8. Senyum Lebar Bintang

1293 Words
GENDHIS Abil menunjukkan layar ponselnya padaku. Kedua mataku refleks melotot saat melihat foto yang muncul di beranda utama base campus. Aku terkejut bukan karena perempuan itu aku. Justru aku terkejut karena perempuan yang sedang duduk di samping Bintang adalah orang lain yang nggak pernah aku kenal. Entah aku harus sedih atau lega sekarang. “Gendhiiis!” seru Abil sekali lagi. “Pak Bintang gue!” rengeknya. “Kenapa, Bil?” “Dia kok bisa bareng cewek, sih? Siapa ya cewek itu?” jawab Abil masih terus menatap ke arah layar ponselnya. “Dari komenannya, sih, cewek itu teman kuliah Pak Bintang. Alumni kampus ini juga. Tapi si cewek nggak ngambil karier jadi dosen kayak Pak Bintang. Sekarang ini dia berprofesi sebagai model profesional.” “Ya, terus?” “Tanya keadaan hati gue, kek, Dhis. Dari tadi lempeng amat lo. Nggak ada perhatian-perhatiannya sama gue,” omel Abil lalu menyimpang kembali ponselnya ke dalam tas. Aku terkekeh mendengar penuturan Abil. Sepertinya Abil beneran naksir Bintang. Dia nggak pernah sesedih itu ketika patah hati, bahkan mungkin nggak ada istilah patah hati dalam hidupnya. Yang ada justru patah tumbuh hilang berganti. Gimana nanti kalau seandainya dia tahu aku dan Bintang adalah sepasang suami istri ya? Ngomong-ngomong soal cewek yang sedang duduk bersama Bintang di Bougenville Cafe, sebuah kafe dekat kawasan kampus. Tempatnya nyaman dan santai. Aku tahu itu Bougenville Cafe karena pernah ke kafe itu beberapa kali dengan Abil dan teman seangkatanku yang lain. Cewek itu siapa ya? Cantik dan modis. Dari gestur tubuh Bintang dan si cewek yang terekam di foto menunjukkan kalau mereka cukup dekat. Aku melihat senyum lebar Bintang yang sama sekali nggak pernah dia perlihatkan padaku. Baik selama menjadi dosen hingga telah menikah denganku. Apa cewek itu adalah salah satu alasan Bintang menikah denganku nggak sepenuh hati ya, karena hatinya sudah menjadi milik orang lain. Sentuhan Abil di pundakku cukup membuatku terkejut. Aku menatap Abil bingung. Apa aku ngelamun ya? Ngelamunin Bintang? Nggak! Aku nggak boleh terlarut dalam perasaan nggak jelas kayak gini. Aku buru-buru nyengir supaya Abil nggak curiga padaku. “Apa, Bil?” responku. “Kok malah elo yang ngelamun, sih, Dhis? Yang lagi patah hati, kan, gue?” “Hah? Ngelamun? Emang gue ngelamunin siapa?” “Ya, mana gue tahu? Pikiran, pikiran lo kenapa tanyanya gue?” Aku tertawa hambar menanggapi lelucon Abil. “Siapa juga yang ngelamun? Gue itu lagi mikir barang-barang gue yang dari kosan ini nanti mau ditata gimana? Soalnya kamar gue nanti nggak seluas kamar kos ini,” kilahku. “Mau gue bantuin dekorasi ulang kamar lo? Sekalian gue sowan ke rumah baru lo.” “Sorry, Bil. Bukannya gue nggak mau ngajak lo. Tapi seperti yang udah gue jelasin di awal tadi gimana kondisi rumah gue itu.” “Iya, iya. Gue juga cuma nawarin doang. Kalo lo nggak mau, gue juga nggak maksa kok.” “Thank you ya, Bil.” Kemudian Abil membantuku mengeluarkan boks-boks berisi semua barang-barangku dari kosan yang akan dipindah ke rumah baru. Aku menyewa sebuah mobil box untuk mengangkut semua barang-barang itu. Awalnya Abil dan juga Astana menawarkan mobil yang serupa milik tantenya, tapi aku menolak dengan dalih sudah terlanjur menyewa punya kenalan Mama. Aku benar-benar nggak mau Abil atau teman-temanku yang lain sampai tahu tempat tinggal baruku terlebih bersama siapa aku tinggal di rumah itu. Sementara itu Bintang sama sekali nggak menawarkan bantuan padaku terkait kepindahanku hari ini. Jangankan memberi bantuan, menanyakan bagaimana prosesnya aja sama sekali nggak. Dia hanya mengirimiku sejumlah uang untuk biaya pindahan, tanpa basa basi menunjukkan sedikit kepeduliannya padaku. Nggak ngarep juga karena memang aku sudah mengultinya lebih dulu supaya nggak perlu ikut bantu-bantu aku saat pindahan. “Tapi ya jangan cuek-cuek gitulah, Mas.” Batinku meronta-ronta rasanya. Gini amat nikah terpaksa. Mungkin dia sekarang sedang sibuk dengan cewek di foto itu sampai-sampai lupa kalau punya istri yang biar bagaimanapun nggak sukanya tetap butuh perhatian dan kasih sayang. Hiks… Miris banget hidup gue. Aku sampai rumah sekitar pukul delapan malam. Seperti biasa Bintang belum ada di rumah. Untung aku sudah meminta pembantu rumah tangga dan bapak penjaga rumah untuk tetap tinggal di rumah sampai aku datang karena aku butuh tenaga mereka untuk membantuku memindahkan boks-boks berisi barang-barangku ke dalam kamar yang akan aku tempati nantinya. Setelah selesai semua aku meminta dua orang pekerja di rumahku itu pulang karena aku berencana untuk membongkar semua boks itu besok, kebetulan besok nggak ada jadwal kuliah pagi jadi aku bisa mengerjakan pagi hari sebelum berangkat kuliah. Aku butuh istirahat karena selain udah ngantuk badanku rasanya remuk redam. Tak peduli Bintang sedang ada di mana dan sedang apa malam ini karena hingga pukul sembilang belum juga menunjukkan kehadirannya di rumah, aku memutuskan segera berangkat tidur setelah menyelesaikan seluruh rangkaian rutinitas malamku sebelum tidur. Saat hendak menarik selimut menutupi sebagian tubuhku, ponsel yang ada di samping bantalku berbunyi. Aku mengintip pop up notifikasi. Ada kontak Bintang yang baru saja mengirimiku pesan. Mas Dosen: “Nggak usah nungguin. Aku nggak pulang malam ini. Kamu bisa tidur di ranjang.” Geer banget. Siapa juga yang nungguin. Memang aku sempat bertanya-tanya kenapa Bintang belum pulang dan nggak ngasih kabar sebelumnya. Selebihnya aku nggak peduli apa pun tentang dia. Me: “Ya.” Padahal aku sebenarnya penasaran alasan Bintang nggak pulang malam ini. Tapi aku masih gengsi jadi aku memutuskan hanya menjawab singkat. Beruntung aku sedang ngantuk berat dan capek jiwa raga jadi aku masih bisa tidur nyenyak meski pikiranku melayang membayangkan hal apa yang sedang dilakukan Bintang malam ini sehingga membuat cowok itu memutuskan untuk nggak pulang ke rumah. Pulang larut malam memang bukan hal yang pertama dilakukan Bintang sepanjang pernikahan kami, tapi kalau sampai nggak pulang baru kali ini dia melakukannya. “Apa ini ada hubungannya sama cewek yang di postingan base campus itu ya? Siapa sih dia?” gumamku sebelum akhirnya kesadaranku hilang dan tertidur lelap. Keesokannya aku sibuk menata ulang kamarku. Seperti yang aku katakan pada Abil soal kamarku di rumah baru memang nggak bohong. Ukurannya lebih kecil. Aku lebih memilih kamar ini sebagai kamarku karena aku kurang suka berada di kamar utama yang lebih besar dan harus sering berinteraksi dengan Bintang. Kamar utama digunakan oleh Bintang dan aku akan berada di kamar itu dalam kondisi tertentu saja. Misalnya kalau tiba-tiba Mama atau kedua orang tua Bintang datang berkunjung. Nggak mungkin kan mereka semua harus menyaksikan kehidupan pernikahan aneh anak-anaknya ini. Dari awal Bintang sepakat soal pembagian kamar itu. Dia sama sekali nggak keberatan apalagi merasa nggak enak karena menempati kamar yang lebih besar sementara rumah ini adalah rumah pemberian orang tuaku. Dia memang tidak menjadikan kamar utama sebagai zona biru atau zona pribadinya. Aku punya akses keluar masuk secara bebas di kamar utama. Di rumah ini cenderung lebih banyak zona pink yakni zona pribadiku. Zona biru hanya lemari pakaian milik Bintang. Kalau dipikir-pikir barang-barang milik Bintang pun juga tidak sebanyak punyaku, bahkan cenderung sangat sedikit. Membuatku bertanya-tanya apa dia tidak sepenuhnya memindahkan barang-barangnya ke rumah ini ya? Aku jadi berpikir dia hanya menjadikan rumah ini sebagai tempat singgah saja atau sekadar memenuhi sebagian kecil kewajibannya sebagai suami. Sebenarnya aku nggak terlalu memberatkan soal itu. Kami sudah sepakat soal rules yang akan kami jalani selama pernikahan ini sedang berlangsung. Dia juga tetap memberiku nafkah lahir. Semua kebutuhanku dipenuhi. Dia sudah memberiku sejumlah uang yang merupakan uang bulanan pertamanya setelah resmi menjadi suamiku. Dia berkata agar aku menggunakan uang itu untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga sekaligus kebutuhan pribadiku. Jumlahnya lumayan banyak. Kalau dihitung-hitung jumlahnya tiga kali lipat uang bulanan yang aku dapat dari Papa. Dan Bintang berkata kalau aku merasa kurang boleh meminta lagi dan kalaupun ada lebihnya boleh ditabung atau untuk membeli apa saja yang ingin aku beli. Namun entah kenapa bukan itu yang aku harapkan dari seorang Bintang setelah tiga minggu pernikahan kami. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD