Part - 17

1117 Words
Alena dan Revan sampai di rumah jam 7 malam. Mereka pun pergi ke kamar masing-masing untuk membersihkan badan. Mama dan papa mereka berdua memandang penuh rasa penasaran di ruang keluarga. "Dari mana kamu Alena?" tanya mama. "Jalan-jalan," jawab Alena singkat dan menuju kamarnya. Jam 8 malam saat Alena sedang asik menonton drama kesukaannya. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar di telinganya. Dengan malas Alena membuka pintu. Di dapatinya Revan yang berdiri dengan sampo dan sabun di tangannya. Di pundak kanannya sudah bertengger handuk kering. "Pinjem kamar mandi sebentar. Air di shower gue mampet," lapornya. Alena hanya mampu mengangguk. Membiarkan Revan untuk masuk dan mandi di kamar mandinya. Cukup lama Revan di kamar mandi barulah dia keluar dengan rambut yang masih basah. Cowok itu terlihat begitu segar. Hanya memakai kaos putih polos dan celana pendek berwarna chino saja sudah memancarkan aura ganteng yang memang benar-benar di gilai para wanita yang memandangnya. "Makasih ya," ucapnya dan langsung di jawab anggukan kepala dari Alena. Bukannya pergi Revan malah duduk di kursi belajar milik Alena. Sambil mengeringkan rambutnya Revan bersuara, "Lo lagi ngapain sih?" tanyanya kepo. "Liat drakor," jawab Alena cuek,dia masih tengkurap di atas ranjang. "Pantes nilai lo jelek. Lo hobbynya nonton drakor dari pada belajar." ejek Revan. Alena melirik Revan sinis,"Nggak usah di bahas lagi ya. Nggak usah sombong jadi anak hanya karena lo dapet nilai 100 di atas gue. Dan satu lagi, gue udah belajar nggak kayak lo yang hobbynya ngelaba sana-sini." ketus Alena. Revan hanya tersenyum miring. Dia melihat pigura foto yang terletak di atas meja. Ada tiga anak kecil berfoto dengan senyuman di sana. Gadis kecil yang berada di tengah memandang anak laki-laki di sebelah kirinya. "Ini elo? Ternyata lo punya teman juga. Gue kira cuma sandra doang yang mau berteman dengan lo." "Itu foto lama. Saat gue masih kecil. Itu gue dan Deren saat umur 5 tahun," jelas Alena. "Lah trus yang kanan itu siapa?" tanya Revan yang masih kepo. Alena mencoba mengingat siapa nama anak laki-laki itu. Dia lalu menggeleng."Gue lupa karena itu udah lama dan anak kecil itu udah nggak pernah gue temuin lagi sampai sekarang. Jadi cuma Deren doang yang masih berteman sama gue." Revan hanya mengangguk paham. Dia lalu bangkit dari duduknya dan kembali ke kamarnya. "Gue pergi dulu," pamitnya. Alena hanya memandang kepergian Revan. 'kenapa aku dan dia jadi dekat begini. Kita kan hanya pura-pura berpacaran. Mengapa kita malah semakin dekat dan sok akrab seperti ini' batin Alena merasa aneh dengan sikap di antara mereka berdua. Di lain tempat. Revan terduduk di pinggiran ranjang. Dia memandang pigura foto berukuran kecil. Ada gadis kecil yang tengah tersenyum memandang anak laki-laki seusianya yang juga tersenyum ke arah kamera. "Dasar bodoh. Lo aja nggak bisa bedain mana Deren dan mana yang gue." ucapnya lalu beranjak menyalakan seputung rokok dan keluar menuju balkon kamarnya. *** Jam menunjukkan pukul setengah 10. Alena terbangun dari tidurnya. Dia ketiduran rupanya saat sedang menonton drama. Alena menuju ke dapur untuk mengambil air minum saat di rasa haus melanda tenggorokannya. Alena melihat kamar Revan yang tertutup rapat. Namun terdengar suara televisi yang masih menyala pelan. Alena terus berjalan mengambil segelas jus apel di lemari es. Saat akan menaiki tangga ke lantai 2. Alena melihat televisi di ruang keluarga yang menyala. Dia mendekat ke ruang keluarga. Om Hengki tengah menonton televisi membelakangi Alena. Sadar akan kehadiran anak tirinya om hengki menoleh. "Alena, kamu belum tidur?" tanyanya lembut. "Tadi aku terbangun karena haus." jawab Alena seadanya. "Mau lihat televisi sama papa? Kemari lah." ajak om Hengki nada bicaranya masih lembut. Alena duduk di single sofa di dekat si om. "Mama kemana?" "Mama masih di ruang kerja. Ada berkas yang harus di siapkan untuk minggu depan. Meskipun kita mengambil cuti tetapi pekerjaan masih saja datang." jelas Om hengki sambil tersenyum. Alena hanya mengangguk paham. "Tadi mama mu cerita. Katanya kamu dan Revan habis jalan-jalan ya?" tanya om sambil memandang Alena. "Kami ke pantai," jawab Alena singkat. Si om tersenyum,"Nampaknya kalian memang sudah dekat," "Kami memang benar-benar berpacaran. Kami saling mencintai." ujar Alena yang semakin membuat senyum om Hengki mengembang. Alena mengerutkan dahinya tidak paham, 'mengapa om semakin tersenyum mendengar apa yang aku bicarakan barusan' batin Alena. Si om mengangguk berulang, "Aku tahu betul bagaimana Revan selama ini. Dari dulu dia tidak pernah mencintai perempuan mana pun yang dia pacari. Bahkan dulu sempat ada orang tua yang melabrak papa gara-gara Revan memutuskan hubungan dengan gadis itu, dia sampai akan bunuh diri jika Revan tidak kembali padanya." Alena bisa membayangkan bagaimana tergila-gilanya gadis itu pada Revan. "Revan selalu bersikap seenaknya selama ini. Dia sama sekali tidak pernah mendengarkan apa perkataan papa. Dan memang, itu semua adalah kesalahan terbesar yang papa perbuat karena perceraian itu." om Hengki susah payah mengutarakan apa yang dia rasa. Raut wajahnya begitu mengisyaratkan penyesalan. "Om bercerai dengan istri om yang dulu?" tanya Alena berani. Om hengki mengangguk, "itu sebabnya Revan berubah menjadi seperti sekarang." "Tapi yang masih membuat papa heran. Di saat semua orang menilai Revan buruk. Hanya Adam lah yang menilai Revan anak baik. Adam bilang Revan akan berubah jika di beri sedikit perhatian." ucapnya. "Om kenal papa ku?" tanya Alena penasaran. "Dulu om satu kampus dengan papa dan mamamu. Laura sangat mencintai Adam. Dia sampai mengejar Adam sampai dia benar-benar mendapatkannya. Mamamu begitu ambisius. Padahal dulu aku yang berjuang mendapatkan Laura. Namun, mama mu yang sudah tergila-gila dengan Adam. Tidak pernah mau melirik om yang selalu di belakangnya." Om Hengki tersenyum lebar mengingat kejadian itu. "Sampai berita kecelakaan itu terdengar. Om begitu terpukul. Om ikut sedih atas meninggalnya papamu. Bahkan Revan yang saat itu berhati keras,menangis saat om bilang papa mu meninggal." jelas Om hengki yang membuat air mata Alena turun tanpa sebab. "Jadi selama ini Revan mengetahui tentang papa ku?" "Apakah kamu sudah lupa dengan anak kecil yang dulu pernah kamu jatuhkan sampai kepalanya membentur pinggiran meja?" tanya Om Hengki penuh dengan teka-teki. "Jelas aku ingat. Anak kecil itu adalah Deren," Om Hengki menggeleng,"anak kecil itu adalah Revan. Kalian bertiga memang sering bertemu semasa kecil saat ada acara besar perkumpulan sesama rekan bisnis," Alena menutup mulutnya rapat. mana mungkin anak kecil yang selama ini dia cari adalah Revan. Cowok yang selalu ingin dia bunuh setiap kali bertemu dengannya. "Alena. Revan selalu mencari kamu sejak dulu. Bahkan foto kalian masih terpajang rapi dan selalu di bawa olehnya setiap dia pergi jauh," Alena masih saja tidak percaya dengan apa yang di bicarakan om hengki barusan. Anak kecil yang dulu selalu mengejeknya adalah Revan. Alena segera berpamitan untuk menuju kamar Revan. Sebelum dia turun tadi televisi di kamar Revan masih menyala itu pertanda bahwa Revan belum tidur. Sesampainya di depan pintu kamar Revan. Alena memberanikan diri membuka pintu itu. Ternyata tidak di kunci. Betapa kagetnya dia melihat isi kamar cowok itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD