GENDHIS
Ternyata menikah itu nggak enak. Sekarang aku percaya bahwa kehidupan pernikahan itu nggak seindah seperti yang ada di n****+-n****+ online. Boleh nyesel nggak sih dengan keputusanku sendiri? Jadi kangen Mama. Rindu berat sama Papa. Andai saja Papa masih hidup mungkin aku nggak perlu repot-repot memaksa seorang laki-laki asing untuk melanjutkan tugas dan tanggung jawabnya melindungi dan menjagaku.
Air mataku mengalir begitu saja tanpa sanggup aku bendung. Bahkan lama kelamaan tangisku berubah menjadi terisak dan mulai bersuara. Bodo amatlah. Paling juga yang lihat cuma Bik Sumi. Kalau ditanya nangis kenapa tinggal jawab aja lagi kangen tujuh bujangku yang sekarang sedang menjalankan wajib militer.
Saat sedang sedang sesenggukan mencoba menghentikan tangis terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Awalnya aku kira mungkin Bik Sumi mau pamitan pulang. Namun air mataku seketika berhenti bahkan jejaknya mendadak kering saat mendengar suara Bintang setelah ketukan kedua kalinya.
“Chik? Kamu nangis? Kenapa?”
Yaelah, pakek nanya kenapa lagi. Mana nada bicaranya Bintang nggak kayak biasanya yang ketus, dingin bin nyebelin itu. Ambyar kan. Hatiku yang mungil ini jadi tersentuh. Alhasil tangisku pun datang lagi. Jejak air mata yang tadinya sudah mulai mengering kini kembali basah. Bahkan kini aku sudah menangis tersedu.
“Kamu bilang apa sama Ibuku?’ tanya Bintang sesaat setelah aku membuka pintu kamar sambil menahan isak tangis.
“Maaf kalo aku udah lancang bicara sama ibumu, Mas Bintang. Aku kangen Mama. Aku rindu berat sama Papa. Aku pengen pulang. Aku merasa di sini bukan rumah aku,” ujarku kembali menangis. “Aku kesepian, Mas. Tapi aku nggak tau mesti ngadu sama siapa. Kebetulan Ibu telepon aku nanya kabar sekaligus nyari kamu karena katanya ngubungi kamu susah banget.”
“Ya, terus ngapain pakai ngadu segala kalau aku nggak pulang ke rumah udah berhari-hari. Bohong dikit kek. Bilang aja kalau aku pulang larut malam. Tapi intinya aku tetap pulang setiap harinya.”
“Bohong itu dosa, Mas,” jawabku di tengah isak tangis. “Makanya itu aku minta maaf. Aku janji nggak akan ngadu-ngadu apa pun lagi sama ibumu. Tapi please, kamu jangan nggak pulang lagi kayak kemarin-kemarinnya. Kamu nggak apa-apa pulang larut malam asal pulang. Aku rela nungguin kamu pulang cuma buat ngobrol sama kamu meski cuma lima sampai sepuluh menit. Aku tahu kamu marah dan kecewa sama pernikahan ini. Tapi jangan menghindari aku…”
Aku mengatur napas sambil mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan isi hatiku pada Bintang. Berhubung si kulkas empat pintu itu belum menyanggah ucapanku, jadi aku menggunakan kesempatan ini untuk melanjutkan omonganku tadi.
“Aku nggak akan maksa kamu untuk menjadi kepala rumah tangga yang sebenarnya. Aku juga nggak akan menuntut kamu untuk membentuk sebuah rumah tangga yang utuh dan harmonis. Asal kamu tau aja, bukan cuma kamu yang terpaksa menjalani pernikahan ini. Aku juga sama terpaksanya. Aku nggak pernah minta ke orang tuaku untuk menikah sama kamu. Tapi tolong bertahan setidaknya sampai aku wisuda. Sekarang aku semester enam, aku akan berusaha akan wisuda paling lama di semester sembilan. Setelah itu aku bisa bilang ke Mama dan orang tua kamu kalau aku udah cukup matang dan bisa mandiri tanpa perlu repot-repot dijagain sama kamu.”
Bintang masih tetap diam membisu. Tapi tatapannya tetap mengarah ke bola mataku. Saat ini tangisku sudah berhenti. Aku jadi lebih leluasa bicara dari sebelumnya. “Aku hanya butuh kamu nggak lebih dari satu setengah tahun. Selama itu tolong hargai keberadaanku di sekitar kamu, minimal di rumah ini. Setelah itu kita bisa bercerai. Aku sama sekali nggak keberatan dijandakan sama kamu. Aku mohon, Mas. Kamu bisa ngabulkan permohonanku itu, kan?”
Bintang menundukkan kepala. Tiga detik kemudian kepalanya terangkat pelan. Raut wajah yang tadinya kaku kini berangsur kendur. “Maafin aku, Chik. Aku pasti udah membuat luka di hati kamu karena tingkahku yang nggak dewasa menanggapi perjodohan kita. Tapi aku benar-benar nggak bisa menerima pernikahan ini dengan ikhlas dan lapangdada seperti kamu. Cintaku sudah habis untuk orang lain. Kalau dia tahu tentang kamu dan pernikahan kita, maka mimpi-mimpi indahku untuk bisa memilikinya akan musnah menjadi debu. Aku bingung harus gimana sekarang ini.”
Sakit dikit nggak ngaruh, Wir! Hiks…
Aku berusaha tegar ketika menanggapi ucapan Bintang soal cintanya yang sudah habis untuk orang lain. “Kamu berhak memberikan cintamu untuk orang itu bahkan sampai habis. Aku nggak akan meminta sedikitpun cintamu itu. Tapi seenggaknya pulang ke rumah ini. Ingat keberadaanku yang sedang menunggu kamu pulang setiap malam dengan hati yang was-was dan dipenuhi rasa khawatir. Demi Tuhan, aku itu takut kamu kenapa-kenapa di jalan, takut kamu sakit lalu ninggalin aku kayak Papa…” Di sini aku nggak bisa lagi membendung tangisku. Tangisku kembali pecah. Tapi kali ini keadaannya sedikit lebih baik dari sebelumnya. Aku menangis dalam pelukan Bintang.
Sebenarnya aku malu menangis seperti ini di depan Bintang. Aku pikir dia nggak pulang lagi seperti kemarin-kemarinnya setelah seharian ini nggak ada kabar setelah mencibirku lewat chat siang tadi. Tiba-tiba sekarang dia nongol dan menunjukkan sisi hangatnya. Hati mungilku jadi tersentuh.
“Kamu mau makan malam apa?” tanya Bintang saat hendak meninggalkan kamarku.
“Apa aja yang dimasak Bik Sumi.”
“Oh,” jawab Bintang kemudian keluar kamar begitu saja.
Sekitar setengah jam kemudian chat dari Bintang masuk bersamaan dengan niatku yang hendak keluar kamar untuk mengintip apa yang dimasak Bik Sumi untuk menu makan malam.
Mas Dosen: “Ke ruang makan buruan.”
Me: “Ada apa?”
Aku bertanya untuk sekadar basa basi, padahal emang udah niat mau ke ruang makan.
Mas Dosen: “Banyak tanya. Cepat ke sini.”
Aku nggak membalas chat Bintang dan memutuskan memenuhi panggilannya. Aku berjalan santai bersikap seolah nggak terlalu penasaran dan antusias ingin tahu hal apa yang ingin ditunjukkan oleh Bintang padaku. Padahal aslinya penasaran abis. Gengsi selalu terdepan ya, Sis.
Sesampainya di ruang makan aku terkejut melihat beberapa paket ayam goreng dan cola dari salah satu merek franchise ayam goreng terkemuka hampir memenuhi separuh meja makan berbentuk lingkaran itu.
“Dalam rangka apa pesen mekdi sebanyak ini?” tanyaku heran.
“Dimakan, ya, Chik,” ujar Bintang menyadari kedatanganku. Dia tersenyum tipis padaku.
“Buat aku?”
Bintang mengangguk. “Anggap aja wujud keseriusanku untuk dapat maaf dari kamu,” ujarnya.
“Nyogok, sih, nyogok. Tapi nggak sebanyak ini juga. Mana sanggup aku ngabisin semua ini.”
“Bisa, kok. Menurut aku ini nggak banyak-banyak banget. Geya juga mendadak makan banyak kalau pas lagi PMS.”
Geya? Siapa dia?
Aku segera mengubah ekspresi terkejutku menjadi pura-pura nggak dengar kalau Bintang baru saja menyebutkan sebuah nama. “Aku juga gitu, sih, kalo pas PMS. Tapi masalahnya aku sekarang nggak lagi mau datang bulan,” jawabku sambil terkekeh malu. “Tapi kalo kamu maksa aku terima dengan senang hati pemberianmu ini. Sekarang temeni aku makan. Berhubung aku nggak sedang PMS jadi aku nggak sanggup ngabisin semuanya sendirian.”
Bintang setuju. Kami lalu makan sambil mengobrol ringan disertai candaan receh dari aku. Kemudian di tengah-tengah acara makan malam kami, iseng-iseng aku nyeletuk menyebut nama yang tadi disebut oleh Bintang.
“Jadi nama orang yang dapat cinta kamu sampai habis nggak tersisa untuk orang lain itu Geya?”
~~~
^vee^