Prolog
Lendra gelisah di kamar, tubuhnya keringat dingin. Hanya tinggal menunggu menit, rombongan berangkat ke masjid, tempat acara walimahan berlangsung.
Nadira sudah menuggu di sana, dengan gaun pengantin putih yang anggun.
Jantung Lendra semakin tak karuan, berdentuman bagai genderang yang siap perang. Lelaki itu harus berpikir cepat, terlambat sedikkt saja, kesempatan lari akan hilang.
Tergesa-gesa, Lendra ganti baju, kemudian secepat kilat, loncat dari pintu jendela, lalu kabur. Mengendap endap dari balik pepohonan. Kemudian menaiki Ojek pangkalan.
Entah setan apa yang merasuki lelaki itu, detik detik terakhir masa lajangnya ia memilih kabur. Tiba-tiba saja ia tidak tertarik lagi dengan Nadira, gadis yang sudah dilamarnya satu bulan lalu.
Masa perkenalan mereka memang singkat, tapi sebetulnya mereka tinggal satu kampung, hanya saja sejak Lendra masuk SD, ia sudah pindah ke Jakarta. Sedangkan Nadira tetap tumbuh dan besar di kampung. Memasuki kuliah, barulah ia pindah ke Jakarta.
Tiga bulan lalu, mereka bertemu saat sama-sama mudik. Awalnya Lendra tertarik pada Nadira dan memberitahu orang tuanya tentang hal itu. Tentu saja, orangtuanya senang, apalagi mereka masih memiliki kekerabatan. Dengan menikahnya Lendra dan Nadira, keluarga berharap kekerabatan bisa kembali dekat.
Satu minggu sebelum hari ini, Lendra bertemu dengan Dena, sahabat Nadira. Pandang pertama membuat Lendra jatuh cinta. Begitupun Dena, mereka terpesona saat Nadira mengenalkan keduanya.
Nadira tidak curiga sedikitpun, gadis itu terlalu polos untuk mengerti bahasa tubuh. Bahkan dengan bodohnya, ia meninggalkan Lendra dan Dena ke toilet, saat pesanan makanan belum datang.
Nadira yang malang, kenapa kau tidak punya rasa cemburu meninggalkan sahabat dan calon suamimu berduaan? Sebegitu yakinkah dirimu akan cinta Lendra?
Lihat lah hari ini, sebentar lagi kau akan tahu, lelaki macam apa calon suamimu, dan setega apa sahabatmu.
Lilis gelisah saat menemukan baju pengantin Lendra berserakan di lantai. Firasatnya buruk. Buru-buru wanita paruh baya itu mencari Kuswoyo, suaminya.
Seketika satu rumah panik mencari pengantin pria. Beberapa orang berpencar mencari ke belakang, ke depan, bahkan keliling kampumg. Tapi Lendra tidak ada.
Lilis terduduk lemas, entah bagaimana menghadapi calon besannya? Apa yang harus dikatakan pada kerabat yang sudah menunggu di masjid? Meminta maaf? Ah, semudah itu kah maaf di dapat?
Kuswoyo duduk disamping Lilis, sembari memijat kepala. Rasanya kepalanya berdenyut, otaknya mendidih. Jika nanti ketemu Lendra, Ia berjanji akan menghajarnya.
Kedua suami istri itu saling pandang, lalu berpegangan tangan dengan erat. Tidak ada saling menyalahkan, keduanya tahu, tidak ada yang perlu dipersalahkan. Mungkin ini takdir dari yang Kuasa.
Akhirnya, Kuswoyo mengutus dua orang kerabat untuk memberitahu tentang hilangnya Lendra.
Di masjid, kesibukan terlihat nyata. Para tamu mulai berdatangan memakai gaun indah, beberapa pagar ayu terlihat masih mondar mandir.
Penghulu sudah tiba, dan disambut dengan hormat. Didit dan Eno, selaku orang tua Nadira sudah siap menanti kedatangan calon besan.
Tiga puluh menit ... satu jam ..., tidak juga ada tanda-tanda rombongan datang. Kecemasan tak hanya menghampiri keluarga mempelai, bahkan semua hadirin. Suara-suara sumbang mulai terdengar berbisik-bisik.
Nadira, mematung di kamar rias pengantin. Jantungnya berdetak sangat cepat, keringat membasahi wajah dan punggungnya. Diliriknya jam dinding, sudah pukul sembilan pagi. Harusnya pukul delapan tadi acara sudah dimulai, tapi sampai detik ini, acara tak juga berlangsung.
Di aula, Didit mendelik melihat Asep dan Ipul turun dari mobil. Ia mulai menebak apa yang sedang terjadi. Tergopoh-gopoh dua orang itu menghampiri dan memberi salam.
"Kami ke sini sebagai utusan dari keluarga mempelai pria. Dengan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, mempelai pria tidak bisa datang, saat ini tak satupun dari kami yang tahu keberadaannya."
Tangan Didit mengepal. Giginya merapat. Ada sakit yang teramat sangat di hati. Malu yang tak tertahankan. Tapi ia mencoba bertahan, menahan emosi yang berletupan di d**a.
"Suruh ke sini orang tuanya sekarang juga, jangan bersembunyi dan lari dari masalah."
Asep dan Ipul saling pandang, bergegas Ipul menghubungi Kuswoyo, memintanya segera datang.
Penghulu yang sejak tadi menunggu, pamit pulang, sebab masih ada pasangan yang harus dinikahkannya saat itu juga.
Suasana Aula mesjid menjadi gaduh, sebagian ada yang sibuk mengambil plastik mengamankan beberapa hidangan yang siap dibawa pulang. Ada juga yang melongo, tak tahu harus apa. Di sudut lain, ada, yang cekikikan, menjadikan situasi itu sebagai lelucon.
Juru kamera yang siap dengan peralatannya, terduduk lemas. Empat orang pagar ayu berkumpul diam membisu, sedih, kasihan, dan entah apa lagi yang ada di hati mereka.
Lima belas menit kemudian, Kuswoyo, Lilis dan keluarga besarnya datang. Wajah-wajah panik itu menghampiri keluarga mempelai wanita.
Sesaat kedua belah pihak saling pandang, mencoba menerka isi hati lawan bicara.
"Kami sekeluarga mohon maaf yang sebesar-besarnya, atas kejadian ini. Setelah Lendra kembali, kami akan bawa dia kehadapan kalian, untuk menjelsakan semua ini.
"Tidak perlu, kami tidak butuh penjelasan apapun. Saya hanya ingin kalian turut hadir di sini, memberi tahu tamu yang hadir. Saya akan membawa Nadira pergi. Tolong sampaikan juga maaf kami pada tamu yang sudah terlanjur datang."
Didit mengakhiri ucapannya dengan tatapan kosong, guratan kecewa yang teramat sangat tergurat di wajah tua itu.
Eno, segera menghampiri Nadira ke ruang rias.
Nadira berdiri, menatap lekat sang bunda. Air matanya menetes membentuk parit diwajah.
Sesaat kemudian keduanya saling berdekapan. Nadira sesenggukan menahan perih di d**a, begitupun Eno. Hati ibu mana yang tak terluka melihat anak gadisnya ditinggal begitu saja tepat di hari pernikahannya.
"Sabar, ya, Sayang, semua akan baik-baik saja." ujar Eno lembut, tangannya mendekap etat sang putri.
"Iya, Bun, Dira baik-baik saja. Badai ini pasti berlalu." bisik Dira ketelinga Eno, mencoba terlihat tegar.
Mobil suduh menunggu di halaman belakang masjid, buru-buru Eno dan tiga kerabatnya menggiring Nadira ke dalam mobil. Seluruh mata tertuju padanya. Nadira tidak peduli, yang ia tahu, segera meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di rumah, Nadira segera mengganti pakaian, membersihkan make up diwajahnya. Tak ada lagi air mata yang ke luar. Ia tak ingin terlihat sedih dihadapan ayah bundanya.
Jantung Nadira berdetak cepat, ada sesak yang menghimpit d**a. Bukan karena kehilangan Lendra, tapi karena kasihan pada Didit dan Eno. Mereka terlalu bahagia dengan rencana pernikahan itu. Tapi kini keduanya gundah. Entah bagaimana mereka menghadapi keluarga, kolega dan tetangga.
Nadira tidak peduli dengan dirinya. Kegagalan menikah sama sekali tidak membuatnya kehilangan percaya diri. Ia yakin semua yang terjadi di muka bumi, pasti atas izinNya. Ia percaya, Tuhan sudah menyediakan jodoh terbaik untuknya.