Pecundang

1337 Words
Entah kemana Bening. Dia seperti hilang ditelan bumi. Bahkan sudah dua bulan berlalu sejak kepergiannya, aku belum mendapat kabarnya sama sekali. Foto-fotonya sudah kusebar, baik melalui offline maupun online. Namun, hasilnya sampai hari ini masih nihil. Rasanya tidak masuk akal jika tidak ada sama sekali yang tahu keberadaan Bening setelah kusebar selebaran berita kehilangan tentangnya. Kecuali jika ada yang sengaja menyembunyikannya. Bahkan jika Bening keluar kota pun, informasi kehilangan yang disebar online melalui sosial media pasti bisa menjangkau. Aku benar-benar frustrasi. Apalagi Ibu dan Bapak terus memojokkanku. Ibu juga sempat jatuh sakit karena bersedih, membuatku semakin dihantui rasa bersalah. Sedalam itu Ibu menyayangi Bening. Dua bulan ini hidupku benar-benar amburadul. Tidak tentu makan. Tidak tentu minum. Berat badanku turun hingga lima kilogram. Penampilan jangan ditanya. Tidak ada lagi Pandu yang gagah dan klimis dengan sejuta pesonanya. Bahkan rambut saja jarang kusisir. Baju kukenakan seadanya. Rahang yang dulu kokoh dan menjadi kebanggaanku, kini seolah layu. Hari ini mau tidak mau aku ke tukang pangkas rambut. Kemarin atasan sudah menegur karena rambutku yang mulai gondrong. Tidak cuma gondrong, melainkan juga awut-awutan. Akhirnya mumpung week end kuputuskan untuk memotongnya cepak agar praktis. Lihatlah, Bening. Sekacau ini aku tanpamu. Sehancur ini aku karena kepergiaanmu. Kamu kemana? Pulanglah. Apakah tidak cukup hukuman yang kujalani selama dua bulan ini? Tidakkah kau ingin kembali setidaknya menunaikan mimpi Ibu agar kita menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warahmah? Tidakkah sedikit saja kamu merindukanku? "Sudah selesai, Mas." Tukang pangkas rambut memberitahu. Dia membersihkan sisa-sisa rambut pada kepala dan pundakku dengan menabur bedak lalu menyapunya dengan sikat sebelum membuka kain pelindung yang membalut tubuhku. "Terima kasih." Aku segera beranjak, menuju meja kasir untuk membayar jasa. Setelah membayar, aku melangkah gontai menuju lokasi parkir. Tempat pangkas rambut ini terletak di sekitaran terminal bus. Cukup ramai orang dan kendaraan yang berlalu lalang. Aku memerhatikan sejenak dari atas sepeda motor yang belum ku-starter. Mana tahu ada sosok Bening di antara mereka. Namun, sejauh mata memandang tidak kutemukan apa yang kucari. "Manisannya, Bu. Ada minum dingin juga. Bisa menyegarkan saat mabuk perjalanan." Aku menoleh pada suara yang menawarkan jajanan pada penumpang bus tidak jauh dari posisiku berada. Seorang perempuan berpakaian tertutup sedang menjinjing beberapa kantong manisan dan es pada kedua tangannya. Aku sangat familiar dengan suara itu. "Bening!" Lekas aku turun dari sepeda motor, mendekat padanya dengan setengah berlari. "Bening!" Aku berseru girang. Akhirnya kutemukan juga dia. Meskipun pakaian tertutup dan wajahnya dilindungi cadar, aku tidak pernah lupa pada suara dan perawakan Bening. Dua puluh tiga tahun sebagai sepupu dan enam bulan hidup bersama, waktu yang cukup lama untukku mengenalnya. Pantas saja tidak ada yang tahu walau seberapa banyak foto Bening kusebar. Rupanya dia benar-benar menutup diri dengan pakaiannya. Dia benar-benar ingin menghilang dariku. "Anda memanggil saya?" Bening pura-pura tidak mengenaliku. "Jangan pura-pura tidak mengenalku, Bening. Aku tahu ini kamu. Kamu tidak bisa mengelabuiku. Aku sudah sangat mengenalmu walau hanya mendengar suara dan melihat postur tubuhmu." Dari balik cadarnya, aku tahu Bening menghela napas panjang. Matanya sayu menatapku. Hanya per sekian detik, selepas itu pandangannya beralih ke sembarang arah. Dia seolah tidak sudi melihatku. "Mas Pandu mau manisan?" Akhirnya dia pasrah, mengakui jati dirinya yang sebenarnya. Ganti aku yang menghela napas panjang. Meskipun dia sudah mengaku, tetapi sikapnya masih seperti asing. "Bening, aku mencarimu kemana-mana selama ini. Ayo, kita pulang. Ibu menunggumu," ucapku. "Ibu?" Suaranya terdengar lirih. "Iya. Ibu sangat merindukanmu, Bening. Aku juga," ucapku yang terasa tidak tahu malu. Masih bolehkah aku berkata merindukannya? Bening tampak terdiam. "Nanti aku akan mengunjungi Ibu. Mas Pandu pulanglah dulu," sahutnya di luar harapanku. "Mengunjungi Ibu? Maksud kamu apa, Bening? Kamu tidak mau pulang?" "Pulang?" "Iya." "Pulang kemana?" tanyanya terdengar sinis. "Tentu saja pulang ke rumah kita." "Rumah kita?" "Iya, Bening. Rumah kita. Kamu mau 'kan?" "Maaf, Mas. Tapi bagiku tidak ada lagi kita. Yang ada sekarang aku dan kamu. Rumahku dan rumahmu berbeda." "Bening ...." Aku terhenyak. Kalimat Bening bagaikan mengiris kalbu. Perih. Tubuhku terasa limbung. Apakah semuanya memang sudah berakhir? Apakah tidak ada kesempatan lagi untuk kami bersama? "Aku punya tempat tinggal sendiri, Mas. Ke sanalah aku akan pulang." "Bening ...." Ingin kukatakan banyak hal padanya; tentang maaf, tentang begitu menderitanya aku setelah kepergiannya, tentang sesal yang selalu menghantui, tentang cinta yang selama ini kukira benci. Aku ingin mengungkapkan semua itu agar dia mau kembali bersamaku. Namun, suaraku tercekat di tenggorokan. Berulangkali hanya namanya yang keluar dari bibirku. "Mas mau manisannya enggak? Kalau enggak aku akan lanjut berjualan lagi. Maaf aku enggak punya banyak waktu untuk mengobrol. Aku harus berjualan agar bisa makan hari ini." Ya Tuhan .... Air mataku terasa menyeruak. Jadi beginikah cara dia bertahan hidup selama ini? Berjualan asongan dari satu bus ke bus lainnya, dari penumpang satu ke penumpang lainnya? Ternyata tidak habis-habisnya aku membuatnya menderita. Enam bulan bersama, kusakiti dia dengan kata-kata kasar. Kemudian dia pergi dan harus berjuang seperti ini demi sesuap nasi. Berapalah keuntungan dari manisan itu. Iya jika semua terjual habis. Jika tidak? Sementara tenaganya terkuras karena harus lincah mencari pembeli, berbaur dengan keringat dan bau matahari. Sungguh aku ini laki-laki b3j4t. Pecundang. "Pulanglah, Bening. Kamu tidak perlu bekerja seperti ini lagi. Aku akan memenuhi seluruh nafkah untukmu," ucapku memohon. Tidak apa-apa merendahkan diri padanya. Aku tidak ingin kehilangannya lagi. Sudah cukup dua bulan ini aku tersiksa. "Jika Mas tidak ingin membeli, berarti tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Aku permisi." "Bening. Please, aku mohon." Aku meraih tangan Bening yang hendak berlalu, menahan agar dia tidak pergi lagi. "Lepas, Mas!" Bening menepis tanganku dengan kasar. Seketika tubuhnya tampak gemetar. Sorot matanya menunjukkan ketakutan. Langkahnya tersurut menjauh dariku. Ya Tuhan, apakah dia trauma padaku karena kejadian malam itu? "Bening." Aku memanggilnya dengan suara bergetar penuh rasa bersalah. "Tolong menjauhlah, Mas. Aku sudah lelah. Aku ingin sendiri. Ijinkan aku hidup dengan tenang. Tidak puaskah kamu menyakitiku selama ini? Memerlakukanku layaknya seekor binatang?" ujarnya serak dan bergetar. Matanya seketika tampak berkaca-kaca. "Maaf, Bening. Tapi, ...." "Biarkan aku pergi, Mas. Tolong." "Aku minta maaf ...." "Aku memaafkan, Mas. Jika Mas membiarkanku pergi." Hatiku hancur. Dua bulan mencari, bahkan setelah kutemukan dia lebih memilih pergi. Allahu .... Beginikah rasanya dibenci. Ternyata sesakit ini. "Baiklah jika kamu tidak ingin pulang. Tidak apa-apa. Tapi, paling tidak beritahu kamu tinggal dimana." Aku mencoba bernegosiasi. "Aku tinggal dimana bukan urusan Mas. Yang penting sekarang aku jauh dan tidak mengganggu hubungan Mas dan Arunika. Lebih baik Mas pulang dan urus pernikahan kalian. Mumpung sekarang tidak ada yang menghalangi hubungan kalian lagi." Lagi-lagi hatiku seperti ditusuk mendengar sindiran Bening. Rasa bersalah semakin menjadi. "Aku permisi," pungkasnya seraya berlalu. "Bening, Mas mau manisannya," ucapku menahan langkahnya. Sesungguhnya aku tidak mau dia pergi. Namun, aku seperti laki-laki pecundang yang tidak bisa berbuat apa-apa. "Mau manisan?" "Iya." Aku mengangguk. "Mau berapa bungkus?" "Semua ada berapa?" "Semua?" "Iya." "Semua ada dua puluh lima bungkus." "Satu bungkus berapa?" "Satu bungkus tiga ribu." "Esnya berapa?" Aku menunjuk beberapa es yang dia bawa dan sudah dikemas dalam cup. "Satunya lima ribu." "Iya. Mas beli semuanya." "Semua?" "Iya." Aku segera mengeluarkan dompet, mengambil seluruh lembaran merah yang ada di dalamnya lalu menyerahkannya kepada Bening. Entah ada berapa. Kukira lebih dari sepuluh lembar. "Maaf, Mas. Manisan dua puluh lima bungkus, totalnya jadi tujuh puluh lima ribu. Es lima cup, totalnya dua puluh lima ribu. Jadi semua genap seratus ribu." Bening mengambil hanya satu lembar dari uang yang kuberikan. "Ambil semua, Bening. Ini untuk keperluanmu. Kamu tidak perlu berjualan seperti ini lagi," titahku. "Enggak, Mas. Aku hanya mengambil uang sesuai harga daganganku. Aku tidak butuh rasa kasihanmu. Permisi. Terima kasih sudah membeli." Bening memberikan manisan dan minumannya padaku, lalu melangkah pergi. Aku hanya menatapnya dengan hati nelangsa, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Sekian lama mencari, setelah bertemu pun aku tidak bisa melakukan apa-apa. Benar-benar seperti pecundang rasanya. "Nining!" Terdengar satu teriakan lantang tidak jauh dari posisiku. Tampak seorang perempuan paruh baya melangkah cepat ke arah Bening. Nining? Jadi dia pun mengubah namanya? "Ya?" Bening menghentikan langkahnya sambil menoleh. "Sudah habis jualanmu?" tanya perempuan itu. "Sudah. Alhamdulillah." "Alhamdulillah. Jadi kamu bisa cepat pulang dan istirahat. Kasihan kandungan kamu kalau terlalu capek." Tubuhku tersentak bagai tersengat listrik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD