“Jadi Yumna tidak mau menerima sepeda motor itu?” tanya Nadia dari balik panggilan suara.
“Iya, Sayang … Katanya ia tidak mau merasa berhutang budi pada siapa pun. Ia juga tidak mau bergantung pada siapa pun. Kasihan Yumna, ia sangat terluka saat ini,” balas Harun.
“Iya, Bang … Aku bisa bayangkan betapa hancurnya hati Yumna saat ini. Pernikahannya gagal, keluarganya tidak mau lagi mengakui dirinya, Rania pergi entah kemana. Aku hanya berusaha untuk memberikan sedikit perhatian kepadanya agar ia tidak terlalu laru dalam kesedihan. Tapi sepertinya ia tidak mau.”
“Sayang … Terima kasih atas kebaikan hati kamu. Kamu juga sangat luar biasa, Nadia.”
“Jadi bagaimana dengan sepeda motor itu? Aku tidak mungkin membatalkannya karena aku sudah membayar lunas motor itu. Pihak dealer tinggal mengantarnya saja. Barusan mereka menghubungi dan menanyakan kemana motor itu akan mereka antar.”
“Antar saja dulu ke rumah kita. Katakan saja pada anak-anak di rumah kalau motor itu pesanan keluarga Yumna untuk Yumna, namun Yumna belum mau menerima karena ia masih ada konflik dengan keluarga besarnya. Jadi motor itu dititip dulu di sini. Pokoknya pandai-pandai kamu sajalah bagaimana mencari alasannya.”
“Nanti akan aku pikirkan, Bang. Jadi motornya ditarok di rumah kita dulu ya?”
“Iya, tarok di rumah kita saja dulu untuk sementara waktu.”
“Baiklah … Aku akan menyuruh mereka mengantarnya ke sini.”
“Iya, sepertinya begitu lebih baik. Sayang, sudah dulu ya … Abang mau kerja lagi.”
“Iya … Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikumussalam ….”
Panggilan suara itu pun terputus.
Harun menghela napas seraya meletakkan ponselnya kembali di atas meja. Fokusnya kini sudah terbagi pada Yumna. Rasa penyesalan dan kasih sayang kini bercampur aduk menjadi satu. Bagaimanapun juga. Ia bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Yumna saat ini.
Sementara di tempat berbeda, Yumna kembali fokus pada pekerjaannya. Fokusnya hanya pada dirinya sendiri. Bagaimana ia masih tetap bisa bertahan dengan hidupnya yang seolah sebatang kara saat ini.
Secara visual, Yumna memang tidak sebatang kara. Harusnya ia masih punya ibu, ayah dan keluarga besar yang saat ini masih memberikan perhatian dan dukungan kepadanya. Tapi sayangnya, mereka semua seolah tidak peduli dengan Yumna. Mereka benci pada gadis yang sama sekali tidak tahu menahu tentang masa lalu sang ibu dan bagaimana asal usulnya. Yumna tidak bersalah, tapi ialah korban yang paling utama dalam drama ini.
Tidak terasa, senja pun sudah menjelang. Yumna sudah menyelesaikan tugasnya sebagai karyawan baru untuk pertama kalinya di kota Padang. Ia bekerja dengan baik. Ia juga mampu berbaur dengan baik bersama semua karyawan dan staf di sana.
“Yumna … Aku duluan ya, sudah dijemput,” ucap Meta.
“Iya, Kak … Aku bersiap dulu. Masih ada beberapa lagi yang harus aku input,” balas Yumna.
Meta tersenyum. Ia tinggalkan mejanya dan mulai melangkah keluar dari gedung itu. Seorang pria bersepeda motor yang merupakan kekasihnya sudah menunggunya di depan gedung kantor ekspedisi itu.
“Yumna, pulang sama siapa?” sapa Dhani tiba-tiba.
“Eh, bang Dhani … Rencananya sih mau pesan ojek online saja, Bang. Kata kak Meta ada angkutan kota ke lokasi kosannya aku, tapi aku nggak tahu. Jadi dari pada nanti salah, mending pesan ojek sajalah.” Yumna tersenyum.
Dhani lagi-lagi terkesima dengan senyuman manis gadis itu. Senyuman yang sangat manis, cantik dan begitu memesona.
“Abang antar saja, gimana? Kebetulan di kantor ada satu helm nganggur. Jadi bisa kamu pakai.”
“Nggak usah ah, Bang … Aku nggak mau ngerepotin. Lagian aku tinggalnya nggak jauh kok. Lima belas menit juga sampai.”
“Justru itu biar abang saja yang antar. Kamu nggak perlu sungkan. Lagian rumah abang juga satu arah kok. Jadi bisa sekalian saja.”
“Benar nih, nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa. Justru abang senang kalau bisa pulang bareng sama kamu.”
“Ya udah deh … Tapi benar nggak apa-apa ya? Aku nggak suka merepotkan orang lain soalnya.”
“Iya, nggak apa-apa. Sebentar, abang mau ambil helm dulu di dalam.”
Yumna mengangguk seraya tersenyum.
Tidak lama, Dhani kembali. Di tangannya sudah ada sebuah helm berwarna kuning. Helm itu tampak masih bersih, seperti jarang dipakai tapi masih terawat. Dhani pun memberikan helm itu pada Yumna.
“Terima kasih,” ucap Yumna. Ia ambil helm itu lalu ia pasang di atas kepalanya.
“Ayo pulang,” ucap Dhani.
Yumna mengangguk.
Dhani naik lebih dahulu ke atas kendaraan roda dua miliknya, lalu Yumna menyusul di belakang. Setelah memastikan semuanya aman, Dhani pun segera melajukan kendaraannya, meninggalkan gedung kantor tempatnya bekerja menuju kosan Yumna.
Namun di tengah perjalanan, Dhani malah berhenti di depan sebuah warung pecel ayam.
“Kok berhenti, Bang?” tanya Yumna.
“Mampir dulu yuk. Kita makan dulu di sini,” ajak Dhani.
Yumna mengangguk. Ia teringat akan janjinya pada Harun untuk datang ke rumah Harun sore ini. Namun Yumna malas, ia sengaja tidak menepati janjinya pada Harun. Bahkan ia matikan nada dering ponselnya agar tidak mendengar kalau Harun dan Nadia menghubunginya.
Mereka pun turun dari motor dan masuk ke dalam warung pecel ayam yang sudah mere singgahi.
“Di sini pecel ayamnya enak. Harganya juga merakyat. Ayo duduk,” ajak Dhani.
Yumna kembali tersenyum. Ia pun duduk tepat di depan Dhani.
Seorang pramusaji menghampiri, “Mau pesan apa, Bang?” tanyanya.
“Pecel ayam yang bagian dadanya dua, es teh manis dua,” ucap Dhani.
“Baiklah, Bang. Mohon ditunggu ya.”
Dhani mengangguk lalu sang pramusaji pun pergi.
“Kamu suka pedes atau sedang?” tanya Dhani.
“Aku suka pedas, tapi bukan yang terlalu. Kadan gada lo yang bikin sambalnya itu full dengan rawit setan. Kalau seperti itu aku nggak suka sebab bikin mulut panas dan bikin perut perih,” balas Yumna.
“Sama sih … Abang juga suka pedas tapi tidak terlalu. Kalau dihidangkan sambel kayak gitu, biasanya nggak akan abang makan.”
Yumna kembali tersenyum.
Tidak lama, makanan yang mereka pesan pun datang.
“Ayo makan,” ajak Dhani.
“Iya, Bang,” balas Yumna.
Yumna dan Dhani menikmati suap demi suap makanan mereka dengan nikmat.
“Kampung kamu di mana sih?” tanya Dhani disela-sela acara makan bersama itu.
Yumna yang tadinya sedang menikmati makanan dimulutnya, tiba-tiba saja langsung tersedak.
Dhani dengan cepat memberikan segelas air mineral pada Yumna.
“Terima kasih, Bang,” ucap Yumna. Gadis itu kemudian menenggak air mineral dan berusaha menenangkan dirinya. Tenggorokannya terasa sedikit panas karena ketika ia tersedak tadi, ia sedang menelan sebongkah nasi lengkap dengan sambal pedas khas pecel ayam.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Dhani.
Yumna mengangguk. Ia letakkan kembali gelas yang berisi sisa air mineral itu di atas meja.
“Maaf, tadi aku tersedak,” ucap Yumna.
“Iya, nggak apa-apa. Maaf juga kalau abang bertanya disaat kamu sedang makan. Abang hanya penasaran di mana kampung kamu. Kamu itu asli mana, gitu lo.”
“Aku itu asli keturunan minang kok, Bang. Tapi keluargaku banyak di Batam. Aku lahir dan besar di Batam.” Yumna mencoba menjelaskan.
“Jadi ayah dan ibu kamu di Batam?”
“I—Itu … Aku sudah yatim piatu,” lirih Yumna. Bibirnya sangat berat mengatakan hal itu, namun bagaimanapun juga jawaban seperti itu menurut Yumna adalah jawaban terbaik untuk saat ini.
“Oh, maaf … Jadi kamu sendirian di sini? Kenapa nggak di Batam saja?”
Yumna tersenyum, ia berusaha mengendalikan perasaannya ketika dicerca pertanyaan pribadi oleh Dhani.
“Itu karena aku memang berdarah minang, Bang. Keluargaku ada sih di sini, tapi keluarga jauh. Aku tidak mungkin merepotkan mereka karena sebenarnya aku juga tidak terlalu mengenali mereka. Oiya, maaf lo, Bang. Tapi bisa nggak kalau kita nggak bahas masalah itu lagi? Aku kalau sudah bahas masalah keluarga, bawaannya suka sedih.”
“Oiya, maaf … Baiklah, abang tidak akan membahas masalah keluarga kamu lagi. Mari kita makan. Sebaiknya kita bahas masalah yang lain saja. Kamu sudah punya pacar?” tany Dhani.
Yumna tersenyum tipis seraya menggeleng, “Aku jomlo, Bang.”
“Masa? Gadis secantik kamu ini masa jomlo sih? Kok abang nggak percaya ya?”
“Silahkan abang percaya atau tidak, tapi kenyataannya memang seperti itu. Nggak ada yang mau sama aku. Mungkin karena aku sebatang kara kali ya, jadinya mereka nggak mau sama aku sebab aku nggak jelas.”
“Kamu ini bicara apa, Yumna? Seseorang yang nggak punya orang tua itu bukan berarti berasal dari keluarga yang tidak jelas. Sudahlah, jangan bahas masalah itu lagi. Abang nggak mau suasana indah ini malah dirusak dengan kesedihan kamu. Sekarang kamu sudah di sini, jadi jangan pernah merasa kesepian lagi. Teman-teman di kantor itu semuanya pada baik kok. Meta juga baik sama kamu’kan?”
“Iya, Bang … Kak Meta sangat baik.”
“Nah, makanya … Jadi sekarang kamu jangan sedih lagi ah. Ayo habiskan makanan kamu.”
Yumna mengangguk. Perlahan, ia nikmati lagi pecel ayam yang memang lezat itu. Dhani bahkan sampai nambah dua piring kecil sementara Yumna merasa porsinya sudah cukup.
Acara makan bersama itu mereka barengi juga dengan obrolan ringan. Dhani kini tidak menanyakan lagi perihal keluarga Yumna, tapi pria itu menanyakan hal-hal pribadi yang diselingi dengan candaan.