Menolak Pemberian Harun

1684 Words
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Sudah saatnya Yumna untuk beristirahat siang setelah melakukan tugasnya hari ini dengan sangat baik. Ya, Yumna memang cepat tanggap. Hanya melihat satu kali saja panduan yang diberikan, Yumna sudah bisa bekerja layaknya senior di sana. “Kamu bawa bekal?” tanya Meta. Yumna menggeleng, “Aku pesan gofood saja, Kak,” balasnya. “Ngapain pesan gofood. Di sebelah ada yang jual ayam geprek. Sepuluh ribu saja pakai nasi. Atau di sebelahnya ada jual lotek, lontong sayur dan nasi soto. Ada nasi goreng, mi goreng dan mi rebus juga.” “Oiya? Kalau gitu beli di sana saja, lebih murah pastinya.” “Pasti dong … Kamu mau pesan apa, biar aku pesanin. Biasanya sih kami lewat WA atau telepon saja, nanti uni itu akan mengantarnya ke sini.” “Bagus sekali, praktis … Aku mau nasi goreng deh, Kak. Bisa tolong pesanin sekalian?” “Bisa dong … Bentar ya aku telepon dulu.” Yumna mengangguk. Meta pun tampak mulai menghubungi seseorang. Ia pesan satu piring nasi goreng dan satu mangkok mi rebus untuk dirinya sendiri. Lalu tidak lama, Meta mematikan panggilan suara itu. “Aku sudah memesannya. Kita tunggu saja,” ucap Meta. “Iya, Kak … Bayarnya langsung’kan, Kak?” “Iya dong, langsung … Kecuali kalau kamu itu mau ngutang. Kalau mau ngutang sih bisa saja. Banyak kok abang-abang di sini pada ngutang. Nanti pas gajian mereka bayar.” “Nggak ah, Kak. Insyaa Allah aku masih punya uang untuk bayar. Berapa biasanya harga nasi gorengnya, Kak?” “Murah kok, sepuluh ribu saja.” “Oh ….” “Kamu tunggu sini dulu ya. Aku mau shalat. Soalnya meja ini nggak boleh kosong sih. Mana tahu nanti ada yang datang. Biasanya mereka datang nanyain paket atau ngantar paketan. Kalau abang-abang di sini mau input, biasanya nggak ada di jam istirahat.” “Iya, Kak. Nanti kita gantian saja shalatnya. Tapi kak Meta ada bawa mukena? Aku nggak bawa soalnya.” “Ada kok … Kamu bisa pakai nanti. Tunggu di sini bentar ya. Kalau uninya datang, bilang saja punya aku nanti aku bayar.” “Iya, Kak.” Meta tersenyum. Gadis itu pun berlalu masuk ke dalam. Ada sebuah mushalla kecil yang sudah disiapkan di bagian dalam. Cukuplah untuk empat orang shalat dan beberapa karyawan di sana tampak sudah ada yang menunaikan kewajiban mereka di sana. Tidak lama, pesanan pun datang. “Metanya mana?” tanya seorang wanita dengan sebuah baki di tangannya. “Kak Metanya lagi shalat, Uni. Itu pesanannya ya?” tanya Yumna. “Iya … Tadi Meta pesan mi rebus satu dan nasi goreng satu. Adik ini karyawan baru ya di sini? Soalnya uni nggak pernah Nampak.” “Iya, Uni … Saya Yumna. Nasi goreng itu pesanan saya. Berapa semuanya uni?” tanya Yumna. Ia mengambil mangkok mie dan piring nasi goreng dari dalam baki lalu meletakkannya di atas meja. “Dua puluh ribu … Nasi goreng sepuluh dan mi rebusnya sepuluh ribu,” balas sang penjual. Yumna tersenyum. Ia keluarkan uang dua puluh ribu dari dalam dompetnya lalu ia berikan kepada sang penjual. “Saya bayar sekalian punyanya kak Meta ya, Uni,” ucap Yumna. “Baiklah, terima kasih ….” Sang penjual tersenyum lalu pergi dari kantor itu sebab masih banyak pesanan yang harus ia selesaikan. Tidak lama, Meta pun datang. “Wow, udah datang mienya … Hhmm … Nikmat, masih panas,” ucap Meta. Gadis itu duduk di kursinya seraya menikmati aroma mie rebus yang keluar dari asap yang mengepul panas. Yumna tersenyum, “Sudah aku bayar, Kak,” ucapnya. “Ha? Sudah kamu bayar? Jadi aku hutangnya sama kamuy a. Bentar.” Meta tampak mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah dompet, lalu ia keluargkan uang pecahan sepuluh ribu dari dalam dompetnya. “Nggak usah, Kak. Aku yang traktir,” ucap Yumna menolak uang pemberian Meta. “Ah, jangan dong … Kamu itu masih baru bekerja di sini. Gajian juga belum, masa udah mau traktir saja. Ini uang beli mienya.” Meta tetap memaksa lalu meletakkan uang itu di atas meja Yumna. Yumna mengambil uang itu, lalu meletakkannya kembali di atas meja Meta, “Nggak apa-apa, Kak. Hitung-hitung buat salam persahabatan. Lagian sesekali juga kok.” “Beneran nih?” tanya Meta. Ia angkat uang sepuluh ribu itu lalu ia ayun di depan wajahnya. “Iya, Kak ….” “Ya sudah, makasih ya … Segan lo aku jadinya. Padahal kamu ini baru kerja, udah traktir saja.” “Nggak apa-apa kok, Kak.” “Ya udah … Kamu mau makan dulu apa shalat dulu?” “Makan dulu aja deh. Kalau shalat dulu yang ada nanti perut aku ngamuk-ngamuk dan aku jadi nggak fokus. Dari pagi belum makan soalnya.” “Oiya … Kenapa nggak sarapan dulu? Mama kamu nggak masak? Atau kamu’kan bisa beli lontong sayur atau makan roti. Kamu bisa sakit lo kalau telat makan begitu.” Yumna tersenyum, “Di sini aku sendirian, Kak. Aku ngekos.” “Oh, ya Allah … Orang tua kamu di mana?” Yumna terdiam. Senyum manis yang tadinya merona, hilang seketika. “Jangan katakan kalau orang tua kamu sudah meninggal dunia.” Yumna tersenyum tipis, “Maaf, Kak. Jangan bahas masalah itu ya. Agak sensitive soalnya.” “Gitu ya … Ya udah deh … Ayo makan, nanti keburu habis lo jam istirahatnya.” Yumna mengangguk seraya tersenyum. Tiba-tiba saja perasaannya tidak nyaman akibat pertanyaan dari Meta. Terlalu menyesak di dadanya, sebab ia tidak tahu jawabannya. Dikatakan meninggal, kenyataannya orang tua Yumna masih hidup. Bahkan keluarganya pun banyak di kota ini. Tapi sayangnya ia terpaksa harus sebatang kara karena di buang oleh keluarga Adam dan keluarga Rania. Tanpa Yumna sadari, seorang pemuda terus memerhatikannya. Ia adalah Dhani yang sudah menaruh hati pada Yumna sejak pandangan pertama. Wajah cantik dan elok milik Yumna, mampu menghipnotis pemuda itu. Baru saja Yumna selesai makan siang dan berniat beranjak menuju mushalla kecil untuk melaksanakan shalat zuhur, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ada panggilan suara dari Harun. Yumna pun segera mengangkatnya. “Halo …,” ucap Yumna. “Assalamu’alaikum, Nak …,” sapa Harun. “Wa’alaikumussalam … Ada apa, Om?” balas Yumna. “Yumna, kamu sudah masuk kerja?” tanya Harun. “Sudah … Ini lagi istirahat.” “Gimana pekerjaannya? Aman, lancar? Apa kamu senang di sana? Nggak ada tekanan’kan?” “Nggak, di sini baik kok. Aku senang dan teman-teman di sini semuanya baik-baik.” “Alhamdulillah … Syukurlah kalau begitu. Kamu sudah makan siang?” “Baru saja selesai makan.” “Syukurlah, Nak … Oiya, tadi tante Nadia katanya sudah lebihin masak buat kamu. Semalam tante Nadia juga sudah beli magicom kecil, panci listrik dan beberapa perabot dapur yang praktis dan bisa digunakan oleh anak kos seperti kamu. Nanti malam om dan tante akan antar ke kosan kamu, bisa?” tanya Harun. “Harusnya tante Nadia nggak usah repot-repot kayak gitu, Om. Aku bisa kok membelinya sendiri.” “Jangan begitu, Yumna. Tante Nadia melakukan semua itu karena ia sayang sama kamu. Ia sudah menganggap kamu seperti putri kandungnya sendiri.” “Iya, terima kasih buat tante Nadia.” “Jadi om dan tante antar kemana?” “Maaf, Om. Nanti biar Yumna jemput saja ke sana.” “Yumna, jangan begitu … Om tahu kamu masih marah sama om. Kamu masih marah pada keadaan, tapi kamu tidak seharusnya marah pada tante Nadia. Tante Nadia itu sudah baik banget sama kamu. Ia bahkan rela membelikan sebuah sepeda motor dari uang pribadinya sendiri buat kamu. Katanya biar kamu nggak repot-repot pergi kerja.” “Membelikan sepeda motor?” “Iya, tante Nadia baru saja memesan sebuah sepeda motor ke dealer. Orang dealer tanya, sepeda motornya mau dinantar kemana.” “Nggak usah, Om. Cancel saja ya … Maaf, bukannya aku tidak sopan atau tidak menghargai kebaikan tante Nadia, tapi itu sudah sangat berlebihan. Aku nggak mau berhutang budi pada siapa pun, Om. Apa lagi pada tante Nadia. Aku tahu kalau selama ini tante Nadia adaah korban. Ia adalah wanita yang paling disakiti di sini. Bahkan kalau bisa membaca kata hati, tante Nadia lebih menyedihkan dibanding aku. Jadi aku mohon, batalkan saja. Atau om berikan saja motor itu pada anak-anak om. Bukankah Bilan dan Bintang juga butuh kendaraan?” “Yumna—.” “Om, Yumna mohon ….” Intonasi bicara Yumna tiba-tiba melembut. Ia bahkan mengganti panggilan “aku” dengan “Yumna” kepada dirinya sendiri. “Tapi, Nak—.” “Om, tolong biarkan Yumna mandiri. Bagaimanapun juga, Yumna harus sadar kalau hidup Yumna ya seperti ini. Tolong jangan berikan perhatian yang berlebihan. Yumna tidak mau bergantung pada siapa pun.” Terdengar suara helaan napas dari balik panggilan suara, “Baiklah … Om tidak akan memaksa kamu. Nanti akan om sampaikan pada tante Nadia. Lalu panci, magicom dan lauk yang sudah dimasak tante nadia, kami antar kemana?” “Nanti Yumna jemput saja ke sana.” “Kamu serius? Kamu benar akan datang? Atau nanti sore om dan tante akan antar ke tempat kerja kamu.” “Terserah om dan tante saja ….” “Baiklah … Nanti sore om dan tante akan ke tempat kerja kamu. Kami akan antar ke sana.” “Motor jangan, Om. Yumna mohon … Yumna tidak bisa menerimanya. Jadi motornya bawa ke rumah om saja sebab Yumna pasti tidak akan bisa menerimanya.” “Baiklah … Nanti akan om sampaikan pada tante Nadia.” “Terima kasih, Om … Maaf kalau Yumna terkesan tidak sopan. Yumna hanya tidak ingin bergantung pada siapa pun. Karena dibuang itu rasanya sangat sakit.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Yumna menangis. Ia segera menjauhkan ponsel itu dari telinganya lalu ia tekan tanda merah yang artinya ia putuskan panggilan suara itu begitu saja. Yumna sadar jika Meta tengah memerhatikannya. Walau ia sudah beranjak agak menjauh dari Meta, tetap saja Meta memerhatikan Yumna yang sedang menerima telepon dari Harun. Yumna segera menyeka air matanya. Ia tersenyum seraya beranjak kembali ke kursinya. “Kak, aku pamit shalat dulu ya … titip tas dulu sebentar,” ucap Yumna seraya menyimpan ponselnya ke dalam tas. Meta mengangguk tanpa menjawab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD