GENDHIS
Sejak siang aku di kampus sama sekali nggak melihat keberadaan Bintang. Tadi juga sebelum berangkat ke kampus Bintang belum pulang ke rumah. Aku coba tanya mahasiswa yang semester bawahku katanya Bintang hari ini nggak masuk, cuma ngasih tugas lewat asisten dosen yang merupakan mahasiswanya sendiri. Dan sampai aku sudah kembali dari kampus Bintang masih juga belum pulang. Bahkan selama aku di kampus Bintang nggak kelihatan ada di rumah kata ART. Akhirnya meletakkan segala gengsi untuk sementara waktu aku memutuskan menghubungi Bintang lebih dulu.
Me: “Kamu nggak pulang sama sekali dari semalam?”
Chat yang aku kirim setengah jam lalu belum itu belum juga mendapatkan balasan dari Bintang. Aku lalu memutuskan untuk mandi dulu daripada menunggu balasan chat yang nggak kunjung datang.
Lima belas menit kemudian setelah dari kamar mandi hal pertama yang aku lakukan adalah melihat ponsel. Baru saja menekan tombol unlock chat dari Bintang masuk. Begini saja aku merasa lega. Padahal tadi sudah hampir uring-uringan.
Mas Dosen: “Aku lagi ada acara sama dosen pasca, Mungkin nggak pulang lagi malam ini.”
Aku benar-benar malas membalas chat itu. Setelah membacanya aku meletakkan ponsel begitu saja di atas meja belajar. Aku nggak akan buang-buang energiku hanya untuk memikirkan Bintang yang nggak jelas itu. Aku lalu memutuskan makan malam, mengerjakan tugas kuliah dari Bintang dan lanjut nonton serial terbaru di salah satu channel televisi berbayar hingga pukul sepuluh malam.
Di titik ini aku mulai merasa kesepian. Memang aku suka sendirian di dalam kamar kos dan jarang ikut nimbrung di ruang kumpul-kumpul yang disediakan untuk anak-anak kosan. Tapi setidaknya aku masih mendengar riuh teman-teman kosan yang sedang ngobrol ataupun bercanda di depan kamar mereka. Bahkan dari kamar kosku dulu aku masih bisa melihat aktivitas teman-teman-teman kos yang lain jika jendela kamar dan tirai kamar kosku dalam posisi dibuka. Aku bahkan sengaja melakukan itu agar tidak terlalu merasa kesepian. Sementara di rumah ini aku benar-benar sendirian dan merasa kesepian. Jika masih ada Bintang setidaknya aku nggak merasa sendirian, tapi malam ini aku mulai merasa nggak nyaman dengan kondisi ini. Padahal perjanjiannya kan nggak saling ikut campur urusan pribadi masing-masing ya, bukan jadi masing-masing banget kayak gini. Kalau kondisi ini dibiarkan lama-lama yang ada aku sama Bintang akan menjadi asing nantinya.
Keesokan paginya aku melakukan aku kuliah seperti biasanya. Aku ada jadwal kuliah pagi hari ini tapi nggak ada kelasnya Bintang. Aku kembali mengiriminya chat sambil menunggu dosen untuk kelas hari ini datang.
Me: “Kira-kira mas dosen malam ini pulang nggak?”
Nggak sampai lima menit kemudian chat yang baru saja aku kirim dibalas oleh Bintang. Tumbenan banget.
Mas Dosen: “Nggak pulang. Aku lagi deadline ngelarin laporan penelitian.”
Me: “Emang kamu nggak ada kelas dari kemarin? Kayaknya nggak kelihatan kamu sama sekali di kampus.”
Mas Dosen: “Aku cuti tujuh hari kerja untuk proyek penelitian sekaligus ngerjakan laporannya.”
Me: “Jadi selama itu artinya kamu juga nggak akan pulang?”
Mas Dosen: “Iya.”
Me: “Di mana emang lokasi penelitiannya? Kayak di luar pulau aja sampai nggak bisa pulang.”
Mas Dosen: “Iya, aku memang lagi ada di luar pulau.”
Me: “Serius? Kok kamu nggak bilang? Minimal pamitan kek.”
Mas Dosen: “Kamunya nggak nanya.”
Me: “Yang punya kepentingan kan kamu. Ya kamu dong harusnya yang bilang.”
Mas Dosen: “Ini udah bilang. Berhubung kamu sudah tahu jadi nggak perlu nanya-nanya lagi aku pulang atau nggak. Dan satu lagi, kamu nggak perlu repot-repot nanya-nanya aku pulang atau nggak apalagi nungguin aku pulang ke depannya. Karena aku akan pulang kalau memang aku mau pulang.”
Membaca chat terakhir yang dikirim oleh Bintang membuat perasaanku jadi nggak nyaman. Dia seolah sengaja sedang menghindariku. Atau dia sedang ada masalah? Tapi apa? Kenapa nggak cerita sama aku? Kalau dipikir-pikir lagi, memangnya aku siapa berharap dia akan menceritakan persoalan hidupnya padaku. Dianggap ada dalam hidupnya aja udah bagus. Atau jangan-jangan selama ini dia nggak pernah menganggapku ada. Jadi seperti ini ya rasanya sakit tapi tak berdarah itu. Tapi ya sudahlah. Untuk apa juga terlalu dipikirkan. Yang terpenting aku sudah berusaha untuk memperbaiki keadaan dan situasi hubungan kami yang sejak awal terjalin karena unsur keterpaksaan.
~~
BINTANG
Saya meletakkan ponsel begitu saja di atas meja. Sudah dua hari ini saya tinggal di apartemen dan tidak pulang ke rumah pemberian papanya Sachika. Saya tidak mungkin pulang ke rumah itu selain karena rumah itu bukan rumah tujuan saya pulang, ada Geya juga yang sedang membutuhkan saya saat ini.
Geya adalah teman baik saya saat kuliah dulu. Hubungan kami terjalin sejak awal perkuliahan. Awalnya saya menganggap dia tidak lebih dari sekadar teman sekelas. Namun lama kelamaan rasa baru itu hadir begitu saja saat kuliah kami sudah berada di tingkat akhir. Sayangnya sebelum saya sempat mengungkapkan perasaan itu Geya memutuskan melanjutkan kariernya di dunia modeling di Paris. Kini dia tiba-tiba kembali dan ingin membuat sekolah modeling internasional di Bandung. Saya berjanji akan membantu mewujudkan mimpinya itu. Oleh karena itu saya memutuskan mengambil cuti selama lima hari agar bisa menemani Geya mengurus semua hal yang berkaitan dengan pembuatan sekolah modeling internasional impiannya itu. Tak ingin pusing-pusing mencari alasan setiap kali hendak keluar rumah untuk menemani Geya pergi pada Sachika, jadi saya juga memutuskan untuk berbohong mengatakan sedang mengambil cuti selama tujuh hari kerja. Bila tujuh hari itu nanti kurang saya akan membuat alasan baru. Setidaknya saya tidak perlu memikirkan alasan setiap hari.
Lalu berhubung Geya belum mendapatkan tempat tinggal yang sesuai dengan keinginannya di Bandung, saya mengajaknya tinggal bersama di unit apartemen untuk sementara. Tak disangka-sangka dia menerima tawaran itu. Tentu saja saya sangat senang dengan kehadiran Geya di sekitar saya.
“Ada masalah apa?” tegur Geya yang baru saja bergabung bersama saya di sofa depan televisi sambil membawa dua gelas yang kalau dari aromanya adalah kopi.
“Nggak ada masalah apa-apa. Kenapa tanya gitu?”
“Kayak tiba-tiba muram aja kamu.”
“Nggak juga. Biasalah mahasiswa pemalas tapi maunya dapat nilai gede.”
“Kamu jangan terlalu keras sama mahasiswa. Kayak kamu nggak pernah jadi mahasiswa aja.”
“Justru itu, aku maunya mereka seperti aku dulu waktu masih jadi mahasiswa. Hasilnya terbukti kan? Semua ilmu yang aku tempuh nggak sampai empat tahun terserap dengan baik.”
“Ya, deh… Si paling cumlaude.”
Saya tertawa mendengar ledekan Geya. Bersama Geya rasanya hati saya berbunga-bunga dan ceria. Bawaannya pengen ketawa setiap waktu. Membuat saya melupakan sejenak hal-hal yang membuat saya suntuk beberapa menit lalu. Salah satunya pesan singkat dari Sachika. Sepertinya apa pun yang berkaitan dengan gadis itu selalu menjadi hal yang mampu mengusik emosi saya.
“Hari ini kamu sibuk nggak, Bintang?” tanya Geya.
“Nggak sibuk. Kenapa? Kamu mau minta diantar ke mana?”
“Mau lihat-lihat apartemen. Kemarin baru lihat satu itupun kurang cocok.”
“Kamu nggak mempertimbangkan tawaran aku soal apartemen ini?”
“Kita nggak mungkin tinggal seatap tanpa ikatan apa pun, Bintang.”
Seperti ada benda berat yang menghujam tepat di jantungku mendengar alasan Geya. Seolah tertampar oleh kenyataan bahwa saya sudah melupakan soal itu.
“Justru bagus kita tinggal seatap tanpa ikatan apa pun. Jadi kalau aku mau macem-macem mikir-mikir.”
“Heh, macem-macem yang gimana dulu ini maksudnya?” tanya Geya penuh selidik.
Saya refleks terbahak. “Maksudku kayak bangunin kamu cuma buat nyuruh bikin mie instan atau kopi. Salah satunya itu,” jawab saya.
“Oh, kirain.”
“Emangnya apa yang ada di pikiran kamu sekarang?”
“Nggak ada. Udah nggak usah dibahas lagi.”
Geya membuang muka dari tatapan intens saya. Saat ini dia sedang menyeruput kopi dari gelasnya dengan gerakan anggun. Aura wajahnya terlihat tenang dan menunjukkan bahwa dia tidak hanya cantik di wajah tetapi juga memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Geya selalu cantik di mata saya.
“Aku bisa tinggal di rumah orang tuaku kalau kamu mau,” ujar saya lagi berusaha meyakinkan Geya bahwa saya sama sekali tidak merasa keberatan dia tinggal di apartemen ini.
“Nggak usah. Aku mending nyari apartemen yang deket sama gedung yang kemaren kita lihat itu.”
“Kamu udah yakin sama gedung itu buat kantor agensi dan sekolah modeling yang mau kamu dirikan?”
“Iya, lokasinya strategis dan sesuai dengan yang aku butuhkan.”
“Ya, sudah kalau itu mau kamu. Nanti aku browsing dulu kompleks apartemen apa saja yang ada di sekitaran situ. Kalau ada yang oke aku tunjukin sama kamu. Kalau kamu cocok baru kita datangi kantor pemasarannya sekaligus apartment tour.”
“Thank you banget ya, Bintang. Kamu selalu bisa diandalkan pokoknya. Aku jadi nggak tahu gimana caranya membalas semua kebaikan kamu buat aku selama ini.”
Saya tersenyum sambil memandangi mata teduh Geya yang kini seolah sedang ikut tersenyum itu. “Urwell, Geya. Nggak usah dipikirin untuk membalas budi. Aku ngelakuin semua itu benar-benar ikhlas dan karena aku pengen membantu kamu. Malah aku senang bisa menjadi begitu berguna buat kamu.”
Geya tersenyum hingga ke matanya. Lalu beberapa saat kemudian dia memeluk saya. Saking nervousnya dipeluk Geya, bikin saya bingung mesti bereaksi apa setelah ini.
~~~
^vee^