Semua orang tidak menyangka kalau setelah kebahagian sang cucu pertama terlahir saja dan ibunya baik-baik saja setelah perdarahan yang dialami, kini mereka mendapat berita baru kalau menantu keduanya a. k. a. istrinya Khris yang bernama Shilla dinyatakan hamil dua bulan oleh dokter.
Mereka yang mendengar kembali mengucap syukur dengan wajah yang begitu sumringah. Kebahagiaan mereka sekarang tiada henti mengalir. Sungguh Maha Baik Tuhan sang pencipta alam semesta.
“Shil, jangan capek-capek ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa, panggil Mama aja sama Mbak di rumah. Pokoknya kamu nggak boleh turun dari tempat tidur. Tadi kata dokter apa, harus bed rest total, kan?”
“Tahu si Shilla, Ma. Perutnya sakit tidak bilang. Kalau tadi jatih bagaimana?” Khris mendumel, tapi tangannya taka da henti mengusap lengan Shilla sayang.
“Ya aku kira sakit perut biasa, Kak. Tidak tahu kalau sedang hamil. Terus kan minggu kemarin Kakak lihat sendiri waktu aku tespack tapi hasilnya negative.” Shilla mengatakannya bukan karena ingin membela diri, tapi karena memang ingin berbagi.
Seminggu lalu saat dirinya flek dan merasa kurang enak badan juga, sudah test kehamilan mandiri, ditemani oleh Khris juga. Kalau dirinya hamil, paling tidak hasil positifnya blur atau kurang jelas seperti yang pernah Shilla baca di internet. Namun yang Shilla dan Khris lihat saat itu, benar-beanr hasilnya negative. Apalagi saat itu Kania juga sudah terlihat tidak enak badan, Shilla tidak enak kalau sampai hanya diam di kamar.
Sekarang, Shilla sedikit menyesal karena tidak periksa waktu itu. Kalau dia tidak terlalu bekerja berat hari-hari ini, dirinya tidak akan sampai kecapaian dan sekarang diminta bedrest karena pagi tadi flek-nya ada darah segarnya. Untung sudah diberi pertolongan oleh dokter. Semoga janinnya bisa bertahan.
Sementara Irish yang mendengar merasa bersyukur sekali. Setidaknya kandungan Shilla masih bisa diselamatkan. Sekarang bagaimana mereka merawat kedua menantu yang sangat butuh bantuan ke depannya. Kania yang sekarang masa pemulihan pasca melahirkan, juga Shilla yang sekarang sedang hamil muda dan bisa dibilang rewel hamilnya.
Anna yang sedari tadi diam hanya mendengarkan, dirinya malah berpikir ke sana. Betapa bahagia dirinya nanti saat mengandung hingga melahirkan anaknya. Membayangkan itu, Anna jadi tidak sabar menikah dengan Roger, tapi tak dpungkiri kalau dia juga sedikit khawatir.
Sebenarnya wajar-wajar saja orang khawatir dan berpikir banyak hal menjelang hari pernikahannya. Anna hanya sedikit stress makanya seperti itu. Kalau dia bisa menguasai dirinya sendiri, semuanya pasti baik-baik saja, tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Kalau Roger sendiri setelah mengucap selamat langsung kepada Khris dan Shilla, dia pamit ingin melihat bayinya Jordan. Dan Anna tetap di tempat Shilla karena dia suka mengusap perut ibu hamil dan doa-doa yang dipanjatkan saat Anna melakukan itu.
“Na, tidak meyusul Roger? Dia sedang melihat baby-nya Jordan. Susul gih, biar Mama yang menjaga Shilla.”
Diusir secara halus seperti itu, Anna lantas pergi. Beruntung ruangan Shilla dan Kania di rawat berdekatan, jadi Anna tidak khawatir saat berjalan sendirian. Karena percaya atau tidak, Barack tetap membawa dua ajudan di setiap kamar untuk menjaga.
Di saat orang lain berpikir kalau Abraham terlalu berlebihan, mereka tidak tahu saja kalau nyawa keluarga mereka diincar oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Namun apapun yang dikatakan orang mereka tidak peduli. Yang terpenting, semua anggotanya baik-baik saja meski harus mengeluarkan biaya lebih untuk menyewa para orang terlatih itu.
Contoh mudahnya, uang bisa dicari. Kalau nyawa terlanjur melayang, kekuatan sedahsyat apapun tidak akan bisa membuat orang yang sudah berhenti bernafas, bernafas kembali kecuali keajaiaban yang diberikan oleh Tuhan. Dan keluarga mereka tidak bisa berdoa seperti itu sepanjang waktu. Karena mereka sadar kalau Anna yang memang paling diincar di sini, pasti akan lebih disakiti lagi. Semakin besar upaya mereka untuk menjaga Anna, semakin besar pula usaha orang-orang itu untuk meruntuhkan pertahan yang keluarga Abraham bangun.
Saat sampai di kamar Kania, Anna yang sudah membuka pintu dan hendak menutupnya berakhir terdiam saat melihat Roger yang begitu beraninya menggendong bayi merah Jordan, mengajaknya bicara seakan bayi mungil itu akan mengerti begitu saja.
Anna jelas bahagaia. Dia senang Roger menyukai anak kecil, dia juga senang harapan mereka berdua adalah sama. Namun Anna sendiri sadar kalau bisa jadi dirinya yang menjadi penghalang bagi Roger untuk bahagia. Kemungkinan Anna tidak memiliki anak adalah besar.
“Anna, kemari. Kenapa berdiri di sana?” Anna tersentak dan tersenyum lebar saat Kania menegurnya dan berakhir membuat Anna mendekat juga. Lebih tepatnya duduk di sisi Kania, menggeser posisi Jordan yang memang langsung ganti di sofa. Lelaki itu memang kakak yang baik dan suka sekali mengalah pada adiknya.
“Keadaannya bagaimana, Kak?”
“Sudah mendingan. Aku bahagia sekali.” Kata Kania penuh haru.
“Baby boy-nya sudah diberi nama?”
Bukannya menjawab, Kania yang masih terlihat pucat melirik ke arah Jordan yang juga sama meliriknya. Anna yang melihat itu mendapat sebuah kesimpulan. “Masih berdebat namanya siapa, ya?”
Tawa Roger mengudara lebih dulu saat Jordan, Kania, dan Anna masih tatap-tatapan. Menamai anak saja tadi mereka sudah berdebat saat Anna belum datang. Hingga bayi kecil itu menangis dan membuat dua orang tuanya ini berhenti memperdebatkan nama. “Kakak perempuanmu ingin anaknya diberi nama David, Na. Tapi kakakmu ingin menamainya Noah.”
“Astaga, belum diberi nama?” Anna berdiri, menghampiri Roger, mengusap bedongnya pelan karena Anna belum berani menyentuh bayi merah, karena dia tahu kalau kulitnya bayi it sensitive sekali. “Dia tampan sekali.” Puji Anna.
“Yang buat siapa dulu?” Jordan menyombongkan diri.
“Iyaaa, ayo Kak diberi nama.” Anna menatap Jordan yang sekarang bangkit lagi menghampiri Kania, tapi Kania memalingkan wajahnya, tidak mau melihat ke arah Jordan. Karena kalau dirinya luluh, anaknya nanti diberi nama Noah padahal Kania ingin diberi nama David.
“Mama papamu merajuk, Dek.” Anna tersenyum lebar sekali.
“Bagaimana kalau namanya Daniel?” Roger melihat ke bayi mungil yang bibirnya bergerak-gerak itu. “Artinya yang diberkahi. “Da dari David, N-nya dari Noah?”
Kania tersenyum sementara Jordan memberenggut. “Mana bisa aku hanya diberi nama N saja? Hai, Roger? Itu anakku lah. Kau buat saja sendiri dengan Anna.”
“Tapi aku suka.” Kania berpendapat. “Daniel Abraham. Bagus, artinya utusan Tuhan yang diberkahi.”
Melihat wajah Kania yang begitu berseri-seri, serta mengingat perjuangan Kania untuk melahirkan putranya, Jordan lantas tersenyum dan mencium bibir istrinya ini agak lama. “Iya, Daniel. Panggilannya, Niel. Bagaimana?”
Kania mengangguk antusias. “Niel. Boleh.”
Anna dan Roger yang melihat itu jadi turut bahagia. Tanpa pikir panjang, Anna langsung memaggil baby boy itu. “Daniel, Niel, anaknya Papa Jordan Mama Kania. Eh, matanya mau kelihatan.”
Tidak ada kebahagian yang lebih membahagian bagi kelurga besar Abraham di saat ini.
***
Karena Kania masih masa pemulihan, Shilla juga harus bedrest total, Anna hanya ditemani oleh mamanya saat melakukan apapun itu di waktu menjelang pernikahannya. Namun meskipun begitu, sudah hari-hari berlalu dan besok tidak terasa sudah hari H saja pernikahan mereka.
Anna sering sekali merasa dadanya berdebar-debar saat mengingat Roger. Seperti ada yang menggelitik dalam perutnya juga rasa merinding yang tidak bisa ia jabarkan. Sungguh, besok mereka akan akad. Anna jadi resah sendiri memikirkan hari esok, takut kalau tidak lancar atau bagaimana kalau ada orang jahat yang datang dan menghancurkan pernikahannya. Memikirkan itu Anna jelas semakin khawatir.
“Na, Sayang? Mikirin apa, Nak? Deg-degan, ya?”
Anna menunduk sesaat saat mamanya bertanya itu. Dia tidak sedang malu atau tersipu, tapi anna jelas khawatir. “Besok akan berjalan lancar kan, Ma?”
“Tentu saja, Na. Kenapa?” Irish langsung mengusap punggung Anna sayang. “Ada yang kamu khawatirkan? Coba cerita pada Mama, siapa tahu Mama bisa bantu.”
Senyuman tipis Anna tampilkan agar mamanya ini tidak khawatir. “Tidak apa-apa, Ma. Hanya sedikit khawatir.”
Irish paham. “Kamu tahu waktu mama dan papa kamu menikah dulu? Mama menangis saat di kamar hanya dengan papa kamu sampai papa kamu tidur di kamar lain.”
Kerutan di kening menjadi Bahasa tubuh yang penuh tanya. “Kenapa menangis, Ma?”
Mamanya ini malah tertawa mengingat masa mudanya dulu. “Mama itu anak rumahan, Na. Jarang diizinkan pergi seperti kamu. Waktu menikah, mama tidak tahu harus apa waktu malam pangantin. Jadi waktu liat papa kamu ganti baju, telanjang d**a, mama langsung nangis.”
Papa kamu tanya, kenapa? Terus mama jawab jujur, takut. Kamu tahu apa yang papa kamu lakuin, dia cuma peluk, ditenangin terus pamit tidur di kamar lain. Habis itu mama nangis sendirian di kamar, tidak tahu mau apa.
Sampai dini hari gara-gara tidak bisa tidur, ya sudah mama nyusul papa kamu di kamar sebelah. Ternyata dia masih terjaga, lagi sibuk sama iPad-nya. Ya sudah mama minta maaf dan izin tidur di sana karena tidak bisa tidur sendiri. Ya setelah langsung tidur, tidak melakukan apa-apa.”
Anna hanya tertawa mendengarkan lantas meringis sendiri saat bertanya. “Aku boleh tanya seputar malam pertama, Ma?”
“Tentu saja boleh, Sayang. Kalau malam itu belum siap seperti mama dulu, jujur saja sama Roger, dia pengertian, pasti mengerti. Jangan dipaksakan, nanti jatuhnya tidak enak. Malah, mama pernah baca artikel karena si perempuan memaksakan diri karena takut bilang dengan pasangannya kalau belum siap, jatuhnya malah trauma sampai butuh psikolog. Jadi, apapun yang kamu rasakan nanti, jujur saja dengan Roger, ya? Jangan dipendam sendiri. Kalau belum siap, bilang saja belum siap. Sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik.”
Sekarang Anna paham kenapa Mama dan Papanya adem ayem tentram hingga selama hidup, baik dirinya sendiri dan kedua kakaknya tidak pernah melihat kedua orang tuanya bertengkar. Cara mereka mendidik anak-anaknya memang bukan main.
“Terima kasih, Ma.”
“Eh, tebakan mama betul, ya?”
Anna hanya cengengesan.
“Anak mama sudah dewasa ternyata. Pokoknya jangan pikiran, mama tidak mau kalau kamu sampai stress, Na. Kalau sudah menikah nanti, bagi semuanya dengan Roger, itu salah satu cara untuk terbuka satu sama lain. Ya mama juga tahu kalau kamu pasti berpikir seperti kasihan semisal kamu takut kalau Roger ikut kepikiran. Tapi Na, kalau kamu diam saja sementara Roger merasa ada yang beres dan kamu saat ditanyai selalu bilang baik-baik saja, itu juga akan membuatnya lebih kepikiran. Jadi, kunci dalam pernikahan berjalan lancar itu memang ketebukaan satu sama lain. Ya meskipun tidak menutup kemungkinan yang sudah saling terbuka pun tidak memiliki masalah. Tapi kan setidaknya kita bisa meminimalisir hal seperti itu.”
Anna mengangguk paham. “Tapi besok di sini saja ya, Ma?”
Irish menggeleng. “Na, Mama dan Papa tahu kalau keputusan sepihak yang kamu ambil menyakiti ego Roger sebagai bakal suami kamu, tapi dia menerima dengan lapang d**a karena tahu juga kalau kondisi di luar sana tidak aman membiarkan kamu sendirian. Karena itu di malam pengantin nanti, kalian di hotel, tetap ada penjagaan ketat. Biar kalian lebih leluasa. Kamu tahu sendiri kan kalau di rumah, Niel sering rewel kalau tengah malam akhir-akhir ini.”
Baiklah Anna paham, dia juga tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Sudah untung dia mendapatkan calon suami seperti Roger yang mau menerima seluruh kelebihan dan kekurangannya.
“Ya sudah, istirahat, ini sudah malam.”
“Papa belum pulang, Ma?”
“Belum. Nanti kalau sudah pulang, dia pasti melihatmu dulu. Sudah sana, istirahat, besok kan harus bangun pagi. Cieee, calon pengantin.”
Anna merona dan langsung memeluk mamanya erat setelah itu pergi ke kamarnya sendiri-sendiri.
***
Di dalam kamar, Anna hanya diam seraya mendekap perutnya. Matanya meratapi langit-langit dalam diam. Dia sudah sepakat dengan Roger untuk tidak berhubungan beberapa hari lalu. Bukan maksud apa-apa, hanya ingin memberikan me time untuk diri sendiri.
Namun mendengar nasihat mamanya, sekarang Anna sadar kalau dirinya butuh berbicara dengan Roger, tidak saling memendam kegelisahan seperti ini.
Susah payah Anna mencoba tertidur. Sayangnya, begitu matanya hampir saja menemui duna mimpi, suara Niel menggelegar sampai lantai bawah. Anna jadi meringis, kasihan dengan Kania yang masih lemas. Untung Jordan ayah yang sangat siaga sekali.
Karena lima belis menit berlalu tangisan Niel masih saja tidak berhenti, Anna turun menuju kamar Jordan, mengetuk pintu kamarnya sampai mendapat balasan dari dalam.
“Kak, ini aku, boleh masuk?”
“Ya, masuk saja, Na.”
Karena pintunya memang tidak dikunci, Anna langsung masuk. Pertama masuk, Anna melihat Jordan yang tengah menggendong Niel sementara Kania sedang memejamkan matanya tapi Anna melihat ringisan di sana. Yang Anna hampiri pertama kali adalah Kania. Dia duduk di tepi ranjang dan mengamati Kania yang sedang memegangi perutnya.
“Kak, perutnya masih sakit?”
“Tadi kelamaan duduk, Na. Perutnya jadi sakit.” Jordan yang menjawab, masih setia meninabobokan putranya.
Anna berdiri, “boleh aku yang gendong, Kakak yang bantu Kak Kania, aku tidak tahu caranya.”
Jordan menurut. “Kamu sambil duduk saja, nanti kecapaian kalau berdiri.” Peringat kakaknya itu sebelum pergi menghampiri Kania dan membantu istrinya ini,
Sementara Anna juga duduk di sofa dan menggerak-gerakkan tubuh Niel pelan, kemudian memberikan s**u dengan posisi yang diajarkan agar s**u yang sudah masuk tidak dimuntahkan. Dengan begitu telaten Anna menengkan Niel yang terus saja menangis kencang.
Mungkin yang lain tidak mendengar karena sudah tertidur lelap. Biasanya Irish yang terbangun dan membantu menengkan si kecil. Tapi sekarang Anna yang kebetulan masih terjaga.
Untung saja setelah beberapa waktu, Niel tertidur lelap setelah meminum ASI yang sudah disiapkan oleh Kania karena perempuan itu rajin menyediakan s**u untuk putranya agar beratnya bertambah.
“Kak Kania sudah tidur?” Anna bertanya pelan saat Jordan menghampirinya di sofabed.
“Iya, terima kasih, Na. Tadi Kakak pusing sekali, tidak tahu cara membuatnya diam bagaimana sementara perutnya Kania sakit lagi. Tidak tega kalau diminta menenagkan.”
“Sudah tugasku, Kak. Lihat, dia lucu sekali, seperti foto kakak waktu kecil.”
“Ya memang anakku.” Jordan tertawa dengan tangan yang mengusap rambut Anna sayang. “Ya sudah kamu istirahat saja, besok kan akad, jangan sampai kecapaian.”
Anna mengangguk patuh, setelah memberikan baby Niel pada Jordan, Anna pamit pergi kembali ke kamarnya sendiri dan bergegas tertidur meski tidurnya tidak bisa nyenyak karena sedikit-sedikit terbangun dan tak kunjung pagi juga.
Sampai pukul empat pagi kalau tidak salah Anna sudah dibangunkan dan diminta Irish untuk bersiap-siap karena akadnya memang pagi. Kalau jam 10 siang boleh lah, tapi ini jam 7 akadnya. Makanya Anna sudah dibangunkan, kemungkinan waktunya mundur juga ada. Tapi jujur, Anna semkain deg-degan. Irish bahkan berulang kali mengingatkan Anna untuk rileks karena sang MUA mengatakan kalau Anna terlalu tegang saat dirias.
Kalau ada yang bertanya, Anna juga tidak tahu kenapa respon tubuhnya terlalu berlebihan seperti ini. Padahal, Anna sudah terbiasa dimake-up artis, dia juga terbiasa berdandan sendiri, tapi sekatang, di hari pernikhannya, gugupnya benar-benar tidak bisa ditoleransi. Entah apa yang ada di dalam benak Anna sekarang, hanya perempuan itu sendiri yang tahu sampai Barack pun turut menghampiri putrinya.
"Sayang? Kenapa?"
Barack mengusap rambut Anna lembut yang masih digelung seadanya. "Kalau menangis, tidak bisa dirias. Kenapa menangis, hm? Kan mau menikah? Nanti molor lhoh kalau pengantin cantiknya malah menangis."
"Aku takut, Pa." Anna merengek pelan.
"Kenapa takut? Bilang sama papa."
Anna menggeleng, "tidak tahu. Rasanya takut saja."
"Mau diundur acaranya?" Barack bertanya pelan.
"Tidak. Jangan. Kasian Kak Roger."
"Ya terus kenapa menangis terus, Sayang?" Barack mendekap Anna erat karena memang make up-nya sudah berantakan sementara di bawah semuanya sebentar lagi selesai tapi pengantin wanitanya belum apa-apa.
Lima belas menit Barack menemani Anna, membisikkan kata-kata menenangkan pada akan perempuan satu-satunya ini agar tidak terlalu memikirkn banyak hal. "Sayang dengar, jangan jadikan pernikahan itu beban. Kalian berdua kan saling menyayangi. Hal biasa kalau masih ada ketakutan-ketakutan, tapi jangan dibiarkan tumbuh berkembang, nanti bisa menciptakan keretakan antara hubungan kamu dengan Roger. Seperti yang Mama kamu bilang, dia cerita dengan Papa. Seperti itu, kalau memang pantas untuk dibagi, bagi dengan Roger. Papa tidak mau kalau kamu menyimpan sesuatu dari suami kamu sendiri sedangkan kamu juga tidak suka saat dihibohongi."
Anna mengangguk paham. "Sudah ya menangisnya, biar bisa dirias lagi. Biar lega nanti kalau setelah akad, ya? Kalau mau menangis sejadi-jadinya juga tidak apa-apa. Kan sudah ada Roger yang sudah sah jadi suami kamu."
Barack merapikan rambut Anna, lantas memberikan ciuman hangat di kening putrinya ini sebelum pamit pergi sehingga Anna bisa dirias kembali seperti yang seharusnya karena waktu terus berjalan.