30. Bad News

2653 Words
Anna pikir, setelah tadi ketiduran waktu membantu Roger tertidur, Anna kira dia bermimpi. Ternyata tidak. Begitu bangun, Roger susah tertidur lelap di sofabed sementara dirinya sudah tiduran di ranjang. Pasti Roger yang memindahkannya. Niat hati ingin membantu Roger tertidur, malah Anna sendiri yang jatuh tertidur. Posisi yang memang sudah meringkuk ke arah kanan membuat Anna begitu leluasa mengamati Roger dalam diam. Bibirnya tersenyum tipis, tapi tidak begitu kentara. Namun jika dilihat dari dekat, akan terlihat begitu ayunya. "Aku tahu aku tampan, Na. Jangan sampai senyam-senyum tidak jelas seperti itu. Nanti kau dibawa ke rumah sakit." Canda Roger yang memang sudah terbangun sedari tadi. Anna yang tertangkap basah langsung mengelak. "Aku tersenyum bukan karena Kakak tampan. Tapi karena memang ingin tersenyum." Roger memalingkan wajahnya jadi menatap langit-langit. Siku tangan kanannya digunakan sebagai bantalan sementara tangan kirinya dia letakkan di atas perut. "Aku juga ingin tersenyum." Balasnya tidak mau kalah. Melihat ke arah jam, ternyata sudah pukul dua siang. Anna tidak sadar kalau sudah tertidur selama itu. Buru-buru dia terbangun dan minum air karena tenggorokannya terasa kering. Sementara Roger masih mempertahankan posisi awalnya, tiduran diam di sofabed seperti orang paling bahagia. Seperti, dia orang paling kaya raya sedunia. Tidak perlu bekerja. Tiduran saja mendapatkan uang. "Kakak mau makan lagi? Ini sudah siang." Roger menegakkan tubuhnya. Anna juga sama bangkit duduk, menjulurkan kakinya di tepi ranjang. "Boleh, mau aku ambilkan? Aku nanti saja." Kata Roger. Tentu saja Anna langsung menggeleng. Dia menawari karena berpikir Roger lapar. Kalau Anna sendiri tidak lapar. Dia hanya butuh minum lebih banyak, tenggorokannya terasa kering sekali meski sudah minum saat bangun tadi. "Minum? Mau minum?" tanya Roger kemudian. Anna diam. Dia jadi curiga kalau Roger sebenarnya bisa membaca pikiran orang. Karena itu sedari beberapa waktu yang lalu, lelaki itu selalu berhasil menebak isi pikiran Anna. "Kakak betulan tidak bisa membaca pikiran orang, kan, Kak?" Senyum tipis yang terlihat manly menghiasi wajah Roger yang rupawan. Roger mungkin merasa ketampanannya berlipat-lipat ganda daripada tadi. Biasa lah, orang tampan, bebas. "Kenapa tersenyum seperti itu? Aku tidak benar, kan? Kakak tidak mungkin punya mata emas." Anna semakin menatap Anna curiga. Roger menggeleng pelan. "Tidak, Na. Kalau bisa, aku tidak perlu berjuang sampai sekeras ini untuk membangun keluarga Gustavo kembali." Mendengar perkataan Roger, mendadak Anna merasa tersindir dan sebangsanya. Padahal, dia tidak melakukan apa-apa, harusnya Anna tidak apa-apa. Tapi nyatanya, ada sebagian besar bahkan kecil yang tiba-tiba bergemuruh di hati Anna. "Aku ambilkan minum dulu, ya. Tunggu sebentar." Roger beranjak seperti yang sudah-sudah. Anna juga tidak menolak karena tenggorokannya memang tidak nyaman. Apalagi perkataan Roger barusan juga menambah perasaannya semakin tidak nyaman. Dan agak lama menunggu, Anna baru sadar kalau dia tidak turun dari kamar sedari pagi. Bahkan bisa terhitung sejak semalam. Papa dan mamanya pasti langsung heboh kalau Anna tidak turun di waktu-waktu yang sudah menjadi kebiasaan keluarga berkumpul bersama. Namun kali ini, Anna merasa ada yang ganjal. Mama dan papanya tidak mengabarinya sama sekali. Tanpa sadar, Anna berdiri dan melangkah menuju pintu luar. Sayangnya, sebelum keluar kamar, Roger sudah lebih dulu berada di depan kamar yang sedikit banyak membuat Anna terkejut. "Mau kemana, Na?" Roger menatap Anna ingin tahu. Lelaki itu sudah masuk ke dalam lebih jauh dan menaruh air yang sudah diambilnya ke nakas. "Ini airnya." Anna hanya diam sampai Roger menyerngit bingung dan menghampiri Anna yang terdiam di depan pintu. "Na, hai, kenapa?" "Apa papa dan mama di bawah, Kak? Aku tidak melihatnya dari tadi." "Mereka di bawah." Jawab Roger jujur. Karena memang kedua orang tua Anna berada di ruang keluarga yang berada di lantai dasar. Dia baru saja bertegur sapa. Sebenarnya dari pagi juga mereka sudah tahu kau Anna bersama Roger. Tapi ya dibiarkan saja. Mereka sudah sama-sama dewasa untuk tahu batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar satu sama lain. "Aku mau turun." "Minum dulu." Roger sampai berjalan cepat ke arah Anna untuk menahan tangan kiri perempuan itu. "Minum dulu baru turun. Tenggorokanmu tidak nyaman." Anna kembali ke dekat ranjang, duduk di tepinya dan minum dengan tenang. Begitu air dalam gelas itu tandas seluruhnya, Anna baru keluar di dampingi oleh Roger yang seakan cosplay jadi pengawal. Sampai detik ini, Anna masih tidak menyangka. Dia pikir mereka tidak akan bertemu selama tiga sampai empat bulan penuh. Namun kenyataannya, mereka berbincang banyak seharian ini, menghabiskan waktu bersama meski sempat ketiduran. Ah salah, bukannya Roger yang ketiduran, tapi justru Anna yang ketiduran baru digendong oleh Roger saat tidak sengaja terjaga tadi. Dia mana tega calon istrinya tidur sambil duduk. Sudah begitu menanggung beban kepala Roger pula. Pasti pegal sendiri tidur seperti itu. Apalagi tangan Anna yang belum pulih. Jujur saja, kepulangan Roger saat ini pun tak memberi harapan yang besar pada Anna. Dia masih biasa saja. Karena pada dasarnya Anna tahu. Bersama-sama versinya ya ujungnya tetap saja terpisahkan. Anna di Indonesia dan Roger di Singapura. Ya, hubungan jarak jauh yang tidak terlalu jauh. Daripada Roger ditempatkan di US? Yang perjalanannya dari Jakarta sendiri membutuhkan waktu sehari? Yang tidak kuat jauh-jauhan pasti angkat tangan. Apalagi yang tidak memiliki kepercayaan kuat terhadap pasangannya sendiri, sudah, tewas. Hubungannya tidak akan berjalan panjang. Tidak membalas chat, tidak mengangkat telfon, pasti bisa memicu pertengkaran hebat. Ribetnya itu kalau hubungan jarak jauh ya seperti ini. Bahkan yang banyak terjadi, belum pergi saja, baru pamitan kalau nantinya akan berhubungan jarak jauh karena pekerjaan, terkadang langsung memutuskan hubungan secara sepihak. Sebenarnya kalau kasus seperti ini tergantung siapa yang menjalani. Kalau memang tidak sanggup, mungkin memutuskan di awal memang menjadi pilihan terbaik. Tapi kalau tetap dipaksakan dan di pertengahan jalan terjadi serong-menyerong atau tikung menikung, memang ada baiknya disudahi saja sejak awal daripada jatuhnya makin berantakan dan hanya menyakiti satu sama lain. Tapi dalam hubungan Roger dan Anna, mereka bahkan sudah bertahan bertahun-tahun lamanya, tapi masih mengingat dan menginginkan satu sama lain. Perasaan mereka tidak terkikis waktu. Mungkin pernah sekali dua kali melupakan satu sama lain. Tapi di lain kesempatan, mereka habiskan untuk mengenang satu sama lain. Jadi mereka bisa membayar satu sama lain akan kerenggangan sekaligus kerinduan di antara keduanya. Karena itu mereka memutuskan ingin pergi ke luar setelah sedari tadi Anna menceritakan semuanya pada Roger tentang teror dan meneror lebih dalam, lebih spesifik biar Roger merasa dianggap. Anna merasa tidak enak sendiri saat Roger terus saja mengatakan kalau dia tidak percaya pada Roger. Padahal, Anna yang tidak percaya pada dirinya sendiri. Entah bagaimana menyatukan dua pemikiran yang seringnya berbeda pendapat ini. Namun, memang itulah seninya berhubungan. Seni bagaimana bukan menyatukan tapi saling mengerti dan menghargai satu sama lain tentang pemikiran, prinsip dan banyak lainnya. Di ruang keluarga yang seharusnya tidak seramai ini di hari kerja, Anna menyerngit bingung. Tapi detik setelahnya, tubuhnya menegang. Perempuan itu bahkan hampir terjatuh dari tangga kalau Roger tidak menahan tangan kirinya kuat. "Hai, Na? Kenapa?" tanya Roger khawatir. "Wajahmu kenapa pucat sekali?" "Hah?" Anna menoleh ke arah Roger sekilas, kemudian melihat ke bawah lagi. Melihat ke arah seluruh keluarganya yang juga tengah menatapnya dalam diam. "Kak, kenapa ramai sekali? Ada apa?" tanyanya agak khawatir. "Kak Kania kenapa tidak ikut? Dia baik-baik saja, kan?" Roger hanya memandang Anna tanpa ekspresi,lantas kembali menuntun Anna untuk menuruni anak tangga. "Kapan cerobohmu itu hilang, Na. Kalau tadi tidak kupengang, kau pasti sudah meluncur bebas di bawah. Hati-hati." Kata Roger seraya berjalan. Anna mendengarkan. Perempuan itu mendengarkan dengan seksama. Hanya saja, dia masih belum bisa menebak apa yang akan terjadi atau setidaknya apa yang sebenarnya telah terjadi. Bertahun-tahun hidup bersama di keluarganya yang bisa dibilang memang sangat sibuk di hari kerja, Anna bingung melihat semua orang berkumpul seperti ini. Terakhir kumpul di hari kerja ya pasti karena ada masalah yang sangat-sangat serius. Saat Anna kecelakaan tentu saja. Penjagaan bahkan diperketat waktu itu dan sekarang diperketat lagi. Mungkin itu yang membuat orang-orang berkumpul sekarang. Barack Abraham kemungkinan sudah mengetahui kejadian semalam. Tanpa sadar, Anna berhenti. Dia tidak berani melangkah lebih jauh. Tidak tahu kenapa, belum memulai, Anna sudah takut maju duluan. "Ayo, Na." Roger menoleh, menarik pelan tangan Anna. "Tidak apa-apa. Kakak iparmu baik-baik saja." Melihat nada Roger yang begitu meyakinkan, Anna lantas percaya. Dia turun dari tangga hati-hati sekali. Persis sekali anak kecil yang takut kalau jatuh di ketinggian. Sementara Roger dengan sabar menunggui. Dengan sabar memegangi tangan kirinya yang dingin bukan main. Mungkin Roger tahu kalau Anna ketakutan. Hanya saja, dia tidak pergi kemana-mana. Dia tetap menemani kemanapun perempuan itu melangkah pergi. Roger tidak pergi kemana-mana. Anna harus tahu itu. Roger tidak pergi ke mana-mana. Lelaki itu selalu ada untuknya apapun yang terjadi. Begitu sampai di ruang keluarga. Anna merasa udara di sekitarnya menipis. Matanya terpaku pada ibunya yang menunduk dengan sesenggukan yang terlihat di tahan-tahan. "Maaa? Mama kenapa menangis?" genggaman tangan Anna pada Roger terlepas begitu saja. Perempuan itu menghampiri ibunya, duduk di sampingnya. "Ma? Kenapa?" tanyanya masih pelan. Tak kunjung mendapatkan respon, Anna melihat ke arah papanya. Dia menarik tangan Barack Abraham, merengkuhnya erat bukan main. "Pa, Mama kenapa menangis? Ada apa?" tanyanya kebingungan. Karena belum mendapatkan jawaban juga, Anna melihat ke arah Jordan dan Khris secara bergantian. Kedua kakaknya ini hanya diam, tapi Anna melihat duka di dalam matanya. "Kak Jordan, Kak Khris, ada apa? Kenapa semua orang diam?" tanyanya kalut. "Dimana Kak Kania dan Kak Shilla? Kenapa tidak ikut bergabung." "..." Anna menoleh ke arah mamanya sekali lagi. "Mama kenapa? Katakan sesuatu. Jangan diam saja. Kenapa menangis?" Roger yang ada di sana pun hanya diam saja. Dia merasa belum punya hak untuk ikut campur urusan keluarga di depannya ini. Tugasnya hanya satu sedari menginjakkan kakinya di Jakarta. Roger diminta untuk membawa Anna keluar kamar. Sudah itu saja. Makanya dia diam, berprilaku bak orang bodoh yang tidak tahu apa-apa meskipun kenyataannya dia tahu segalanya. Baru saja ingin pergi dan mencari tahu sendiri, Anna yang sudah bangkit, tangannya ditahan oleh mamanya. Kemudian dia melihat ke arah mamanya, kembali bertanya pelan seperti biasa. Anna yang lemah lembut. "Ma?" "Kita terbang ke Singapura, ya, Sayang?" Irish bergumam pelan seraya mengusap puncak kepala Anna sayang. Kerutan dalam tercetak jelas di kening Anna. Dia menatap mamanya tanpa berkedip. "Oma? Oma sakit?" tebaknya pertama kali. Karena pihak keluarga Anna yang berada di Singapura tinggal oma dari mamanya saja. Opanya sudah meninggal sejak dia menginjak sekolah menengah pertama. Irish menggeleng pelan. Tangan Irish yang awalnya menahan Anna, kini jadi Anna yang menahannya erat. "Ada apa, Ma?" "..." "Mama please, tolong jangan diam saja." Anggukan pelan Anna terima sebagai bentuk kalau mamanya akan bercerita. Namun sayangnya, bukan ini yang ingin Anna dengar. "Oma...oma meninggal kemarin malam, Sayang." Bak disambar petir di siang bolong, Anna terdiam tanpa kata. Otaknya kosong srjruima. Bahkan, untuk menangis pun Anna tidak bisa. Perempuan itu hanya terdiam bak orang kena gendam. Tangannya yang tadi menggenggam erat tangan mamanya jadi terlepas, gemetar. Dia menggenggam tangannya sendiri. Bukan hanya hawa dingin yang menguar. Namun titik-titik keringat terlihat di sana. Anna bahkan bisa merasakan keringat yang mengalir dari leher dan membasahi punggungnya. "Oma." Lirihnya pelan setelah beberapa saat tidak mampu mengatakan apa-apa. "Anna?" Irish mengusap bahu Anna pelan. "Sayang? Tidak apa-apa. Yang ikhlas ya, Nak. Kita antar Oma sama-sama." Tak ada balasan yang keluar dari bibir Anna. Perempuan itu hanya terdiam seperti tadi. Dia tidak bisa melakukan hal lebih dari ini. Rasanya ada yang hilang, rumpang lagi setelah Anna sempat punya harapan kalau kebahagiaannya akan sempurna bukan main. Dia akan bahagia sejenak seperti yang dia harapkan. Anna hanya ingin sebentar saja. Tidak lebih. Kenapa Tuhan begitu kejam hingga begitu sulit mengabulkan doanya. Anna hanya ingin bahagia, sebentar. Sungguh, tidak apa-apa. Kenapa tidak ada yang mengerti. Anna harus bagaimana sekarang? Dia tidak punya harapan lagi kalau satu persatu kebahagiaannya diambil seperti ini. "Aku punya janji yang belum aku tepati pada Oma, Ma." Anna bergumam lirih dengan tatapan linglung ke arah mamanya. "Oma bilang dia ingin melihatku menggunakan gaun pengantin. Dia ingin mengantarku sendiri ke calon suamiku, Ma. Kenapa Oma tidak mau menunggu sebentar lagi?" "Anna?" Irish menepuk pelan pipi putrinya. "Jangan seperti ini." Pintanya lirih. Dalam keadaan ini, Anna sungguh tidak bisa memikirkan apapun. Dia berdiri, seperti mati rasa. Kemudian berbalik ke arah papanya, menatapnya mata pria paruh baya itu dalam. "Jangan bilang Oma tidak ada gara-gara aku." "No, Sayang." Barack menggeleng lirih, tak kuasa. " "Lihat aku, Pa." Anna menggeleng, berujar lirih. Tidak terima saat Barack mengatakan tidak di saat Anna sendiri sudah siap menyalahkan dirinya sendiri. Sedari kecil, Anna diajarkan untuk self love. Tapi semakin dewasa, Anna tidak tahu harus mencintai dirinya sendiri bagaimana. Semakin dewasa, justru dia punya banyak alasan membenci dirinya sendiri meksipun banyak orang yang menyayanginya. Ada banyak hal yang membuat Anna begitu membenci dirinya sendiri. Padahal, jelas itu akan mengganggu kesehatan mentalnya. Kalau mental kena, fisiknya juga kena, semakin panjang masalahnya. Karena sebagian banyak penyakit, datangnya dari pikiran. "Aku mau ketemu Oma." Anna berdiri. Menarik tangan Barack Abraham menggunakan tangan kirinya. "Ayo Pa kita pergi." Ajaknya. Barack hanya menurut saat Anna menarik tangannya. Dia meminta semua orang untuk diam saja saat Anna justru menariknya ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua. Sementara semua orang masih menunggu di bawah dan hanya bisa memerhatikan dalam diam, Barack sempat menoleh dan memberikan isyarat pada Roger agar ikut naik bersamanya. Sebagai calon suami yang baik, Roger pamit pada semua orang dan menyusul di belakang Anna dan papanya. "Na? Sayang?" Anna melepaskan tangan papanya, lantas membuka lemari, mengeluarkan beberapa pakaiannya yang digantung rapi ke ranjang. "Sayang, semuanya sudah siap, kita tinggal pergi ke bandara." "Oma suka melihatku memakai dress, Pa. Dress ku di sini semua." Barack menggeleng, menahan tangan kiri Anna pelan, kemudian meminta Anna duduk di tepi ranjang, begitupun dengan Barack sendiri. "Kita mau mengantar Oma ke tempat peristirahatan terakhir, Sayang. Oma tidak akan bisa melihatmu memakai dress." "..." "Roger, kemari." Barack Abraham menatap Roger yang hanya berdiri di ambang pintu. Mana berani dia masuk tanpa izin calon papa mertua. Selangkah demi selangkah, akhirnya Roger sampai juga di depan Barack. Kemudian, dia melirik sedikit ke arah Anna yang diam saja. "Tolong jaga Anna, Paman mau turun, bersiap-siap. Nanti tolong bawa Anna turun juga." Tepukan pelan di bahu Roger menjadi pertanda bahwa Barack segera pergi dari sana. Sebagai kepala keluarga, Barack jelas tahu kalau tugasnya tidak hanya memikirkan Anna. Namun, dia juga punya istri dan anak-anak lain. Meksipun Anna kesayangannya, bukan berarti Barack lupa dengan kewajibannya pada yang lain. Sepeninggalan Barack, Roger menghela nafas pelan. Dia mendekat, lantas berlutut di depan Anna yang diam saja. "Anna?" "..." "Anna?" "..." "Sayang?" Roger mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Anna yang mengepal sedari tadi. "Lepas, ya." Perlahan-lahan, Roger melepaskan genggaman tangan kiri Anna yang terlalu erat. Bayangkan saja, jika kuku Anna panjang-panjang, jemarinya bisa saja terluka. Untungnya, Anna tidak pernah memanjangkan kuku tangannya. Selain bahaya, juga bisa menjadi sumber bakteri karena tangan menjadi yang utama untuk menyentuh ataupun memegang. Jadi sudah pasti banyak bakteri. Karena itu kalau mau makan harus mencuci tangan terlebih dahulu. Anna yang duduk di tepi ranjang hanya menatap Roger nanar dalam diam. Dia tidak menangis, sungguh. Anna bahkan masih tidak paham dengan yang terjadi. Omanya meninggal? Itu seperti tidak mungkin. Dua hari lalu, mereka baru saja bertemu meski secara virtual. Kalau Anna sehat, dia terkadang diizinkan ke Singapura untuk menjenguk sang Oma, sudah pasti dengan penjagaan yang ketat bukan main. "Oma pasti bangga denganmu, Na." "..." "Oma selalu bilang, cucu perempuannya satu-satunya yang paling cantik. Dan kamu tahu siapa? Itu kamu." Karena berhasil melepaskan tangan Anna, Roger ganti menggenggamnya erat agar tidak kembali digenggam seperti tadi. "Kalian bertemu?" "Hm," Roger bergumam pelan. "Apa kau pikir aku bisa mendapat restu kalau Oma tidak setuju?" "..." "Aku sudah meminta izin pada Oma, karena itu semua keluarga menerimaku." Roger menjelaskan pelan dengan tatapan dalam berupaya menenangkan meksipun berakhir sia-sia. "..." "Kita turun, ya? Kita berangkat, menemani Oma, ya? Oma pasti senang kalau kau datang ." Anna menggeleng lirih, dia masih belum menangis sampai sekarang. Tapi tangannya yang balik menggenggam tangan Roger membuat lelaki itu sadar kesedihan di dalamnya. "Aku mau ketemu Oma. Aku mau ketemu Oma." "Iya. Kita bertemu dengan Oma." Roger langsung menarik Anna dalam dekapannya, pelan. Agar perempuan yang sebentar lagi menjadi istrinya ini tidak merasa sendirian. Anna harus tahu itu. Dia tidak sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD