4

974 Words
"Apa kamu tak bisa pelan-pelan, Sayang?" Tanpa mempedulikan perkataan suaminya, Tari kembali menekankan kain bersih yang ia gunakan untuk membungkus gumpalan es batu. "Kenapa Kak Dewa begitu terobsesi padanya? Dia bahkan terlihat sangat mencintai suaminya." Tari kembali menekankan kain ke wajah Sadewa yang penuh bilur kebiruan. Salahnya juga, siapa suruh mengganggu istri orang padahal ada suaminya. Tari beranjak bangun lalu membawa wadah stenlis tempat ia meletakkan kain dengan beberapa keping es batu ke dapur. Teringat kejadian di Ragunan, ia menghela napas panjang. Berusaha tegar pada situasi yang kini di hadapinya walau hatinya begitu pedih. Andai hidup bisa diputar mundur, ia pasti takkan kabulkan keinginan mama yang menyuruhnya meninggalkan Rendi untuk bersama Evan. Walau Evan dulu sangat mencintainya, tapi kenyataannya sekarang, hati lelaki itu berpaling. Dan karena kerakusan mama, ia akhirnya terjebak pada situasi seperti ini. Suami gila. Terus memikirkan perempuan lain yang sudah menjadi istri orang lain. Sahabatnya sendiri. "Kenapa menangis, Nduk?" Simbok yang tengah mengelap piring menatapnya dengan sepasang mata tuanya penuh selidik. Tari menggelengkan kepala dan menyungging senyum kecil. "Hanya perlu sabar untuk menaklukkan hatinya. Dewa sebenarnya baik." Tari mengangguk kecil. Suara tawa yang begitu riang membuatnya menelengkan kepala. Anak-anak tirinya pasti sedang bermain dengan teman-teman sebayanya di halaman depan. "Baby, tolong ambilkan aku makanan. Minumnya jangan lupa baby." Suara keras Dewa membuat Tari mendesis. Seolah ia adalah pembantu saja. Dasar Sadewa gila. Simbok menggelengkan kepala, lalu tangannya cekatan meraih piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk. Tari langsung menerimanya saat piring itu diulurkan ke arahnya. "Dewa itu sebenarnya baik. Hanya agak nakal." Bukan agak, tapi memang nakal. Kata Tari dalam hati. Bagaimana mungkin agak nakal tapi hampir setiap detik tersenyum sendiri pada HP? Pasti karena menghubungi kekasih-kekasihnya yang haus akan buaian juga uang. "Sana, berikan," kata smbok sambip menggelengkan kepala melihat sikap Tari. Tanpa menyahut, Tari membalikkan badan. Seruangan dengan Dewa sungguh membuatnya tak tahan. Ia sebenarnya lebih baik diberi kamar sendiri. "Kalau mau makan, seharusnya tak di kamar. Nanti ada semut." Tari mendekatkan nampan berisi piring dan jus mangga ke arah Dewa. Namun suaminya itu tak meraihnya. Tangannya terangkat di udara pertanda menyuruhnya berhenti dan menggelengkan kepala. "Aku menyuruhmu menyuapiku." Mata Tari membulat tak percaya. Apa dia adalah pembantu? Astaga. Ia benar-benar tak habis pikir memiliki suami seperti ini. Sungguh merepotkan. "Kak Dewa bisa makan sendiri." Dewa mengerutkan kening. "Panggil apa? Panggil aku Tuan, Tari. Tuan." Kalau ia punya kekuasaan, ingin rasanya mengguyur wajah menyebalkan itu dengan jus. Ah, andai saja saat ini ia berani. "Baby, duduk sini. Aku ingin kamu menyuapiku," kata Dewa dengan pandangan tak ingin dibantah. Lucu sekali. Bukan berarti ia tak tahu Tari sedang kesal, tapi sikapnya yang mengerjakan sesuatu terlihat terpaksa memang begitu menggemaskan di matanya. Ia menahan diri agar tak tertawa saat Tari duduk di dekatnya, menyendok nasi juga ikan lalu mengarahkan ke arahnya tanpa melihat. Apa menatapnya adalah hal yang sulit? Ia akhirnya tergelak saat sendok yang diulurkan Tari malah menabrak dadanya. Tangan Dewa menepuk jidatnya sendiri. Ia menggelengkan kepala dan tertawa kecil. "Baby, lihat ke sini. Aku di sini, Baby. Apa kamu malu?" Wajah Tari bersemu merah saat matanya beradu tatap dengan Sadewa yang mengerling menggodanya. Rambutnya yang tergerai dan hanya memakai kaus dalam yang memampangkan tubuh atletisnya, membuatnya terlihat rupawan seperti tokoh pangeran dalam televisi. Ah, Tari memang harus menyadari, Dewa manis juga sebenarnya. Hanya saja sangat menyebalkan. Dewa menjulurkan tangan dan mendongakkan dagu Tari. "Apa kamu sudah suci, Baby?" Tari tergagap. Tatapan Dewa yang begitu dalam membuat dadanya berdesir. Maafkan aku Kak Dewa. Kita hanya akan melakukannya jika Kak Dewa benar-benar sudah insyaf. "Belum, Tuan. Kan sudah kubilang, aku kalau datang bulan agak lama. Satu tahun, Tuan." Mata Dewa menyipit. Wajahnya terlihat heran. "Bukannya kemarin kamu bilang hanya satu bulan? Kenapa sekarang satu tahun?" Dewa tampak sedang mengingat-ingat. Demi Tuhan, ia baru mendengar ada perempuan datang bulan sampai satu tahun. Dan jika memang ada, bukankah itu tanda bahaya? Kanker serviks misalnya? Karena dulu, Nindi tak lebih dari sepuluh hari saat sedang datang bulan. Semoga istrinya ini tak memiliki penyakit kelamin. Tubuh molek Tari seakan menjadi daya tarik membuatnya ingin mencicipi. Tak perlu cinta dalam hubungan, asal bisa menghangatkan di tempat tidur. Tari juga lumayan lucu, sering membuatnya mendadak jadi tersenyum sendiri karena tingkah konyolnya. Tak seelegan Puspita, memang, tapi lumayanlah, akan selalu menemaninya saat di rumah sampai ia bosan. "Sekarang aku sudah datang bulan lagi, Tuan. Tuan terlambat satu detik." Jari telunjuk Tari terangkat ke udara, menatap Dewa takut-takut. Semoga Dewa percaya. Dewa mengerutkan kening. Ia membuka mulut saat Tari kembali menyuapinya, wajah cantiknya bersemu merah. Memperhatikanku seperti itu, sungguh membuatku takut. Dan berdebar. Tari mengalihkan pandang saat tatapan mereka bertemu. Ia begitu gugup. Tegang. Semua rasa aneh membaur menjadi satu dalam dirinya. Ah, lebih baik pergi saja. Sudah selesai juga dia makannya. Tari sudah akan beranjak bangkit saat Dewa tiba-tiba mencekal lengannya. Menyipitkan mata. "Mau ke mana, Baby? Di sini saja temani aku." Tuhaan, kenapa lelaki ini walaupun sangat menyebalkan tapi juga tampan? Membuat dadanya terus berdebar tak keruan. Ini tak boleh terjadi. Ia tak boleh lebih dulu luluh. Harus bisa taklukkan hati Dewa dulu barulah benar-benar membuka hati. "Mau ke mana? Di sini saja denganku, Baby." "Emp, aku ...." Wajah Tari begitu gugup, jantungnya berdetak kencang, mengentak-entak membuat d**a sesak. Kumandang azan ashar membuat Tari lega. Ia tersenyum kecil, lalu dilepasnya tangan Dewa dari tangannya. "Sudah azan. Bukankah seharusnya kita salat jemaah, Tuan?" Tatapnya lekat. Ia membulatkan mata dan refleks menutup mulut saat menyadari tatapan Dewa berganti penuh selidik. Mana mungkin datang bulan melakukan salat? Tari, kamu bodoh. Rutuk Tari dalam hati saat tatapan suaminya menajam. "Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan, Baby." gumam Dewa. Tari menahan napas, tubuhnya tiba-tiba menjadi panas dingin dan sedikit gemetar. Tuhaan, apa yang harus kulakukan? #Jangan lupa follow dan subscribe ceritanya biar gak tertinggal cerita ini teman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD