Beberapa minggu ini, Anna dan Roger sudah sering menghabiskan waktu bersama dikarenakan Roger yang memang dilarang untuk bekerja terlebih dahulu. Kalau orang kaya seperti mereka mah bebas mau keluar masuk rumha sakit untuk check up kesehatan.
Karena sudah dua minggu berlalu juga, bengkak di mata Roger sudah kempes dan saat ditanyai Roger sudah tidak sering pusing lagi, Anna meminta agar Roger pergi ke rumah sakit dulu sebelum besoknya ke kantor.
“Harus gitu kita ke rumah sakit lagi, Na?”
Roger yang tengah duduk di tepi ranjang dengan kaki menapak pada lantai bertanya pelan saat Anna sibuk memoles pelembab pada bibirnya. Roger sendiri persis sekali dengan anak kecil yang merajuk tidak mau dibawa ke rumah sakit. PAdahal nanti juga tidak disuntik, sepertinya. Kecuali kalau mau vitamin Roger mau suplemen atau yang langsung disuntikkan saja.
“Untuk memastikan, Kak. Daripada kepala Kakak nanti pusing-pusing lagi. Pemeriksaan itu harus totalitas, tidak boleh setengah-setengah. Kalau kata Papa, uang bisa dicari, tapi kalau kesehatan itu tidak bisa dibeli.”
“Terus, hubungannya apa kau mengatakan itu? Memangnya aku mau membeli kesehatan? Kan memang tidak bisa. Kau suka sekali mengada-ngada.”
“Bukan,” Anna berbalik, melihat ke arah Roger sebentar dan berjalan mendekat seraya membawa sisir. “Bahasa kiasan, Kak.”
Roger hanya diam seperti anak yang penurut saat Anna menyisisir rambutnya. “Kakak mau pakai minyak rambut? Atau mau disisir sendiri?”
“Kau harusnya bertanya sebelum kau menyisir ramburku, Na?” Roger malah tertawa, “Kalau seperti ini, bagaimana perasaannmu jika tatanan rambutnya aku ganti dari awal?”
“Hm? Ya tidak apa-apa, terserah Kakak. Kan rambut Kakak sendiri. Mau pakai apa, aku ambilkan.”
Anna sudah berlalu beberapa langkah, tapi dengan sigap Roger menarik tangannya hingga Anna berakhir menghadap Roger kembali. Namun kali ini berbeda. Roger manarik pinggang Anna mendekat, kemudian lelaki itu mendaratkan kepalanya di perut Anna. Menciumnya dalam yang berhasil membuat Anna menahan nafas karena sentuhan Roger itu. “Sekalian periksa, ya? Kan belum pernah.” Katanya pelan.
Kalau ditanya bahagai apa tidak saat Roger melakukan ini, Anna jelas bahagia. Hanya saja ada ketakutan dalam dirinya. Takut membuat Roger kecewa karena memang dasarnya, semua masalah ada pada Anna. Dan kalau boleh jujur, terkadang Anna insecure dengan orang-orang yang menikah dan langsung dikaruniai seorang anak.
Namun sebagai bentuk ketegarannya, Anna hanya tersenyum dan mengusap kepala Roger yang tidak mau jauh-jauh dari perutnya. “Iya, Kak. Nanti periksa juga. Kakak badannya anget, pusing lagi, Kak?”
Anna sudah mengangkat dagu Roger agar dia bisa melihat wajah sumianya ini, tapi Roger tidak mau mengangkat wajahnya, malah menggeleng dan memilih menyembunyikan wajahnya di perut Anna lagi. Memeluk pinggangnya.
Ada jeda panjang di antara keduanya dan Anna hanya diam membisu dengan tangan kanan yang taka da hentinya mengusap kepala Roger. Tidak tahu kenapa, hening yang ada membuat mereka lebih merasa damai daripada kebisingan yang terjadi di antara sekitarnya.
“Ayo, Kak. Kita harus pergi sekarang.” Anna mengingatkan Roger kembali kalau mereka harus segera pergi. Anna juga sudah membuat janji, mereka tinggal periksa nanti.
Berat hati berjauhan dari Anna, Roger akhirnya bangkit juga setelah memberi kecupan lagi di perut Anna. Mereka turun dari tangga dilihat oleh orang-orang yang kebetulan ada di ruang keluarga, sedang bercengkerama satu sama lain.
“Sudah mau ke rumah sakit sekarang, Na?” Irish bertanya saat anak dan menantunya ini sampai di ruang keluarga.
“Iya, Ma.”
“Ya sudah hati-hati.” Kata Irish mempersilahkan Anna dan Roger untuk pergi.
Sementara di perjalanan, Anna dan Roger hanya diantar oleh satu supir dan satu ajudan karena Anna percaya kalau tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Jujur saja Anna lelah ditatap aneh orang-orang saat dirinya berjalan diikti oleh ajudannya yang selalu memakai pakaian serba hitam. Badannya besar-besar semua.
Saat ada orang yang ingin berteman dengannya, jatuhnya malah sudah takut dari awal karena banyaknya orang yang mengawal Anna. Pasti banyak yang berpendapat kalau yang dilakukan itu berlebihan. Mereka tidak tahu saja kalau memang seperti itu cara Anna hidup selama ini. Diberikan penjagaan ketat. Ya meskipun kenyataannya, kalau takdirnya memang mendapat musibah, akan tetap mendapat musibah juga. Namun setidaknya keluarga Anna melakukan upaya preventif atau pencegahan perbuatan buruk seseorang pada Anna.
Karena kalau kejahatan itu sampai terjadi, bukan serta merta Anna yang menderita, orang yang jahat tadi juga akan sama menderitanya karena Barack tidak mungkin diam saja. Jalur hukum pasti akan ditempuh karena Barack orang terpelajar yang cerdas, tidak akan main hakim sendiri.
Saat Roger diperiksa, Anna dengan setia menunggui di ruang yang sama, hanya saja berjarak karena Anna tidak mau menganggagu konsentrasi sang dokter. Roger juga penurut diminta oleh dokternya melakukan apapun atau ditanyai ini itu bersedia untuk menjawab. Namun, Anna merasa ada yang janggal, tapi dia sendiri tidak tahu apa dan tidak mau asal menebak.
Usai Roger diperiksa, Anna langsung menghampiri sang dokter, bertanya banyak hal tentang keadaan Roger, sementara Roger malah diam saja, terkesan tak peduli meski dirinya sendiri yang kurang baik keadaannya.
“Keadaan Roger sudah baik, Na. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi. Kau juga sudah melihat hasil pemeriksaannya, kan? Tidak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan. Kepala Roger baik-baik saja.”
Anna menghela nafas yang terasa menggantung di tenggorokannya dan sulit sekali dikeluarkan. Dan itu baru bisa dirinya lakukan saat tangan hangat Roger merengkuh tangannya dari bawah. Di saat itu Anna baru bisa.
“Sudah, kalian sudah bebas jalan-jalan.” Kata sang dokter lagi yang membuat Roger tertawa karena mengerti maksudnya.
“Dia selalu takut menyakiti saya, Dok. Padahal sudah saya katakan kalau lukanya sudah sembuh, tidak sakit kalau tersentuh sekalipun. Kalaupun sakit juga hanya nyeri sedikit. Anna memang berlebihan.” Kalau urusan ini, Roger langsung gerak cepat. Suami Anna ini memang ajaib sekali orangnya.
Cubitan keras Anna layangkan sebagai bentuk tidak terima karena dibilang seperti itu. Kan ya Anna takut kalau pas sedang berhubungan tidak sengaja menghantam luka Roger. Suaminya ini diperhatikan tapi memang tidak tahu diri jadi manusia. Masih untung Anna memikirkannya, kalau tidak dia jambak juga kalau Roger tetap menyebalkan seperti itu.
Melihat pasangan suami istri di depannya ini malah uwu-uwuan, dokter menggeleng dan segera mengusirnya pergi secara halus. “Pacarannya di luar, ya. Saya masih punya banyak pasien. “
Anna dan Roger kompak tertawa, mereka lantas keluar setelah berterima kasih pada sang dokter.
“Kemana lagi kita, Na?” Roger bertanya pelan saat mereka berjalan beriringan di koridor rumah sakit. Sementara Anna sibuk mengutak-atik handphone-nya.
“Ke Kokter Prita.”
“Perempuan?” tanpa sadar Roger langsung memekik. “Tidak, ganti dokter yang lain saja.” Katanya mutlak.
Awalnya Anna tidak paham, tapi lama-lama dia mengerti juga kalau suaminya pasti tidak akan nyaman. Setelah menghela nafas pelan, Anna mengangkat tangannya untuk mengusap lengan Roger pelan, menenangkannya. “Terus Kakak maunya aku ke dokter laki-laki?” tanyanya kalem.
“Hah? Kukira kita periska jadi satu dokter, Na.”
Sekarang malah Anna yang bingung sendiri. “Kan hanya aku yang periksa, Kak. Memangnya mau double dokter, mau membandingkan begitu?”
“Lhoh, mana bisa hanya kau yang diperiksa? Aku juga harus diperiksa.”
“Kan aku yang bermasalah, Kak.”
“Mana kau tahu kalau aku juga bermasalah. Kita cek dua-duanya, tidak hanya kau yang pemeriksaan begitu.”
Anna mengembuskan nafas pelan, “pasti dokternya bilang kita masih pengantin baru. Jadi tidak perlu khawatir, santai saja.”
Roger yang mengerti kegelisahan Anna langsung menarik istrinya ini mendekat dan menanmkan ciuman hangat di puncak kepalanya. “Kan memang pengantin baru, Sayang. Tidak perlu terburu-buru, tidak apa-apa. Hm?”
Meskipun berat dan mendadak ingin menangis sendiri, Anna mengangguk saja dan segera menuju ke ruangan Dokter Prita karena sudah waktunya juga untuk pemeriksaan.