Part - 11

1174 Words
"Di kamar gue aja buatnya," tawar Revan yang jelas menimbulkan penolakan oleh Alena. "Nggak! Bakal dapat masalah gue kalau masuk kamar lo," sentak Alena. 'Ya Tuhan, bahkan aku akan mendapat masalah setelah perjanjian ini aku setujui' batin Alena dalam hati. "Trus harus dimana?" jawab Revan pasrah. "Di ruang keluarga lantai dua aja. Biar aku suruh bi yanti mengawasi, agar mama dan om tidak mengetahui rencana kita," "Harus sampai segitunya?" Tanya Revan tak mengerti. "Kita harus meyiapkan ini dengan baik. Harus ada hitam di atas putih dan tanda tangan bermatrai," jelas Alena. "Gila lo, lo pikir gue mau tanda tangan kontrak apa? Yang bener aja," Decak Revan protes. "Lo diem ya, emang ini ide siapa? Gue nggak mau nih masalah bikin gue rugi dan menimbulkan efek samping," "Nggak waras lo! Pake ada efek sampingnya lo kira obat sakit kepala," semprot Revan. "Gue peringatin,saat ini lo adek gue. Elo harus hormatin gue sedikit. Pokoknya ini semua murni hanya pura-pura. Nggak ada tindakan yang nggak perlu. Nggak ada pegang-pengangan tangan, kiss-kiss-an, peluk-pelukan. Nggak ada ngomong nggak sopan, apalagi sampai berduaan segala." cerocos Alena tanpa henti. Revan menarik nafas bosan mendengar omelan Alena. "Udah gih suruh pak Tisna beli materainya dulu!" Jam menunjukan pukul 8 malam, ketika Alena dan Revan sudah duduk di lantai berkarpet di ruang keluarga lantai dua. Ruang ini sangat aman karna tidak mungkin mama menginjakan kakinya kemari. Alena sibuk menyambungkan kabel yang menghubungkan laptop dan printernya ke stopkontak. 'hal ini harus cepat beres supaya besok rencana inu udah bisa berjalan' batin Alena sambil menghidupkan laptopnya. " Yang pertama, mending langsung kita atur tata cara pacaran di depan orang tua," Alena bergumam pelan. Revan hanya mengangkat sebelah alisnya sambil sesekali memencet keyboard pada ponselnya. "Pasal 1 ayat 1, di depan orang tua boleh berkata-kata mesra, tapi nggak boleh pegangan tangan apalagi nge-kiss. Ayat 2, di depan orang tua nggak boleh berantem. Kita harus menunjukan bahwa kita memang sudah berdamai dan sekarang berpacaran. Ayat 3, kalau nggak ada orang tua dilarang pura-pura pacaran." Alena menekat tombol enter dan memindahkan kursor. "Pasal 2, ini tentang jangka waktu rencana kita. Gue saranin ini hanya berlaku sampai 1 bulan. Kalau dalam jangka waktu itu kita gagal. Udah mending bubar aja nggak usah rencana pura-oura lagi." Alena mengoceh sendiri di depan laptopnya. Saat dia sadar bahwa sedari tadi Revan tidak mengubrisnya Alena mengamuk. "Heh, lo denger nggak sih!?" sentak Alena karna Revan terus bermain ponselnya. "Denger," jawab Revan singkat matanya masih berpusat pada ponselnya. "Lagi ngapain sih lo?" "Bales chatnya Kyla adek kelas kita itu. Dia w******p mulu tiap malem. Ngingetin gue udah makan belum, udah mandi belum, udah belajar belum," gerutu Revan tanpa mengalihkan pandangannya. "Emang gue anak TK," sambungnya yang membuat Alena menghembuskan nafas panjang. 'ih nih cowok, Bisa-bisanya di situasi seperti ini, dia masih melakukan hal seperti itu' umpat hati Alena gemas. "Pasal 3, ini yang bener-bener harus lo cantumkan dalam benak lo. Selama rencana ini berjalan kedua belah pihak nggak boleh berpacaran dengan orang lain selain yang bertanda tangan di sini. Berarti lo harus sama gue. Gue juga harus sama lo. Nggak boleh sama orang lain. Karna mau di taruh dimana muka gue nanti kalau sampai itu terjadi,meski semua hanya pura-pura," ikrar Alena sambil terus mengetik. Revan tersenyum sendiri melihat layar ponselnya. Alena melirik ke arah ponsel Revan di sebelahnya. 'Dasar cowok m***m, seneng banget lihat body cewe yang cuma pakai bikini doang, Ya Tuhan kenapa aku harus berurusan dengan makhluk mu yang berakhlak seperti ini' tangis Alena dalam hati. Alena telah selesai dengan ketikannya. Dia mulai mencetak perjanjian itu menjadi dua. "Nih baca," Revan menerima kertas itu dengan malas."Papa pasti ngirim orang buat menyelidiki ini semua," Alena bengong, apakah om sampai segitunya jika mengetahui rencana ini. "Ayat 1 pantesan dirubah dikit," "Mau dirubah gimana lagi, jangan bikin gue rugi dalam perjanjian ini!" pekik Alena tak setuju. "Kalau lo nggak setuju ya udah. Nggak jadi aja perjanjian ini. Ribet amat," Revan berdiri. 'Lah kok dia yang ngambek???' "Iyaudah maunya gimana?" Alena pasrah. "Pasal satu bagusan dirubah. Boleh pegangan tangan dan rada mesra sedikit," ucap Revan yang membuat Alena sempoyongan mendengarnya. Ingin rasanya Alena pingsan sekarang. Bagaimana mungkin dia akan melakukan semua itu. Jikalau dia sangat membenci kutu busuk ini. Tapi mau bagaimana lagi udah kepalang tanggung. Mampuskan. Dengan berat hati Alena menyetujuinya. Dia melihat Revan yang sudah cetak-cetik di atas laptop Alena. Mengeprint menjadi dua lembar dan mereka pun bertanda tangan di atas matarai. Perjanjian konyol ini telah di setujui dua belah pihak. Tinggal melaksanakan rencana yang sudah di tuliskan. Revan bangkit dari duduknya."Iya udah sampai ketemu besok sayang," ucapnya dengan di susul senyum menggodanya. Alena sampai merinding mendegar perkataan menyeramkan seperti itu. 'benar-benar nggak waras' batin Alena sambil bergidik ngeri. *** Pagi ini, Alena berdiri di depan jendela setelah mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Matanya terpusat pada mobil peugeot putih yang baru saja berhenti di depan gerbang rumahnya. 'Deren kah? Kok mobilnya beda' tebak Alena. Rasa penasarannya berhenti saat seorang gadis cantik keluar dari pintu pengemudi, gerak geriknya begitu menawan, lalu beberapa detik datanglah Revan sambil tersenyum kepada gadis itu. Lalu tanpa menunggu lama dia memasuki pintu penumpang. Hati Alena sedikit marah. Revan mengingkari janjinya. 'pasal 3, Selama rencana ini berjalan kedua belah pihak nggak boleh berpacaran dengan orang lain selain yang bertanda tangan di sini' 'Dasar pembohong' batin Alena marah. Dia melihat mobil peugeot itu yang sudah berlalu. 'Sabar alena, lagian siapa suruh percaya dengan kutu busuk itu, kau harusnya tidak terbuai dengan penawaran yang cowok terkutuk itu buat' Suara ketukan pintu membuatnya menoleh kesumber suara. "Ada Mas Deren,non. Di luar," lapor bi yanti setelah Alena membukakan pintu kamarnya. Amarah yang tadi memengaruhinya seketika buyar. Keberadaan Deren membuat Alena melupakan yang telah terjadi beberapa menit lalu. "Sorry gue jemput lo tanpa ngabari lo dulu," ucap Deren menyambut kedatangan Alena yang baru saja turun dari kamarnya. Alena tersenyum lebar, "Nggak apa kok. Makasih ya udah mau jemput gue," Deren mengangguk, "sesuai janji gue sebelumnya," Alena tersenyum. Ternyata Deren menepati janjinya padahal waktu itu Alena tidak sungguh-sungguh untuk menyuruh cowok itu menjemputnya hanya karna rasa bersalah. Mereka berdua pun memasuki mobil Deren untuk berangkat sekolah. "Tadi waktu gue turun dari mobil dan papasan sama Revan. Kenapa dia senyum-seyum ke gue ya?" ucap Deren bingung. "Sajennya lengkap kali," jawab Alena cuek sambil terus memandang ke depan. Alena teringat sesuatu untuk di sampaikan. Dia memandang Deren yang fokus menyetir. "Ren," panggil Alena. "iya, Al" jawabnya lembut. "Mulai hari ini dan sampai batas yang nggak bisa gue tentukan. Apapun hal yang gue alamani nanti, tolong percaya gue kalau semua nggak seperti yang lo pikirkan," ucap Alena yang membuat Deren bingung. "Maksudnya? Lo ada masalah serius?" Alena menggeleng, "Pokoknya lo harus percaya sama gue," "Oke, gue bakal percaya sama lo," Jawaban Deren membuat Alena tersenyum lebar. Semua yang akan dia alami hari ini dan satu bulan kedepan memang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Deren. Tapi Alena harus mengatakannya karena dia takut Deren berpikiran lain kepadanya. 'sorry, Ren. Gue nggak bisa jelasin lo rincinya seperti apa. Semoga lo tau maksud gue' batin Alena sambil memandang wajah tegas cowok di sampingnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD