Roger tidak habis pikir. Dia ingin menikah dengan Anna, tapi yang mewawancarainya empat orang sekaligus tanpa jeda.
Hari ini Anna sudah diperbolehkan untuk pulang karena itu Roger langsung saja mengatakan niat baiknya.
Sayang seribu sayang. Terkadang niat baik memang ada saja yang membuat susah. Perasaan Roger sudah bicara dengan Jordan secara empat mata. Namun sekarang, kakak pertama Anna ini menanyainya ini dan itu tanpa henti.
Roger sudah biasa dibuat bingung dan dengan penuh pertimbangan juga, dia begitu mudah untuk menemukan jalan keluar yang paling baik dari jalan keluar yang ada.
Namun masalah Roger itu satu. Dia tidak sabaran saat menghadapi apa yang membuatnya harus menjawab puluhan kali dengan jawaban yang sama. Mungkin Roger pikir kalau keluarga Anna sendiri bisa membiayai kehidupan Anna tanpa campur tangan hartanya sedikitpun. Tapi apapun itu, Anna yang dia nikahi. Jadi, Anna yang nantinya kelak berhak menerima nafkah darinya.
"Kenapa terus melirik jam tangan, Ger. Ada urusan mendesak yang lebih penting?" tanya Jordan kepada Roger terlihat tidak bersahabat sama sekali.
Kalau seperti ini, Jordan lebih mirip dengan kayak tingkat yang sedang mengospek mahasiswa baru di kampusnya. Di wajahnya yang datar, semakin ditambah kedatarannya. Dan tenang saja, Roger berteman dengan Jordan sejak kecil. Jadi, dia bisa dengan mudah mengatasi semua yang terjadi.
"Tidak. Melamar adikmu lebih penting dari apapun." Balas Roger terkesan santai, tapi tidak main-main. Matanya jelas menampakkan keseriusan.
Jordan tertawa pelan, lantas berdiri dan masuk ke ruangan yang Roger sendiri enggan menebaknya. Paling ke kamar bersama istrinya. Oh, come on. Ini weekend. Semua orang menghabiskan waktunya bersama keluarga di rumah atau quality time. Apalagi istri Jordan tengah hamil besar, pasti itu kakak Anna yang paling garang tidak mau jauh dari istrinya.
"Kita bertemu lagi, Sobat?"
Roger mengusap wajahnya agak gusar saat Khris menampilkan wajah mengejeknya. "Kita bukan anak kecil lagi, Khris. Kenapa kau suka sekali mengejekku?"
"Menjadi suami Anna sama saja menjadi seperti adikku, Ger. Kau tahu kan kami selalu memperlakukan Anna tidak pernah berubah sejak gadis itu lahir. Bahkan kalau mau diukur, tiap hari rasa sayang kami kepadanya kian besar. Anna satu-satunya putri di keluarga kami. Tidak perlu dipertanyakan lagi rasa sayang kami kepadanya."
"Kami selalu memperlakukannya lemah lembut, tidak pernah membentak apalagi sampai main fisik."
"Aku tahu." Kata Roger sedikit mengapresiasi karena memang itu benar kenyataannya.
"Sejak Anna lahir, Mama dan Papa sudah menegaskan kalau siapapun suami Anna nanti, dia harus tinggal di rumah ini. Rumah ini, Ger. Rumah yang sekarang lantainya sedang kau pijak."
"Anna sudah memberitahuku."
"Lalu keputusanmu?"
"Kenapa tidak? Kalian juga keluargaku. Lagi pula, di sini besar. Kedatangan satu orang baru tidak akan membuat rumah ini terasa sempit, kan?"
"Baiklah." Khris menopang dagunya sebentar sebelum akhirnya Khris berdiri dan meninggalkan Roger begitu saja.
Sekarang, Roger tinggal berbicara dengan tuan rumah yang sesungguhnya. Ibu dan ayahnya Anna.
"Nak?" Bu Irish memanggil Roger begitu lembut. Tidak perlu dipertanyakan lagi dimana Anna bisa mendapatkan sifat lemah lembut seperti itu.
"Iya, Bibi?"
"Apa Anna sudah mengatakan tentang keadaan tubuhnya padamu? Maksud Bibi, Anna-"
Roger langsung mengulurkan kedua tangannya, lantas menggenggam tangan Bu Irish yang terasa sangat dingin dan seketika itu juga membuat perempuan paruh baya ini terdiam.
"Anna sudah menceritakan semuanya, Bibi. Dan aku tidak masalah. Kami bisa berusaha, kan? Kalau pergi, aku akan mendatangkan dokter dari luar negeri."
"Dia tidak akan mau, Ger. Anna tidak pernah ingin keluar negeri." Bu Irish menatap Roger sedikit sendu.
"Memangnya kenapa, Bi? Ada banyak hal di luar sana. Salah satunya pengobatan juga."
"Anna sudah berusaha semampu yang dia bisa, hanya saja memang tidak bisa. Dokter bilang kalau kemungkinan Anna hamil sangat kecil. Sangat kecil sekali, Ger."
"Bibi?" Roger menatap mata yang hampir mirip dengan Anna ini dalam. "Sekecil apapun harapan yang Anna punya, kita masih punya sedikit kemungkinan itu. Aku akan berusaha, Bi. Aku tahu Anna sangat menyukai anak kecil. Dia pasti ingin mengandung dan melahirkan anaknya sendiri. Aku akan membantunya semampuku karena urusan ini, Tuhan yang bertanggungjawab."
Hening lantas melanda yang membuat Roger tiba-tiba mendapatkan satu kesimpulan lagi. "Apa karena ini Anna belum menikah, Bibi? Putrimu sungguh luar biasa, pasti banyak pria yang menginginkan Anna menjadi istrinya."
"Itu masalahnya." Jawab Bu Irish lesu. "Kita hidup di dunia yang mejemuk, Ger. Anna tak pernah menerima pria yang datang ke rumah. Dia juga tidak pernah mau berbicara dengan masalah yang ada pada tubuhnya. Dan sekarang, begitu Anna berbicara denganmu, aku tahu kalau mungkin memang Kak Roger-nya yang anak perempuan kami ini tunggu."
Roger tetap diam, seakan tahu kalau perkataan wanita paruh baya di depannya ini belum selesai.
"Mama dan papamu memang sudah tiada, Ger. Tapi kau punya perusahaan yang tentunya memerlukan ahli waris baru, sudah jelas itu harus keturunanmu sendiri. Kau tahu yang dikhawatirkan Anna, bukan? Dia selalu berpikir, kalau suatu saat dia menikah nanti, dirinya hanya akan menjadi beban karena berpikir tidak bisa memiliki keturunan. Dia sudah terpukul sejak dokter mengatakan hal itu."
"Kita bisa adopsi, Bibi. Lagi pula, harta tidak dibawa mati. Kalaupun seandainya jika aku menikah dengan Anna dan tidak memiliki seorang anak, perusahaan tetap dipegang oleh keluarga Gustavo. Jadi kenapa harus dikhawatirkan?"
"Dan kau sendiri?" Bibi kembali bertanya.
Roger menatap Bu Irish dalam, lantas mengatakan apa yang memang harus ia katakan. "Bibi, aku menyukai putrimu sejak kecil. Kami tumbuh bersama. Dan dengan datang ke sini, berniat melamar Anna, aku sudah memikirkannya matang-matang. Tidak apa jika Tuhan memang tidak memberikan kami anugerah untuk menjadi orang tua. Tapi, kami masih bisa berusaha kan, Bibi. Aku tahu Anna perempuan yang pekerja keras. Aku bahkan bisa melihat Anna yang akan berusaha untuk membuatku senang, termasuk bisa menjadi ibu untuk anak-anakku kelak. Aku bisa melihat harapan besar di matanya. Aku ingin mewujudkan itu bersama putrimu, Bibi. Aku... aku menyayanginya. Aku ingin menjaganya. Tolong izinkan aku menikah dengan satu-satunya putri di keluarga Abraham. Kalau ada khilaf aku menyakiti Anna di kemudian hari, hukum aku. Tolong bersumpah lah untuk menghukumku. Jangan terlalu baik pada pria sepertiku."
Barack Abraham yang sedari tadi diam saja mendengarkan semua yang Roger katakan dengan seksama. Dia juga seorang pria. Ketika dihadapkan permasalahan seperti ini, tanpa pikir panjang, Barack pasti mundur dengan perlahan. Namun, Roger tidak berpindah tempat sama sekali. Dia tetap kekeuh dan menginginkan Anna menjadi istrinya. Tapi yang namanya ayah, tetap saja masih ada kekhawatiran-kekhawatiran lainnya. Dan Barack harus meluruskan semuanya sekarang.