Enam

1459 Words
Part. 6 Aroma maskulin dari tubuh Shane masih menempel di tubuh Thea, pagi ini Shane sudah mulai beraktifitas seperti biasa pasca berduka karena ditinggal oleh wanita yang dicintainya. Thea pun sudah mulai masuk kerja pasca kuretase yang dialaminya seminggu lalu. Pagi tadi mereka berpelukan lama sekali, sehingga sampai sekarangpun Thea masih mengingat aroma tubuh lelaki yang selalu dirindukannya. Sebuah pesan singkat masuk ke handphonenya dari Mario. “Bagaimana kondisi kamu saat ini?” dokter muda itu terlihat sangat perhatian ke pasiennya. Tapi Thea mampu melihat gelagat yang tidak biasa dari Mario. Sangat jarang seorang dokter menanyai keadaan pasiennya apalagi via pesan singkat seperti ini, jika bukan karena pasiennya pengidap penyakit berbahaya, menular atau lainnya. Thea menggeleng cepat. Dia tak ingin pikiran buruk mempersuram hari indahnya. Dan diacuhkannya pesan itu. Tiga jam kemudian Mario mengiriminya pesan lagi, “Sudah makan siang?” tak dibalas oleh Thea, dia terus mengiriminya pesan, “Jangan lupa makan,” hufffft Thea mendengus, gigih sekali pria ini mendekatinya. “Kenapa dari tadi terlihat gak nyaman?” Anne tersenyum jahil, pasti ada yang gak beres jika dilihat dari raut wajah sahabatnya itu. “Ne, gw mau Tanya jawab jujur ya,” Anne mengangguk, matanya sudah menatap Thea dengan serius. “Gimana pendapat lo, klo sebenernya istri kedua Shane itu gw?” mata Anne langsung membulat tapi tak lama kemudian dia malah tertawa terbahak-bahak. “Koq malah ketawa?” “Lo jangan ngimpi The, kemaren juga Rose bilang gitu, banyak cewek yang ngarep kayak gitu, basi lo ah.. udah kerja sana!” Anne masih terus tertawa, masalahnya hampir semua cewek di perusahaannya mendambakan Shane dan sudah tentu mengharapkan menjadi istri Shane. Sementara Thea mengerucutkan bibirnya, menatap Anne yang semakin terpingkal, tadinya dia ingin jujur, tapi sudahlah mungkin memang belum waktunya dia menceritakan mengenai suami dan kehidupannya. Biarlah dia tanggung sendiri perasaan ini. *** Thea terperanjat melihat lemari bajunya jadi penuh dengan gaun-gaun pesta ala bangsawan, dan itu semua baru. Shane yang membelikannya, pantas saja tadi pagi dia bertanya ukuran tubuh dan kakinya. Dibukanya lemari yang satu lagi dan terisi penuh dengan sepatu. Astaga banyak sepatu boots impian Thea terpampang disitu. Berkali-kali dia mencium pipi Shane karena senang, atas hadiah dari suaminya itu, seumur hidup tak pernah Thea mendapatkan hadiah sebanyak ini. Tak hanya itu, Shane menarik tangan Thea berjalan ke garasi mobil. Disana telah menunggu mobil Audi A3 berwarna hitam yang diberikan Shane untuknya. Thea menutup mulutnya tak percaya, dia tahu harga mobil itu masih setengah milyar. Dan tergolong city car termahal di Indonesia. “Senang?” Shane memeluk Thea dari belakang dan mengecup puncak kepalanya. Dia mendorong Thea untuk membuka pintu mobil dan melihat interiornya. Mobil ini memiliki dua pintu, bemper depan sangat lebar dengan logo bundar yang menambah kesan mewah dan Anggun. “Ini kan mahal Shane,” Thea mengusapkan jarinya pada kemudi. Shane menggeleng, dan tersenyum lebar. “Perusahaan pembuat mobil ini di Jerman, dan kamu tahu? Perusahaan itu milik pamanku.” Dia menyeringai. Thea melotot tak percaya tapi jika ditelusuri lebih jauh dia akan mengangguk sendiri karena memang mereka berdarah jerman. Shane menyuruhnya untuk mencoba, tapi Thea menggeleng dia takut mobil nya lecet karena tidak bisa parkir. Akhirnya Shane keluar dari mobil dan bertukar posisi. Entah sejak kapan tiba-tiba sudah ada kacamata hitam bertengger di dekat kursi. Dia memakainya dan juga memakaikan Thea. “Are you ready baby?” “Yeah.” Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi memutari kota Jakarta yang sudah mulai lengang karena hari yang sudah mulai petang. Shane memilih masuk tol Jagorawi dan memutar hingga ke puncak. Dengan mobil yang masih baru dan berkecepatan tinggi, tentu Jakarta dan Puncak Bogor dapat ditempuh dengan waktu yang cepat. Thea tak habis pikir dengan suaminya ini, baru saja dia menjejakkan kaki dirumahnya, tapi kini mereka telah ada di kota yang berbeda. Dan Shane seolah menikmati perjalanan itu. Sesekali mereka bersenda gurau dan menyanyi, mengikuti music yang diputar. Dan mobil itu baru berhenti ketika masuk sebuah villa yang sangat besar. Penjaga Villa tersebut tersenyum ke Shane. Tidak seperti penjaga vila kebanyakan. Dia memakai kemeja yang sangat rapih usianya pun belum terlalu tua. Di sampingnya telah ada dua assisten wanita yang terlihat mengenakan seragam berwarna hitam. Mereka menyambut Shane dan Thea. “Kamu sudah nyiapin ini Shane?” Shane mengangguk, senyum jahil muncul diwajahnya. “Aku bahkan sudah menyiapkan baju-baju lingerie kamu disini.” Bisik Shane pelan di telinga Thea, tambahnya, “Kita belum pernah bulan madu sejak menikah kan?” Thea terkekeh, matanya tak lekat memandangi bangunan yang terlihat kuno namun menyimpan nilai seni yang tinggi. Dia berdecak kagum menaiki tangga yang terbuat dari marmer. Gorden-gorden besar berwarna merah menghiasi jendela dan pojok-pojok ruangan. Lilin pun menyala di beberapa sudut meja yang dilewatinya. Shane tiba-tiba menggendongnya dengan gaya bridal menaiki tangga. Thea melingkarkan tangannya dengan erat seolah takut terjatuh, dia menyesap wangi maskulin Shane lama sekali, bahkan dia sudah mulai menciumi leher Shane yang jakunnya naik turun menahan hasratnya. Kekaguman Thea tak berhenti sampai disitu, ketika mereka masuk kamar, aroma mawar menyerbak karena ranjang yang penuh dengan kelopak mawar berwarna merah, sementara sebuket mawar putih terlihat mencolok di tengah-tengahnya. Romantis sekali pikir Thea. Lilin-lilin putih besar menyala semua. Malam ini adalah malam terindah bagi Thea. Dia berbaring di ranjang dan menciumi buket mawar putih itu. Sementara Shane berbaring disampingnya. Dia tiduran menghadap Thea dengan satu tangan menyangga kepalanya. Thea memeluk Shane dan mengucapkan terimakasih. Dia mencium Shane dengan mesra yang langsung dibalas dengan liar oleh Shane. Bibir mereka menyatu memainkan permainan lidah sementara kaki Shane sudah menindih kakinya. Mengusap betis Thea dengan mesra dan intim. Tangannya mulai memainkan keindahan di d**a Thea. Sementara tangan yang satunya sibuk membuka celananya. Mereka sudah sangat siap dengan permainan panas mereka malam ini. Thea membuka mata ketika matahari telah tinggi. Sementara Shane masih menelungkupkan tubuhnya, menghalau sinar matahari. Dia baru sadar bahwa pemandangan dihadapannya sangat indah sekali, pintu kamarnya menghadap ke balkon utama, suara burung berkicauan dengan merdu. Di depannya yang terlihat hanya warna hijau. Karena pepohonan yang masih sangat rimbun. Villanya berada di ketinggian sehingga Thea bisa melihat perkampungan jauh dibawah tempatnya berdiri hanya seperti titik-titik kecil. “Pagi,” Shane memeluk Thea dari belakang dan menciumi bahu Thea yang agak terbuka karena kimono yang dipakainya tidak rapat. Thea mengetatkan pegangan tangan Shane. Seperti Déjà vu. Ya dia pernah melakukan ini di kantor Shane yang dulu, namun Shane pergi begitu saja ketika mendapatkan telepon dari Linda. “Kamu mau sarapan?” Shane merapikan anak rambut Thea dan menyesakkannya ke belakang telinga. Thea berbalik, dikecupnya bibir Shane dengan lembut, tangannya melingkar ke pinggang Shane yang pagi ini hanya mengenakan celana boxer saja. Shane tersenyum miring dan mencium Thea dengan lebih ganas, mereka melakukan satu babak lagi sebelum turun untuk sarapan dan kembali pulang. *** Wajah kuyu Edward yang pertama kali muncul di pintu rumah ketika Shane berjalan sambil memegang pinggang istrinya. “Tuan Mario sudah menunggu di dalam,” ucap Edward, Thea terperanjat berani sekali Mario dokter kandungannya datang ke rumahnya tanpa memberi kabar. “Mario yang dokter aku?” Tanya Thea tidak enak. Dia menatap Shane yang mulai menegang. Ya mereka pernah bertengkar karena Mario. “Bukan bu Thea, ini tuan Mario, ayah dari Tuan Shane …” Thea menggigit bibirnya cemas, dia kenapa bisa sampai lupa dengan nama ayah mertuanya sendiri, dan God, namanya sama dengan dokter yang akhir-akhir ini sangat perhatian kepadanya. Shane mendengus, dia melepaskan pegangan ke pinggang Thea dan berjalan lebih dahulu. “Jangan sebut nama Mario dokter gadungan itu lagi di depan aku Okay,” Shane menunjuk Thea sebelum melanjutkan jalan cepatnya. Dilihat dari raut wajah Edward, Sesuatu yang tidak beres sepertinya sedang terjadi. Lelaki paruh baya itu sedang duduk sambil mensedekapkan tangannya, raut wajahnya sungguh tidak enak dilihat. Jangankan menatap wajahnya, melihat kakinya pun Thea merasa takut. Papa berdehem menyuruh putranya duduk. Shane duduk di sova tunggal dan dia menarik tangan Thea untuk duduk di dekatnya, Edward datang membawakan dua cangkir teh hangat. “Matthew terkena kasus, dia hampir saja ditangkap polisi karena lawan politiknya menjebaknya dengan narkoba. Tapi papa sudah mengamankannya dia papa kirim ke Selandia Baru dan akan bersembunyi disana. Namun para investor sudah mendengar hal itu, sehingga saham kita menurun drastis.” Tatapan mata mengintimidasi Mario mengarah ke Thea. Membuatnya gugup dan langsung meminum teh hangat yang sedari tadi dipegangnya. “Kamu harus menikah dengan Sabrina! Untuk menaikkan saham kita.” Papa berdiri. Shane terlihat gusar. “Aku sudah menikah papa!” geramnya dia melirik Thea istrinya. “Kenapa kamu selalu menikah dengan wanita yang tidak berguna Hah!! Dahulu Linda sekarang wanita ini! Kapan kamu berhenti bermain-main dan mulai mengurusi perusahaan. Ceraikan dia atau jadikan dia selir lagi seperti sebelumnya, toh dia pasti telah terbiasa!” Decih Papa sambil berjalan keluar tak dihiraukannya teriakan protes dari Shane. Lutut Thea lemas, cobaan apalagi ini Tuhan…. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD