15. Today

1019 Words
Benar kata Roger, udara yang segar membuat pikiran Anna lebih tenang dari sebelumnya. Mendengarkan perkataan Anna tadi, sebenarnya perempuan ini sudah agak tenang. Hanya saja, ada kalanya kekhawatiran itu tetap tinggal di sanubari. Mata Anna seakan bersinar meski mataharinya tidak terlihat dimanapun. Udaranya memang segar dengan mentari yang tak kunjung terlihat. Sementara Roger yang mendorong kursi roda Anna dari ruangannya tetap semangat sampai di atap rumah sakit yang penuh dengan rerumputan dan anak kecil bersama teman sebayanya atau orang tuanya sudah menghuni tempat itu lebih dulu. Ada beberapa orang juga yang tengah diinfus seperti dirinya. Mereka terlihat bahagia sekali meski dalam keadaan kurang sehat seperti itu. Ya, harusnya memang seperti itu. Apapun yang diberikan oleh Tuhan harus disyukuri. Karena Tuhan tahu apa yang terbaik untuk kita, ciptaannya yang paling sempurna dari ciptaannya yang lain. "Kau tidak kedinginan kan, Na?" Roger agak menunduk, berbisik pelan di telinga Anna. "Tidak, Kak. Ini segar sekali udaranya." Roger tertawa pelan, kemudian sedikit menjauh dan menarik nafas sedalam-dalamnya. "Hm, kalau punya rumah dan udara sekitarnya seperti ini, rasanya pasti menyenangkan sekali. Di Singapure, aku jarang menemukan tempat seperti ini. Kebanyakan perumahan elite dan sedikit pepohonan. Kalaupun ada yang banyak pepohonannya, rumah masa kecilku lebih hijau." Anna mendongak melihat Roger yang tengah menatap anak-anak sehat yang tengah bermain. Entah kejar-kejaran, atau hanya bersend gurau dengan temannya yang tengah sakit. Namun Anna jadi teringat, anak-anak tidak diperbolehkan ke rumah sakit saat saking banyaknya virus yang dikhawatirkan bisa menular di daerah ini. "Kak, kenapa mereka diperbolehkan main di sini? Kalau sakit bagaimana?" tanya Anna seraya menunjuk menggunakan tangan kirinya." "Entah. Tapi sepertinya aku salah membawamu pergi. Ini khusus anak-anak. Lihatlah, pasiennya anak-anak semua." "Tidak. Aku senang di sini." Anna berkomentar senang. Di rumah mereka sudah lama sekali tidak ada anak kecilnya. Sekarang mereka sedang menunggu kelahiran cucu pertama, dari Jordan dan Kania. Anna tidak sabar menunggu keponakannya. "Mau di sini saja?" tanya Roger lagi, belum menjawab pernyataan Anna barusan. Belum juga sempat Anna membalas, ada anak perempuan cantik yang tengah mendekati perempuan itu malu-malu dengan senyum tertahan di bibirnya. "Hai?" Anna menyapa ramah. "Kemari, Dek." Anak itu lantas mendekat, menunjuk jangan kanan Anna dengan telunjuk kanannya. "What happened with your hand, Aunty?" Mata Anna langsung berbinar menatap Roger. "Wah, pintar sekali bahasa Inggrisnya. "I can speak in English and Indonesia." "Okay then, let's speak in English." Anna membalas. "What's your name, Sayang?" "My name is Mikhaela. Just call me Killa, Aunty. I am five years old." "Why are you playing here? Where is your parent?" Belum sempat menjawab, ada seorang ibu-ibu datang menghampiri mereka dan menepuk pelan punggung anak perempuan itu. "Sayang? Mama kira pergi ke mana." Katanya perempuan itu lega. Kemudian melihat ke arah Anna, seperti tidak enak hati, agaknya khawatir kalau putrinya sudah menganggu. "Apa putriku menggangumu?" tanyanya disertai sedikit ringisan? "Maaf, ya?" "Tidak." Anna langsung menggelengkan kepalanya pelan. "Putrimu cantik dan pintar sekali." "Aku tadi penasaran dengan tangannya, Mama. Aku tidak mengganggu Aunty." Gadis kecil itu menjelaskan. "Iya, dia penasaran dengan tanganku." Anna lantas melihat ke arah gadis kecil itu lagi. "Ini karena jatuh, Sayang. Kalau kau main, hati-hati, ya." "Oh, jatuh? Tidak sakit?" tanyanya lagi, masih penasaran. Sang ibu langsung menegurnya pelan. Dan sekian detik kemudian, terdengar suara batita menangis. "Aduh, maaf, ya? Putriku yang kecil menangis. Kami harus pergi." Pamit ibu itu seraya menggandeng anak perempuannya. Anna dan Roger menatap kepergian mereka dalam diam. Bahkan, keheningan di antara mereka terus saja terjadi sampai melihat gadis kecil tadi sedang mengajak adiknya berbicara agar tidak menangis lagi. "Mereka lucu sekali." Gumam Anna dengan senyuman tulus yang menghiasi bibirnya. "Suatu saat nanti, kau juga bisa memiliki anak seperti ibu tadi, Na." Anna tersenyum semakin lebar mendengar perkataan Roger. Ya, dia harus berpikiran positif pada dirinya sendiri. Dan tentu saja yang tidak boleh dilupakan, Anna harus berpikiran positif pada Tuhan. "Masih mau di sini?" Roger bertanya pelan setelah sedari tadi mereka dihiasi keheningan. "Aku masih mau di sini." Balas Anna tak kalah pelan. Pikirannya jadi lebih tentram saat dirinya berada di tempat terbuka seperti ini. Jadi, tolong biarkan Anna tenang barang sesaat. Hingga angin yang mendadak kencang membuat Roger langsung membawa Anna pergi dari sana, mendorong kursi rodanya lagi ke ruangannya. Sampai di kamar, Roger dengan sigap menggendong tubuh Anna ala bridal style dari kursi roda untuk naik ke ranjang, sementara Anna sendiri hanya bisa mengalungkan tangan kirinya di leher pria yang tengah mendekap tubuhnya ini. Rasanya canggung, seperti ada yang mengganjal di hati ke duanya. Apalagi saat Roger berhasil mendaratkan Anna di ranjang. Dia hampir kelepasan kalau saja Anna tidak memalingkan wajah dengan tangan kiri yang menahan d**a Roger. "Kak." Roger mundur, meraup wajahnya agak frustasi. "Maaf, Na. Aku tidak bermaksud melakukan hal itu lagi. "..." "Aku sudah berbicara dengan Jordan empat mata. Dia tidak setuju aku menikahimu." Mendengar itu, Anna yang tadinya agak kagok malah tertawa. "Kak Jordan memang Kakak yang terbaik." Katanya. "Terbaik apanya? Dia bahkan tidak mengizinkan pria mendekatimu." Roger protes tidak terima. "Ayolah, Na. Aku bisa jadi aki-aki lebih dulu kalau menunggu mereka setuju." Anna tertawa lebar sekali mendengar nada frustasi dari pria yang tengah menatapnya ini. Rasanya seru saja membuat dia kesal. Padahal, Anna hanya bercanda. Dan soal disetujui atau tidaknya, itu benar adanya. Kalau tiga orang yang tidak setuju, maka sudah. Jangan berharap terlalu banyak. Roger pasti ditolak. Mungkin Anna terlalu menganut apa yang diberikan orang tuanya. Hanya saja, itu semua memang untuk kebaikan. Jadi, Anna akan menerima semua hasilnya nanti. Kalau memang berjodoh dengan Roger, pasti dipersatukan. Kalau tidak, berarti ada pria lain yang akan berkahir dengan Anna kelak. "Ganti Kak Khris, Kak. Dia pasti lebih baik padamu." "Baik apanya?" Roger menatap Anna kesal sendiri. Definisi baik itu terlalu tinggi di mata Roger. Khris tidak bisa dikatakan baik kalau tidak menyetujui hubungannya dengan Anna. "Sebenarnya, kau sendiri ingin menikah denganku apa tidak?" Anna diam untuk waktu yang lama. Sampai akhirnya mau melihat ke arah Roger. "Kalau aku bilang aku tidak mau. Kakak mau apa?" "Aku akan pulang ke Singapure. Apa lagi?" katanya santai. Ya. Tujuan Roger kembali memang ingin bersama Anna. Kalau yang dituju tidak mengharapkan kepulangannya, untuk apa Roger tetap menetap? Dia akan pergi. Itu sudah pasti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD