POV Tari
"Baby, kamu temui clienku di rumahnya. Berikan tubuhmu kalau dia mau denganmu."
"Apa Kak Dewa?" Aku membeliak tak percaya. Apa ia mau menjualku? Kurasakan jantungku berdetak sangat kencang. Aku refleks menggeleng. Benar-benar tak habis pikir atas tindakannya.
"Mak ... maksudnya apa, Kak?"
"Aku tiba-tiba punya ide menarik. Client itu sangat penting untukku. Kalau kamu berhasil melakukannya, aku akan membayarmu mahal."
Gila. Aku menggeleng berkali-kali. Menatapnya tak percaya. "Aku itu istrimu." Sudah hampir menangis saja aku rasanya. Ia bertingkah seperti ini apa karena aku ketahuan berbohong? Ya Tuhan. Aku lebih baik tidur dengannya daripada dengan lelaki asing di luar sana.
"Iya aku tahu kamu istriku yang manis. Aku hanya menyuruhmu mendapatkan tanda tangannya saja, Baby. Tapi kalau dia ingin tubuhmu, ya berikan." Ia kembali sibuk dengan HP-nya.
"Aku tak akan biarkan temanku mendapatkan kesempatan emas itu, Baby. Aku akan menghancurkan hidupnya agar aku bisa bersama Puspitaku tercinta. Perempuan itu, mana bisa hidup susah? Benar, tidak? Menurutku, Baby?"
Aku menggeleng berkali-kali. Benar-benar tak percaya ia akan melakukan berbagai hal licik sampai sejauh ini. Gila. Menyuruh istrinya melayani lelaki lain agar bisa bersama gadis pujaannya itu. Kurasakan mataku memanas dan tahu-tahu sudah banjir oleh air mata.
"Aku nggak mau, Kak Dewa."
"Panggil apa?" Ia menatapku dengan mata terpicing. "Ingat, Sayang, derajat kita berbeda. Kita menikah karena orang tua. Aku tuanmu dan kamu adalah bonekaku. Aku mau menyuruhmu apa saja, kamu hanya perlu patuh. Temui clienku di hotel."
"Kamu menjualku, kak? Demi perempuan itu?" Kuusap air mata di pipi. Bersitatap dengannya membuatku ingin menangis lagi.
"Aku tak menjualmu. Hanya menyuruhmu melayaninya malam ini saja. Selepas itu, kamu jadi milikku lagi. Aku juga tak sabar, kita melakukannya. Bukankah seharusnya begitu, Baby? Anggap saja, ini hukuman untukmu karena membohongiku. Aku paling benci dibohongi."
Ketukan di pintu, membuat suamiku menoleh. Simbok masuk membawa gaun warna cokelat s**u. Kak Dewa segera meraihnya.
"Tanggalkan bajumu, Baby. Lalu pakai ini."
Aku menggeleng berkali-kali. "Aku nggak mau."
"Tidak ada alasan untuk mengelak. Ayo, kupakai kan."
Tanganku refleks melayang cepat ke wajahnya. Rasa sedih juga kesal merayap ke dadaku. "Aku gak mau!"
Kak Dewa tertawa kecil. Tangannya terangkat menyentuh pipinya yang memerah. "Ingin mamamu menderita? Aku bisa kapan saja membuat keluargamu menderita, Baby. Lima menit dari sekarang, keluar temui aku di mobil." Lalu, ia melangkah cepat keluar kamar. Aku terisak-isak. Mama, dia akan menjualku rupanya demi bisa bersama gadis lain. Apa yang harus kulakukan mama?
Sambil menangis, kutanggalkan pakaian. Manggantinya dengan gaun cokelat s**u sebatas lutut yang melekat pas di tubuh. Menatap tubuh itu di cermin, aku lagi-lagi terisak. Seperti perempuan murahan. Gaun ini tanpa lengan berbelah d**a rendah. Hanya sebatas lutut. Mana mungkin aku memakai ini? Tapi menolaknya, mama bisa masuk penjara.
Aku tak punya pilihan. Demi mama. Agar mama senang.
"Kalau terjadi sesuatu padaku, maka dosanya kamu yang tanggung."
Aku balas menatapnya sinis saat ia menatapku dengan wajah heran. Mungkin ia kesal aku tak memanggilnya Tuan. Terserahlah. Ia juga semau sendiri memperlakukan istrinya.
"Kamu cantik sekali Baby. Dia pasti akan suka. Jika dia suka, pasti dia tak segan bekerja sama denganku. Ooh aku sungguh tak sabar."
Aku menatap keluar jendela, menahan keinginan untuk menangis. Pernikahan macam apa ini! Aku menatapnya yang terus menyetir. Sesekali ia tersenyum sendiri. Ingin rasanya aku memukulinya tapi meredam keinginan itu. Mobil akhirnya berbelok ke arah halaman rumah mewah penuh bunga di seberang jalan. Kak Dewa keluar lebih dulu lalu membuka pintu untukku.
"Masuklah ke sana, Baby. Dia sudah menunggu di dalam. Aku akan tunggu di sini."
Kutatap ia tak percaya. Lalu tanganku bergerak mengusap air mata. Tega kamu Kak Dewa. Akan kubuat kamu menyesal melakukan ini padaku.
"Tunggu apalagi! Ayo!" Tatapannya menajam. Sambil mengusap air mata, aku melangkah ke arah rumah itu. Seorang perempuan tua berpakaian sederhana mempersilakanku masuk. Membawaku menaiki tangga lalu mengetuk pintu yang sedikit terbuka.
"Masuk." Terdengar suara dari dalam. Perempuan di sampingku mengangguk. Dengan jantung berdetak kencang, aku melangkah masuk. Seorang lelaki yang duduk di kursi malas memutar tubuhnya hingga menghadapku.
"Tari?"
Aku tercekat di ambang pintu. Apa aku mimpi? Kucubit lenganku. Sakit. Ia yang dulu tiba-tiba menghilang tak ada kabar lagi sejak acara pernikahanku dan Evan kandas. Mimpikah? Kembali kucubit lenganku. Sakit.
"Ini anugerah atau apa?" katanya sambil tersenyum kecil. Tatapannya masih seperti dulu, menatapku penuh cinta.