bc

Menangkap Rasi Bintang Mas Dosen

book_age16+
283
FOLLOW
6.2K
READ
HE
age gap
arranged marriage
kickass heroine
stepfather
heir/heiress
bxg
lighthearted
mystery
brilliant
loser
secrets
professor
like
intro-logo
Blurb

Suatu hari Ayah Gendhis menyampaikan bahwa Gedhis akan dijodohkan oleh laki-laki bernama Bintang, anak dari salah satu direktur di perusahaannya yang terkenal sangat ulet dan loyal pada perusahaan. Gendhis tidak pernah berpikir bahwa Bintang yang akan dijodohkan dengan dia adalah Pak Bintang, salah satu dosen junior di kampusnya. Karena dia pikir laki-laki bernama Bintang itu banyak sebanyak bintang-bintang yang bertebaran di langit.

Sementara Bintang tidak pernah tahu bahwa gadis yang akan dijodohkan dengan dirinya adalah salah satu mahasiswa di kampus tempat dia bekerja sebagai dosen. Ayahnya hanya mengatakan bahwa nama gadis yang akan menjadi calon istrinya bernama Gendhis. Selama ini Bintang tidak pernah ambil pusing untuk menghapal satu per satu nama mahasiswanya, apalagi nama lengkap masing-masing mahasiswanya.

Saat hari Bintang datang ke rumah Gendhis bersama orang tuanya, di situlah mereka dihadapkan pada suatu suasana yang tidak pernah mereka sangka-sangka akan terjadi dalam kehidupan mereka. Bagaimana kisah mereka selanjutnya?

chap-preview
Free preview
1. Awal Yang Kurang Menyenangkan
Ada beberapa persamaan karakter antara aku dan Papa. Namun aku menganggap bahwa itu bukan karena faktor genetika, melainkan hanya karena aku terbiasa dengan beberapa karakter Papa, merasa pas dengan karakternya itu lalu aku menirunya dan merealisasikan dalam kehidupan sehari-hariku. Sehingga nampak bahwa karakter Papa menurun padaku. Aku tidak sepenuhnya setuju dengan ungkapan buah apel jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Aku lebih setuju setiap orang tercipta dengan karakter yang unik dan berbeda satu sama lain. Aku percaya Tuhan itu maha kreatif maka dari itu mampu menciptakan manusia dengan beragam karakter. Hanya saja manusianya sendiri yang justru kurang mau menggali karakter asli dalam dirinya yang sudah diciptakan oleh Tuhan. Manusia lebih suka meniru karakter orang lain dan menjadi seperti orang lain ketimbang menjadi dirinya sendiri. Kedengarannya memang seperti sebuah konspirasi. Namun lupakan soal itu. Intinya aku dan Papa memang mirip, tapi nggak sama persis. Salah satunya Papa suka melihat bintang di langit dan sering mengajak Mama ke atas loteng rumah kami hanya untuk duduk santai menikmati teh melati hangat sambil menatap langit merah yang cerah dan bertabur bintang. Pillow talk versi beliau berdua seperti itu. Betapa aku sangat mengagumi salah satu sisi keromantisan Papa yang satu itu. Saat bagi pria lain hal seperti itu menjadi hal yang segan untuk diperlihatkan, sebaliknya Papa justru tak jarang terang-terangan menunjukkan sisi keromantisannya di muka keluarga dan khalayak. Berbanding terbalik dengan aku. Meski sama-sama suka melihat bintang aku memerlukan teropong khusus yang harganya bisa membeli satu unit motor Nmax kalau kata Nabila, hanya untuk bisa menikmati melihat bintang-bintang di langit luas. Satu hal lagi yang sangat membedakan aku dengan Papa. Aku sangat jauh dari kata romantis. Ah, sudahlah, Papa memang yang terbaik kalau soal itu. Nggak ada tandingannya. Sayangnya kebahagiaan sederhana antara Papa dan Mama sedikit terenggut semenjak Papa dinyatakan mengidap leukimia stadium tiga oleh dokter. Seperti disambar petir di siang bolong saat mendengar informasi paling menyedihkan sepanjang 19 tahun hidupku. Dokter bilang usia Papa nggak akan bertahan lama. Jadi kami sekeluarga diminta untuk selalu ada di dekat Papa. Dan kini satu tahun telah berlalu semenjak mendengar kabar itu. Kami semua melakukan apa pun yang diminta oleh Papa. Termasuk saat Papa tetap memaksaku untuk melanjutkan kuliah di Bandung. Padahal nggak masalah buatku berhenti kuliah lalu kuliah di jurusan dan universitas manapun asal di Jakarta. Kata Papa waktu itu, kalau aku sampai melakukan hal itu, berhenti kuliah di Bandung, itu sama saja dengan memperpendek usia Papa. Akhir pekan terakhir sebelum aku disibukkan dengan ujian semester, aku menyempatkan diri pulang ke Jakarta. Aku begitu bersemangat. Setelah menghabiskan waktu selama tiga minggu nggak pulang pulang ke rumah, akhirnya semalam aku memaksakan diri pulang ke Jakarta dengan menggunakan jasa transportasi travel. Koper yang kubawa dari Bandung masih rapi di dekat pintu kamar. Belum sempat aku bongkar, bahkan mungkin akan bertahan di sana sampai akhir sore nanti. Aku ingin tidur seharian di kamarku, maka dari itu aku menunda membereskan bawaanku dari Bandung. Namun sepertinya Papa nggak mau memberi aku jeda barang semenit saja untuk bersantai. Menyebalkan sebenarnya. Mau bagaimana lagi? Papa bilang, “Malam ini akan ada tamu penting datang ke rumah kita. Bantu Mama untuk siap-siap, ya, Dhis.” Permintaan Papa adalah perintah buatku. Aku begitu menghormati pria paruh baya itu nggak hanya sebagai sosok orang tua yang patut dihormati semata, tetapi lebih dari itu, Papa adalah idolaku. Perjalanan hidupnya sangat memberi inspirasi padaku. Papa nggak pernah membuatku kecewa seumur hidupku. Ketika Papa meminta sesuatu dariku, rasanya sulit aku menolaknya mengingat semua perjuangan dan pengorbanan yang telah beliau lakukan untuk kehidupanku. Aroma kopi bubuk kemasan yang baru saja diseduh menyeruak memenuhi ruang makan. Pasti kopi buatan Mama untuk Papa. Aroma hangat itu selalu mengingatkan aku akan Mama, pada kue-kue tradisional yang wajib ada di atas meja makan bersanding dengan kopi hangat. Pada sapaan hangatnya yang selalu bilang, “pagi gula jawa, Papa.” Padahal dalam tubuhku sama sekali nggak mengalir darah keturunan Jawa. Kata teman-temanku yang berasal dari wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya, namaku artinya gula. Entah kenapa orang tuaku memberiku nama itu sementara mereka sama sekali nggak berasal dari daerah Jawa manapun. Mama berasal dari Aceh, sementara Papa berasal Banjarmasin. “Pagi, Pap,” balasku setelah memberikan pelukan hangat padanya dari belakang, kemudian mencium pipi kirinya. “Hei! Kok, sudah bangun, Dhis?” seru Papa seperti terkejut melihatku sudah bangun di pukul tujuh pagi padahal hari ini adalah hari Sabtu. “Gendhis tidur lagi aja, deh, kalo gitu,” ucapku tak ketinggalan menampilkan raut wajah cemberut. Papa malah tertawa lalu mencubit gemas kedua pipiku. “Gitu aja sewot!” katanya lagi lalu memintaku duduk di kursi di samping kursinya. “Siapa, sih, Pap? Tamunya,” tanyaku setengah kesal dan sedikit merutuk tamu Papa yang telah mengurangi jatah tidurku pagi ini. “Nanti juga Gendhis lihat sendiri.” “Nggak usah sok misterius gitu, deh, Pap. Udah tau Gendhis nggak suka surprise-surprise-an. Apalagi yang bikin surprise Papa. Nggak seru banget.” “Loh, masa Papa nggak seru kalo bikin surprise?” “Tauk, ach, gelap!” Sejak Papa ngasih surprise soal penyakitnya waktu itu, membuat aku nggak suka cenderung trauma pada apa pun yang berhubungan dengan kejutan. Mama hadir di tengah-tengah kami. Wanita yang selalu tampil anggun itu membawa sepiring jajanan tradisional kesukaan Papa. Kemudian duduk di hadapan kami berdua. Kalau sudah ada aku di rumah, Papa memang milikku seorang. Yang lain minggir dulu. Termasuk Mama. “Ngobrolin apa, nih? Kayaknya seru banget?” tanya Mama. Dari ekspresinya aku yakin Mama pasti menyembunyikan sesuatu dariku. Pernah dengar istilah tahu tapi pura-pura tidak tahu? Atau kura-kura dalam perahu, alias pura-pura tidak tahu? Ya, seperti itu ekspresi wajah Mama sekarang ini. “Rencananya apa aja yang mau disiapin buat nanti malam, Mam?” Aku nggak memberi kesempatan pada Mama untuk bersikap pura-pura tidak tahu, mengingat sepertinya di sini hanya aku saja yang nggak tahu apa-apa pada tamu yang akan datang nanti malam. “Antar Mama ke supermarket. Belanja keperluan bahan-bahan masakan,” jawab Mama antusias. “Mama udah niat banget pengen masak sendiri buat nanti malam, Dhis.” Oh, okay. Ketahuan kan sekarang kalau Mama sebenarnya udah tau dan nggak kalah antusias dibanding Papa. “Gendhis nanti harus dandan yang cantik ya, meskipun dasarnya kamu udah cantik, sih. Jarang-jarang, loh, Mama muji gini.” Aku melipat tangan di depan dadaku dan memicingkan mata menatap Mama. “Yang mau kedatangan tamu bukan Gendhis, Mam. Kenapa malah nyuruh Gendhis dandan?” Saat aku meminta dukungan Papa, pria kesayanganku itu malah mengulum senyum jail. “Entar ada anak dari teman Papa juga bakal datang, Dhis.” “Terus hubungannya apa?” “Siapa tahu Gendhis cocok sama dan bisa menjalin hubungan lebih lanjut sama dia.” Papa menepuk puncak kepalaku, sebuah gestur yang dari dulu selalu membuatku tenang dan bahagia. “Anaknya cakep, kok. Kelihatannya juga sopan dan ramah. Papa sempat ketemu dia beberapa bulan yang lalu.” Jadi intinya nanti malam itu nggak hanya acara tamu-tamuan pada umumnya. Akan tetapi ada acara terselubung di dalamnya. Sayangnya, Pap. Meski cowok itu secakep apa pun, yang ada di pikiranku hanya Kim Taehyung seorang. ~ Papa tergolong orang yang jarang membawa teman atau rekan bisnisnya berkunjung ke rumah kalau untuk membicarakan soal pekerjaan. Bilapun ada teman atau rekan bisnisnya yang berkunjung rumah, pasti nggak akan ada sangkut pautnya sama urusan bisnis. Awalnya aku nggak terlalu ambil pusing soal tamu yang akan berkunjung ke rumah ini. Namun kata-kata Papa pagi tadi cukup mengganggu kenyamananku seharian ini. Ditambah antusiasme Mama yang nggak biasanya banget. Lalu malam ini, ketika pintu kamarku diketuk dan pembantu rumah tangga Mama menyampaikan padaku bahwa Papa sudah menungguku di ruang makan, kakiku rasanya berat untuk melangkah masuk. “Mbak Gendhis sudah ditunggu Bapak di bawah,” ucap Mpok Erna sekali lagi karena nggak ada sahutan dariku. “Iya, Mpok. Aku siap-siap dulu. Sepuluh menit lagi turun.” Aku membuka pintu kamarku, kemudian mendapati posisi Mpok Erna sedang membelakangi pintu kamar dan bersiap melangkah. Dengan kikuk aku bertanya, “Tamunya Papa udah datang, Mpok?” “Di ruang makan cuma ada Bapak dan Ibu. Tapi pintu ruang tamu disuruh buka penuh,” jelas Mpok Erna. Aku mengangguk paham lalu buru-buru masuk kamar dan segera bersiap. Mungkin kalau aku lebih lama berada di antara kedua orang tuaku, membuat perasaanku sedikit nyaman pada jamuan makan malam yang nggak biasanya ini. Lagipula cuma ada Papa dan Mama ini kan. Nggak ada orang lain. Begitu pikirku. Dasar introvert. Mau diapain juga tetep introvert. Sepertinya keputusanku salah. Begitu berada di ruang makan, efek nggak nyaman yang aku rasakan sejak tadi jauh lebih parah dari yang kubayangkan. Sayup-sayup terdengar suara orang sedang mengobrol dari arah ruang tamu. Yang sedang bicara saat ini bukan suara Papa ataupun Mama. Sepertinya tamunya sudah datang. “Dhis?” Aku menoleh, sedikit bersyukur karena ada yang bisa mengalihkan perhatianku untuk mencari tahu ke arah ruang tamu lewat dinding pembatas. Namun, detik berikutnya sepertinya konsentrasiku sedang ditarik paksa oleh semesta. Papa sedang berjalan dengan pria mungkin seumuran beliau. Keduanya berjalan ke arahku sambil tertawa entah membicarakan apa. Ekspresi Papa. Aku lupa sejak kapan kerlip bintang-bintang di langit berpindah ke sorot mata Papa. Namun, meski aku introvert tapi aku pandai menutupi perasaan kagetku dan bisa bersikap tenang. Maka dengan senyum yang kubuat seceria mungkin, aku menghampiri Papa dan temannya. “Hai, Pap!” Aku menyapa Papa kemudian menyalami pria yang sedang berdiri di samping Papa. Sama seperti Papa wajahnya tenang dan penuh kharisma. Wajarlah kalau mereka berdua tampak cocok. “Ini anak saya, Pak!’’ ucap Papa memperkenalkanku pada temannya tadi. “Gendhis,” ucapku. Menyebutkan namaku. “Donnie Atmaja. Nama kamu bukannya Sachika, ya?” Aku mengernyit, berusaha menyembunyikan rasa geli saat pria yang kini aku tahu namanya Donnie Atmaja itu menyebutkan nama tengahku. “Itu nama tengah saya, Om.” “Ya, ya, ya…” Om Donnie mengangguk paham, masih dengan senyum penuh wibawanya. “Yang penting orangnya sama.” “Tentu saja sama. Namanya itu Sachika Gendhis Wiyatakusuma,” jelas Papa dan Om Donnie kembali tertawa. “Tapi saya lebih suka memanggilnya dengan nama Gendhis dari kecil.” “Putranya tidak jadi ikut, Pak?” tanya Papa lagi. Oiya… Aku sampai lupa. Papa bilang temannya yang berkunjung ke rumah malam ini akan datang bersama putranya. Namun kelihatannya Om Donnie hanya datang seorang diri karena Papa sendiri sampai bertanya seperti itu. “Dia dari Bandung dengan ibunya. Sekarang sudah di sekitaran Jakarta. Kalau lancar mungkin sekitar sepuluh menit lagi sampai.” “Sudah tahu lokasi rumah ini?” “Saya sudah share lokasinya.” “Baguslah. Kita makan setelah istri dan putra Pak Donnie datang saja. Bagaimana, Pak?” “Tentu saja tidak masalah Pak Wiyata.” Om Donnie tersenyum lembut ke arahku. Kemudian berpamitan kembali ke ruang tamu untuk melanjutkan obrolannya dengan Papa. Sementara aku mencari keberadaan Mama yang aku temukan sedang berkutat di dapur, mengarahkan Mpok Erna dalam mengatur meja makan. “Assalamualaikum.” Samar-samar aku mendengar suara seorang laki-laki dari arah ruang makan. Aku bisa mendengar karena kebetulan aku baru saja meletakkan mangkuk besar berisi sup buah bikinan Mama sebagai dessert acara malam ini. Suaranya dibilang asing tapi seperti pernah mendengar suara dengan tipe suara laki-laki itu. Namun tiba-tiba pikiranku blank dan sulit mengingat pernah mendengar di mana suara itu. Tidak lama kemudian terdengar suara Papa mendekat ke arah ruang makan. Beliau tersenyum saat melihatku dan melambai memintaku datang kepadanya. Aku bergeming di tempatku berdiri saat melihat wajah yang familier sedang berdiri nggak jauh di belakang Papa. Aku ingat wajah dan namanya. Papa akhirnya berjalan mendekat ke arahku diikuti oleh Om Donnie beserta istrinya dan laki-laki nggak asing yang aku tebak adalah putranya Om Donnie. “Dhis, malah bengong?” tegur Mama setelah bersalaman dengan wanita kira-kira seumurannya, yang aku tebak adalah istrinya Om Donnie. “Ini istrinya Om Donnie. Jeng, ini anak saya. Maaf ya, kadang suka kayak gini. Sukmanya tiba-tiba diculik angin,” canda Mama sambil terkekeh geli. “Jeng Aini bisa saja. Jadi ini yang sering diceritakan. Duh, jauh lebih cantik dari yang ada dalam bayangan saya. Namanya siapa neng geulis?” tanya wanita yang belum sempat kutahu namanya itu. Oh, jadi ceritanya sudah sering ngomongin gue ini dua ibu-ibu cantik. Pantas saja Mama yang paling antusias mempersiapkan aku untuk tampil malam ini. Jadi ini tujuannya. Ketahuan sekarang siapa yang memiliki andil besar terciptanya pertemuan yang masih belum berani aku tebak maksud dan tujuan yang sebenarnya untuk apa. “Dhis? Udahan bengongnya. Ditanyain, loh.” Mama menegurku sekali lagi. Aku jadi merasa nggak enak karena kepergok melamun sampai dua kali seperti ini. “Gendhis, Tante,” jawabku sambil tersenyum kikuk. “Saya Mila. Saya istrinya Pak Donnie. Sudah kenalan sama suami saya?” “Sudah, Tante. Gendhis sudah ketemu dan kenalan sama Om Donnie.” Aku mengangguk canggung. Nggak lama kemudian Papa datang mendekat. “Kenalin, ini putri Om. Namanya Gendhis Sachika Wiyatakusuma,” ucap Papa pada laki-laki yang kini sedang berdiri nggak jauh dariku. Mungkin jarak kami saat ini nggak sampai satu meter. Kedua mataku sedikit terbuka lebar. Wait! Aku nggak salah lihat, kan? Pekikku dalam hati. Namun aku berusaha keras menyembunyikan keterkejutanku. Demi segala kesopanan dan menghormati para orang tua yang ada di sekelilingku, aku memutuskan mengulurkan tangan dengan tenang, dan memilih bersikap nggak pernah kenal pada laki-laki ini sebelumnya. “Gendhis,” ucapku sopan. “Bintang.” Laki-laki itu membalas dengan santai setelah menerima tanganku. Benar, kan. Ini Bintang. Bintang dosenku yang sering dibicarakan sama Nabila sahabatku? Iya, benar. Cowok ini Bintang yang katanya lebih cocok dijadikan suami ketimbang pacar menurut Nabila. Sementara bagiku dia hanya cowok super cuek, dingin dan aku sama sekali nggak suka tipe cowok seperti itu. Nggak peduli meski dia tinggi, putih, ganteng dan mapan. “Anak-anak, ngobrolnya dilanjut sambil makan, hayuk.” Mama tiba-tiba menyadarkanku. Bintang tersenyum lalu mengangguk sopan padaku. Senyum yang jarang aku lihat selama kenal Bintang sebagai dosen di kampusku. Senyum itu membuat perasaanku nggak nyaman. Apalagi mengingat cowok ini sengaja datang jauh-jauh dari Bandung bersama orang tuanya hanya untuk diperkenalkan padaku. Rasanya nggak mungkin banget kalau hanya untuk sekedar berkenalan biasa. Pasti ada maksud terselubung di balik pertemuan malam ini. Ya Tuhan... Aku sama sekali nggak berani nebak alur dari pertemuan yang sengaja diciptakan oleh orang tuaku ini. ~~~ ^vee^

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dokter Jiwaku Membuatku Menggila

read
15.6K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
7.0K
bc

CINTA ARJUNA

read
18.4K
bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
4.0K
bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
4.2K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
2.6K
bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
26.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook