Empat

1000 Words
Shane memandang lirih ke ruangan yang sudah hampir delapan tahun ini ditempati, sebuah bingkai foto besar yang didalamnya terdapat gambar dirinya serta jajaran direksi. Tersenyum bersama. Shane ingat foto itu diambil ketika dia baru saja menjabat sebagai manager.Suara ketukan sepatu terdengar mulai mendekat, ketika sosok wanita bertubuh langsing menampakan batang hidungnya yang mancung di depan pintu, Shane tersenyum dipersilahkannya wanita itu kedalam dengan sopan lalu dia menutup pintu di belakangnya. “Ada maksud apa bapak memanggil saya kemari?” wanita itu menyilangkan kakinya, mempertontonkan pahanya yang mulus. Shane duduk disampingnya tersenyum dan mulai melakukan gerakan mengusap dengan lembut dimulai dari lututnya naik ke atas. Wanita itu hanya terkekeh pelan. “Shane, stop it!” “Anda mengenal saya, eh?” Shane mengecup tengkuk wanita itu. “Nanti dilihat orang Shane,” Thea merasa kegelian. Lelaki itu tetap tak jua mau menghentikan aksinya, tangannya mulai menjelajah bagian atas tubuh Thea, wanita yang sudah dua bulan ini dinikahinya. Thea mulai meracau tidak jelas menikmati setiap sentuhan Shane. Tangannya bahkan sudah membuka resleting celana shane. Mereka bergumul seolah tak mengenal waktu dan tempat. Biarlah toh hubungan mereka sudah resmi, dan mengingat tujuan utama mereka menikah memang untuk mendapatkan anak, demi Linda. Thea merapihkan baju dan rambutnya akibat perbuatan ‘menyenangkan’ Shane barusan. Sementara Shane sudah berjalan ke belakang meja kerjanya, menatap gedung-gedung yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. “Kelak aku akan merindukan pemandangan ini.” Shane menarik nafas berat. Thea menghampirinya dia memeluk pinggang Shane dari belakang dan menelungkupkan wajah ke punggungnya. Keputusan berat telah diambil Shane, papa selalu mendesak Shane untuk meneruskan perusahaan miliknya, meskipun pada akhirnya Shane hanya mau memegang bisnis perhotelan saja, karena dia sama sekali tidak tertarik dengan bisnis furniture yang belakangan ini dikelola kakaknya. Wajar papa khawatir melihat dunia perpolitikan di Indonesia yang semakin tidak jelas arahnya, yang membuatnya lebih khawatir adalah, Matthew anak pertamanya, yang lebih memilih terjun ke dunia tersebut. “Keputusan kamu udah tepat Shane,” Thea ikut menerawang, matanya menatap jauh ke kilasan-kilasan beberapa tahun silam, dimana dia dan teman-temannya mengagumi pria tampan itu, dan sama-sama patah hati ketika dia dan Linda menikah. Dengan mengundang seluruh karyawan. Shane mengetatkan pegangan Thea. Lama mereka terdiam dan larut dalam fikiran masing-masing. Hingga suara ponsel Shane terdengar dan sontak membuatnya pucat. Dia melepaskan pelukan Thea dengan agak kasar. “Linda pingsan? Dimana? Baik saya segera kesana!” Shane langsung bergegas keluar ruangan, tak diperdulikan Thea yang berkali-kali memanggilnya. Hati Thea sakit, dia memang menyadari sampai kini pun dirinya bukan siapa-siapa dan bukan menjadi prioritas bagi Shane. Thea berusaha menahan tangis nya. Jangankan untuk pamit, menoleh saja tidak. Setelah mencuci muka dan memoles lipstik tipis di bibirnya, Thea bergegas keluar ruangan, diliriknya sebuah foto yang sedari tadi diacuhkan. Foto pernikahan Shane dengan Linda. *** Linda harus menjalani berbagai perawatan di rumah sakit lagi. Dan Shane sudah pasti mendampinginya, sementara Thea akan menjalani lagi hari demi hari sendirian dirumah yang kini terasa sangat besar untuk ditempati dirinya seorang diri. Thea mulai bosan, dia berjalan di pinggiran kolam renang, dan sengaja menceburkan dirinya. Tanpa menggunakan baju renang. Berkali-kali bolak balik berusaha mengenyahkan fikiran buruk di otaknya. Bagaimana jika Shane meninggalkannya? Bagaimana jika Linda yang memintanya? Thea menenggelamkan tubuhnya, cukup lama hingga dia merasa kehabisan oksigen dan mengangkat dirnya sendiri sembari menggeleng. Tidak! Dia tidak boleh menyerah. Setelah mandi, wanita yang hanya mengenakan kimono handuk itu berjalan ke arah tempat tidur dia duduk sambil melihat kalender. Tenggorokannya tercekat, dia sudah telat dua hari. Senyum tersungging dari bibirnya. Diambil test pack yang memang telah disiapkan Linda dari jauh-jauh hari di laci meja rias. Senyumnya semakin lebar melihat dua garis tercetak meskipun masih agak samar. Diketikannya sebuah pesan untuk Shane, “Aku positif Shane garis dua,” tak lupa dilampirkan foto test pack itu. Tak lama Shane membalasnya. “Linda pasti senang banget dengernya, aku akan segera kabari dia.” Senyum Thea memudar. Apa sih yang ada di fikirannya? Shane menikahinya demi Linda, demi bayi yang kelak akan dikandungnya, setelah itu entahlah bagaimana nasib pernikahan mereka. Sesaat Thea merasa benci dengan makhluk di dalam perutnya, tapi dia berhasil mengenyahkan fikiran itu. Dia hamil, dia akan menjadi ibu. Hal yang sebenarnya selalu dia nanti-nantikan juga. Thea mengusap perutnya dengan lembut mengucapkan maaf berkali-kali. Dan tertidur. Ketika terbangun dilihatnya Linda sedang duduk mengusap perutnya. Dengan pandangan takjub. “Disini ada bayi mungil kita The?” Tampak masih tak percaya, Thea mengangguk meski sebenarnya dia agak terkejut. Linda yang seharusnya masih dirawat di RS tapi sepagi ini malah sudah ada dirumahnya. “Kita beli perlengkapan bayi yuk,” mata Linda berbinar dia merasa sangat bersemangat. “Kamu masih sakit sayang,” Shane mengecup puncak kepala Linda. Hell pemandangan apa ini? Pagi-pagi mereka malah bermesraan di depan wanita yang tengah mengandung. “Please Shane, aku on fire nih,” rengek Linda, membuat Thea pening. Dia saja belum mengecek secara pasti ke dokter kandungan tapi mereka malah sudah meributkan mengenai perlengkapan bayi... dan Shane mengangguk pula. “Oke tapi kita ke rumah sakit dulu ya mengecek kondisi bayi kita,” yang dijawab dengan anggukan setuju oleh Linda. Sebenarnya Thea merasa malas sekali, tapi dia tak mungkin mengabaikan mereka disaat seperti ini kan. *** Selama kehamilan, selama itu pula Linda keluar masuk rumah sakit, sepertinya penyakit yang dideritanya semakin parah, sehingga Thea yang sebenarnya membutuhkan perhatian khusus dari suaminya namun tidak mendapatkan hal itu. Shane sudah pasti lebih memilih menemani Linda ketimbang dirinya yang hanya sebagai istri kedua. Thea mengingat sebuah artikel yang pernah dibacanya mengenai morning sickness selama kehamila, hal yang bahkan tak pernah dirasakan pada kehamilannya. Seharusnya Thea sudah kembali periksa ke dokter kandungan, tapi dia tidak melakukannya dia merasa tubuhnya baik-baik saja, dan akan sangat aneh jika memeriksakan kandungan seorang diri, sementara yang lain didampingi keluarganya. Usia kandungannya sudah 10 week saat ini. Thea mengusap perutnya sambil meminum s**u di depan kolam renang. Kakinya memainkan air dibawahnya. Ketika sebuah pesan masuk dari Edward ke handphonenya “Bu Linda meninggal, kami sedang bersiap untuk kembali dari Singapore,”. Lutut Thea terasa lemas seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD