD