Part - 5

1182 Words
Gelas di tangan Alena terjatuh. Suara nyaring itu terdengar menusuk telinga. Namun, semua orang tidak sadar karna mereka sedang bertepuk tangan gembira mendengar kabar pernikahan mama. Alena melihat keseklilingannya hanya dia dan Deren yang nampaknya masih kaget dengan kabar itu. Suara riuh tepuk tangan belum juga reda, ucapan selamat masih saja terus bersambung dan belum menemukan ujungnya. Disitulah Alena melihat seorang cowok dengan setelan tuxido berwarna hitam membalikkan badan dengan lesu. Wajah tampannya begitu mengisyaratkan kesedihan dan ketidakrelaan. Nampaknya dia juga tidak senang dengan kabar pernikahan dua orang tua itu. Saat mata elang cowok itu bertemu dengan Alena. Seketika wajah yang tadinya lesu berubah menjadi garang. Tatapan tajam layaknya pembunuh yang sedang mengintimidasi korbannya. Alena kaget saat tau siapa cowok itu. Cowok itu berjalan mendekati Alena. "Gue pastikan hidup lo dan mama lo nggak akan bahagia setelah ini " ucap cowok itu sambil menyenggol keras bahu Alena sampai gadis itu terhuyung. Alena syok di ancam seperti itu. Sedangkan cowok itu berlalu. Deren segera mengejar kemana cowok itu pergi. *** Buggkkk Satu pukulan berhasil mendarat di pipi kanan Revan. Satu pukulan keras itu berhasil membuat sudut bibirnya berdarah. Dia memandang seorang cowok yang baru saja menonjok wajah tampannya. "Kita impas," ucap cowok itu pada Revan. Revan tersenyum kecut, "Kenapa? Lo nggak suka gua ancam cewek itu?" Deren memegang kerah Revan erat. Mencengkamnya sekuat tenaga. Deru nafasnya memburu menahan emosi yang sudah siap meledak kapan saja. Buggkkk Lagi, satu pukulan mendarat di wajah Revan. Revan sampai terjatuh kelantai akibat pukulan dari Deren. "Sorry kali ini gue menang," ucap Deren. Revan bangkit, tuxido yang tadinya rapi berubah tatanan menjadi lusuh. Kemeja putihnya terkena noda darah yang keluar dari hidungnya. "Kenapa cuma dua pukulan? Kenapa lo nggak pukul gue lagi sampai lo puas?" tanya Revan. "Jangan pernah merebut kebahagiaan Alena!" ucap Deren tegas. Revan tersenyum, " Lo suka dia?" "Gue suka dia atau nggak,itu bukan urusan lo. Lo boleh kecewa dengan pilihan papa lo. Tapi tolong jangan hancurin apapun yang masih tersisa milik Alena." Revan memandang Deren dengan tatap yang sulit diartikan. Sedetik kemudian... Bugkkk "Kita impas," Revan memukul Deren sangat telak. Sudut bibir Deren ikut berdarah. Deren hendak membalas namun tiba-tiba ponselnya berbunyi. "hallo tante," jawab Deren. Deren bergegas satelah mendapatkan telvon dari mama Alena. Revan yang mengetahui itu mengikuti kemana Deren pergi. *** Di kamar Alena, suasana begitu mencekam. Mama berdiri di depan ranjang milik anaknya. Om Hengki juga sudah berada di dekat mama. Wajahnya terlihat panik melihat kondisi Alena. "Alena, mama bilang stop," ucap mama memohon. Praaanngggg Vas berisikan bunga mawar berwarna putih terbanting dengan sengaja. Alena menagis sejadi-jadinya setelah melempar Vas tanpa dosa itu ke lantai. "Kenapa ma? Kenapa mama tega lakuin ini ke Alena?" teriak Alena dalam tangisannya. Deren sampai di ambang pintu kamar, dia melihat suasana kamar yang begitu kacau. Pecahan kaca berserakan dimana-mana. Dia memandang Alena yang tengah menggenggam erat pecahan vas yang sempat dia lemparkan. Gaun berwarna putih yang tadinya indah berubah menjadi penuh bercak darah. "Kenapa Tuhan nggak ngambil Alena aja jika sekarang hidup Alena bakal seperti ini," "Al, plis berhenti, kita bicarakan ini baik-baik," ucap Deren. "Ren, apa gue udah nggak berhak bahagia?" tanya Alena dengan pilunya. Deren terdiam. "Kalau gue nggak berhak bahagia mending gue mati aja," ucap Alena sambil terus mengenggam pecahan vas. Revan yang melihat kejadian itu dari kejauhanan hanya diam membisu. Deren melangkah perlahan mendekati Alena. Mencoba mengapai gadis itu untuk menenangkannya. "Kenapa mama merampas semua kebahagiaan yang Alena punya? Yang masih tersisa sampai saat ini ma?" "Mama egois, mama nggak pernah mikirin perasaan aku." isakan terdengar semakin keras. "Alena..." ucap mama sambil menangis. "Aku benci mama! Pergi ma!" Mama syok di teriaki seperti itu. Om Hengki segera menuntun mama pergi menjauh. Revan melihat Deren yang sekarang berhasil memeluk dan menenangkan Alena. "Hustttt, udah ya. Lo nggak boleh kayak gini." ucap Deren sambil melepaskan pecahan vas dari tangan Alena. "Kenapa semua jadi kayak gini,Ren?" ucap Alena di pelukan Deren. Alena memandang wajah Deren yang juga terluka. "Lo habis berantem?" tanyanya. Deren menggeleng, "Enggak, gue nggak kenapa-kenapa," jawab Deren berbohong. Alena kembali memeluk Deren erat. Dan tanpa sengaja dia melihat Revan yang masih berdiri di ambang pintu kamarnya. Memandang mereka berdua dengan pandangan kosong. Tak berapa lama Revan pun pergi. "Kita obati dulu ya tangannya," ucap Deren lembut. Alena hanya mengangguk. *** Seminggu sudah berlalu. Alena masih mengurung dirinya dikamar. Empat Hari dirinya tidak pergi sekolah. Dia sengaja menyuruh pak Tisna dan bi Yanti membuatkan surat izin untuknya. Alena berdiri di ambang jendela kamarnya sore ini, dia melihat orang-orang yang tengah sibuk berbenah di lantai dasar. Tiga hari yang lalu mama bilang jika dia sudah menikah dengan Om Hengki. Dan hari ini Om Hengki berbenah untuk tinggal bersamanya. Alena melihat tangannya yang masih berbalutkan plester. Dia jadi teringat soal Revan. Ternyata selama ini Revan sudah mengetahui tentang semua ini. Tak heran jika Revan begitu sangat membencinya sejak awal masuk sekolah. Alena tidak membayangkan bagaimana nanti saat dia bertemu dengan Revan di sekolah. Apakah dia akan sanggup? Tok tok tok Suara ketukan pintu terdengar. Alena segera membuka pintu kamarnya. "Hari ini Om Hengki mulai tinggal disini. Dan malam ini akan ada makan malam bersama antara kita sebagai keluarga baru. Mama harap kamu mulai menganggap Om Hengki seperti papa mu sendiri," ucap mama panjang lebar. Muka Alena terlihat tak suka,"Papa Alena sudah meninggal. Dia tidak akan pernah tegantikan oleh siapapun! Bahkan seorang Leonardo de caprio atau Syahrukh khan pun tidak akan bisa menggantikan sosok papa dalam hidup ku. " jawab Alena judes. "Alena dengar, semua mama lakukan demi kita, demi masa depan kamu juga," "Demi Alena? Mama aja sama sekali nggak minta maaf soal hari itu ke Lena!" "Al, mama tau kecewanya kamu. Tapi mama tetap akan mempertahan rumah tangga mama dan Om Hengki bagaimana pun caranya," "Terserah mama mau apa, yang jelas aku nggak akan pernah sudi om itu dan anaknya tinggal disini!" setelah mengucapkan kalimat terakhirnya Alena membanting pintu kamarnya dengan keras di hadapan mamanya. Alena sudah tidak memperdulikan lagi tanggapan soal dirinya yang durhaka pada mama. Dia sudah terlalu kecewa dengan mama yang berperilaku seenaknya tanpa memikirkan papa disana. *** Tepat jam 7 malam Alena keluar dari kamarnya. Mama berhasil membuat Alena menurut dengan cara mengancamnya. Mama berencana memblokir semua kartu kredit Alena jika gadis itu tidak ikut makan malam hari ini. "Senyum sedikit. Sopanlah sampai makan malam selesai. Setelah itu kalau mau ngambek lagi silahkan." ucap mama yang berjalan di belakang Alena. Alena hanya diam. Dia melihat kearah meja makan. Disana sudah ada om Hengki. Alena duduk di samping mama, masih mempertahankan wajah cemberutnya. "Akhirnya kita bisa makan malam bersama setelah resmi menikah tiga hari yang lalu," ucap Om Hengki membuka pembicaraan. "Alena, om sangat berterimakasih kepada kamu yang sudah mengizinkan mama mu menikah dengan om," 'Dih siapa yang mengizinkan,mama saja tidak pernah bilang apa-apa soal pernikahan ini ke aku' gumam Alena dalam hati. "Om sangat senang bisa memiliki putri secantik dan sepintar kamu," tambah om Hengki lagi meski Alena tidak menjawabnya. 'hah senang? Aku saja tidak bersyukur jika harus memiliki papa seperti om" gumam Alena lagi dalam hati. Mama menyenggol lengan Alena keras, "Alena, papa mu sedang biacara sama kamu,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD