11. Perang Dimulai

1247 Words
GENDHIS Akhirnya tujuh hari sudah berlalu. Aku telah menyelesaikan tugas merangkum yang diberikan oleh Bintang padaku sebelum dia mendadak cuti dan menjadi Bang Toyib yang nggak pulang ke rumah selama berhari-hari. Bintang nggak tanggung-tanggung kalau ngasih tugas. Ibunya dulu ngidam apa coba, bisa punya anak dingin dan kejam seperti Bintang. Pagi ini aku bersiap seperti biasa dan menyiapkan buku-buku penunjang serta binder untuk kelas hari ini. Tak lupa juga buku besar milik Bintang serta tugas merangkum dari dosen galak satu itu. Aku sengaja datang pagi sekali untuk menyerahkan tugas itu secara langsung di ruangan Bintang. Tapi sepertinya dia belum datang. Tadi aku memang berangkat lebih dulu karena malas berbasa basi sama dia. Aku nggak tahu dia semalam sampai rumah pukul berapa, tahu-tahu udah nongol aja di ruang makan pagi-pagi. Aku memutuskan untuk menunggu di salah satu kursi koridor kampus. Baru duduk sepuluh menit Pak Zayyan lewat di depanku dan mampir sebentar untuk menyapaku. “Tumben pagi?” tanya Pak Zayyan basa basi. “Iya, Pak. Mau ngumpulin tugas,” jawabku santai. “Oh, tugas apa?” “Tugas merangkum dari Pak Bintang.” “Merangkum? Hari gini?” komentar Pak Zayyan sambil terkekeh pelan. “Tauk tuh. Mana nggak tanggung-tanggung lagi jumlah halaman yang kudu dirangkum. Ditulis tangan dan dikasih waktu cuma seminggu doang.” “Sabar ya. Diambil hikmahnya aja. Itung-itung kamu sambil belajar,” ujar Pak Zayyan bijak tapi masih terkekeh pelan. “Oh, iya. Sabtu ini kamu ada acara nggak?” tanya laki-laki itu kemudian. “Nggak ada, sih, Pak. Maklumlah, saya ini kupu-kupu alias kuliah pulang-kuliah pulang.” “Bisa saja kamu. Kalau Sabtu malam gimana?” “Ada apa ya, Pak?” “Oh, itu. Adik perempuan saya yang pernah saya ceritakan waktu itu pengen ketemu kamu.” “Oh, bisa-bisa aja. Kabari aja mau ketemuan dimana.” “Oke. Kalau gitu saya lanjut ke ruang dosen dulu ya. Semangat Gendhis!” Aku mengangguk sambil tersenyum simpul membalas ucapan semangat yang diberikan oleh Pak Zayyan. Dari arah lain Bintang sedang berjalan menuju ke ruang dosen. Cowok itu segera membuang muka ketika tatapan kami bertemu. Dia lalu tersenyum dan menyapa Pak Zayyan dengan ramah. Raut wajahnya sangat beda ketika melihat ke arahku. Tak ingin memikirkan perubahan raut wajah Bintang yang nggak jelas itu aku segera masuk kelas. Hari ini Abil nggak masuk karena sakit. Jadi ketika Astana meminta izin duduk di sampingku aku malas menolak. “Selamat pagi!” sapa Bintang membuka kelasnya pagi ini. “Saya absen dulu ya,” ujarnya setelah seisi kelas membalas sapaannya termasuk aku. Setelah absen selesai Bintang memulai kelasnya tanpa membahas sedikitpun soal tugasku. Ketika kelas berakhir Bintang menolak aku menyerahkan tugasku di kelas. Alasannya dia harus lanjut mengajar di kelas lain dan tidak kembali ke ruang dosen lebih dulu. “Kalau kamu memaksa mengumpulkan tugasmu sekarang sementara saya akan kembali ke ruang dosen setelah menyelesaikan dua kelas lagi, apa kamu tidak takut tugas kamu akan hilang di kelas mengajar saya berikutnya? Kalau mau menanggung resiko itu tidak masalah, letakkan saja di tumpukan map itu. Tapi bukunya kamu bawa saja dan kembalikan saat saya di ruang dosen.” “Gimana kalau bukunya saja yang bapak bawa tugasnya saya kumpulkan kalau Pak Bintang sudah kembali ke ruang dosen?” “Jadi kamu mau ngatur saya?” “Ya, nggak gitu juga, Pak.” “Ya, sudah. Kalau gitu saya mau lanjut mengajar.” Dan begitulah akhir dari perdebatanku dengan Bintang soal tugas. Aku nggak banyak protes lagi karena nilaiku taruhannya. ~~ BINTANG Saya terkejut bukan main ketika Sachika meletakkan buku besar yang saya berikan untuk tugasnya dengan cara digebrak ke meja. Setelah itu menyusul beberapa lembar kertas folio bergaris tulisan tangan gadis itu. Sama sekali tidak ada sisi anggun dan ramahnya. Sangat berbeda dengan Geya. “Saya mau mengumpulkan tugas merangkum yang bapak berikan,” ujar Sachika dengan wajah ditekuk. Saya menarik napas panjang. “Lain kali yang sopan kalau di depan dosen,” ujar saya tanpa menghiraukan wajah kesal cewek itu. “Ya,” jawab Sachika singkat kemudian berlalu dari hadapan meja saya. “Jangan lupa tugas saya yang tadi dikerjakan.” “Iya, Bapak Bintang Yuwaraja. Saya akan mengerjakan semua tugas-tugas yang bapak dosen berikan. Asal saya lulus mata kuliah bapak dan nggak perlu ketemu dosen seperti bapak lagi, eummhh… ralat. Maksud saya supaya saya nggak sampai mengulang mata kuliah bapak di semester genap tahun depan,” ujar Sachika, kemudian berbalik badan dan pergi dari hadapan saya. Saya hanya bisa menggeleng heran melihat kelakuan dia. Beruntung ruang dosen sedang sepi. Tapi tidak lama kemudian Zayyan masuk dan berjalan ke arah saya. “Gue lihat tadi ada mahasiswa dari ruangan ini. Dari ngadep elo?” tanya Zayyan. “Iya, mahasiswa gue. Ngumpulin tugas.” “Tugas merangkum?” “Kok, lo bisa tahu?” “Oh, dia tadi curhat. Lo kalau ngasih tugas jangan kejam-kejam lah. Yang bener aja merangkum dari tiga modul masing-masing 10 bab, tulis tangan, dikasih waktu cuma seminggu doang. Nggak lihat lo matanya sampai bengkak? Gue yakin dia kurang tidur gara-gara tugas dari lo.” “Namanya juga kuliah. Kalau mau gampang suruh balik ke SD aja.” “Ya, nggak gitu juga. Tapi lo kayak ada sentimen khusus sama mahasiswi yang itu. Sama yang lain lo kayak biasa aja kalau ngasih tugas.” “Biasa aja. Gue gitu juga untuk kebaikan dia. Dengan merangkum itu sama saja dengan dia membaca sekaligus mengingat materi yang ada di buku itu.” “Ya, tapi nggak harus sebanyak itu juga dan rules tugasnya juga yang masuk akal, Bro.” Zayyan hanya menggeleng menanggapi jawaban saya. Tapi saya penasaran kenapa Zayyan seperti memiliki atensi khusus pada Sachika. Oleh karena itu saya memutuskan bertanya sesuatu pada Zayyan. “Kayak lo nggak kejam aja kalau ngasih tugas,” komentar balasan saya. “Iya, tapi gue kalau kasih tugas sesuai kemampuan dan rulesnya yang masuk akal. Dan satu hal lagi berlaku untuk semua mahasiswa yang ikut kelas-kelas gue. Nggak kayak lo.” Saya hanya tersenyum tipis menanggapi jawaban Zayyan. Tapi sepertinya urusan dia dengan saya masih belum selesai. Karena terbukti dia menarik kursi lain lalu mendudukinya di depan meja saya. “Mahasiswi tadi menurut lo cantik nggak?” tanya Zayyan tiba-tiba. “Cantik, kan dia perempuan.” “Lebih spesifik Bintang.” “Menurut lo?” “Cantik banget.” “Trus?” “Gue gebet kali ya.” “Cari yang seumuran aja. Lo sama kayak ngasuh anak kecil kalau deketin mahasiswi. Apalagi masih semester enam gitu. Umurnya belum genap 20 tahun. Beda sepuluh tahun sama lo.” “Tauan aja lo umurnya? Jangan-jangan diem-diem lo merhatiin dia ya?” ‘Ya kali nggak tahu usia Sachika. Nama saya sama dia saja sudah berada dalam satu kartu keluarga yang sama sekarang.’ Saya hanya bisa menggerutu dalam hati. “Asal nebak aja,” jawab saya santai. “Tapi mending sama yang masih muda aja. Daripada sama yang lebih tua. Malah sok ngatur.” “Terserah lo aja. Awas nanti lo ngeluh dia ngambek, dia badmood, dia moodswings,” jawab saya akhirnya. Zayyan terbahak. “Nggak apa-apa. Tar kalau ngambek gue belikan es krim sama seblak aja.” “Buset, kuliah tinggi-tinggi cuma dapat rayuan seblak doang. Rugi dong.” “Bisa aja lo. Yang penting sekarang doain gue sukses deketin mahasiswi lo ya! Soalnya dia punya value beda dibanding mahasiswi-mahasiswi yang lain. Makanya gue penasaran sama dia.” Tiba-tiba saja saya kehilangan kata-kata untuk merespon ucapan Zayyan. Saya hanya melihat dia pergi dengan tatapan bengong tanpa alasan. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD