Sambil memeluk foto pernikahan kami, aku melangkah menuju kamar. Tubuhku benar-benar terasa sangat lemah. Belum ada satu makanan pun yang masuk ke perut sejak pagi. Mulut terasa pahit untuk menerima makanan. Bahkan minum pun hanya untuk membasahi kerongkongan.
Pelan kuletakkan foto yang kini menjadi sangat berharga itu ke atas meja kecil yang terdapat di samping tempat tidur. Setelah itu, dengan gerak lemah aku mulai mengemas kamar yang tidak karuan rupanya.
Aku mulai dengan memasukkan dan menyusun baju di lemari yang tadi pagi kubongkar seenaknya. Ternyata butuh waktu lama untuk menyelesaikanya. Pekerjaan seperti itu saja aku kesulitan. Setelah cukup lama pun hasilnya tidak serapi susunan semula. Masih acak-acakan dan ujungnya tidak lurus.
Ah, pekerjaan Bening memang halus dan sempurna. Dia melakukan semuanya dengan baik walaupun hatinya penuh luka.
Usai mengemas pakaian, aku melirik lemari lain yang digunakan untuk menyimpan pakaian Bening. Sebagian besar pakaiannya memang disimpan di sini demi mengelabui Ibu jika beliau berkunjung. Kami bersandiwara seolah tidur di kamar yang sama.
Hanya pakaian yang sering digunakan sehari-hari yang disimpan di lemari di kamar yang Bening tempati. Saat Ibu bertanya, dia menjawab jika lemari di kamar sudah sesak. Padahal kenyataannya masih banyak ruang yang kosong. Bening sangat jarang berbelanja.
Jika ada pakaian di lemari ini yang ingin dikenakan Bening, dia akan ijin padaku untuk mengambil jika kebetulan aku ada di kamar. Selebihnya mungkin diambil saat aku tidak di rumah. Dia memang tidak boleh tidur di kamar ini, tetapi boleh masuk terutama untuk merapikan dan membersihkan.
Aku meraih salah satu baju yang pernah dikenakan Bening, membawanya ke pelukan, lalu menciuminya dalam. Lagi-lagi aku tergugu dalam jurang penyesalan yang dalam.
'Pulanglah, Bening. Bahkan bajumu masih banyak yang tinggal. Pulanglah. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahanku. Aku memang bodoh tidak menyadari semua kesalahan itu lebih cepat. Mengapa harus kehilanganmu dulu untukku menyadari semuanya? Mengapa harus menunggu kamu pergi untukku menyadari bahwa sebenarnya kamu begitu berarti?'
Setelah cukup lama, aku meletakkan kembali baju itu pada tempat semula. Langkahku tertatih menuju tempat tidur, arena yang menjadi saksi bisu atas kebejatanku tadi malam, yang membuat Bening menyerah dan memutuskan pergi.
Aku merangkak naik, menuju bercak merah yang masih lekat di atasnya, mengusapnya perlahan dengan hati yang tersaruk.
Rasanya ingin berteriak kencang seperti tadi pagi untuk melepaskan semua beban rasa bersalah yang menggelayuti hati, tetapi tubuhku benar-benar lemas. Tenagaku habis terkuras.
Dengan energi yang hampir habis, aku melepas sprei dan menggantinya dengan yang baru.
"Jika kamu pulang Bening, kita akan tidur di sini bersama," lirihku sambil menatap tempat tidur yang telah rapi, "dimana kamu, Sayang. Pulanglah. Aku berjanji tidak akan menyakitimu lagi. Aku akan memperlakukanmu dengan sangat baik, dan akan selalu mencintaimu."
***
"Jadi begitu sikapmu pada Bening selama ini?" Ibu berkata lantang dan garang. Mata tuanya yang biasa teduh, saat ini menatapku tajam. Hatiku benar-benar terasa tertusuk, hingga hanya sekejap aku langsung menunduk, tidak sanggup bersitatap dengan wanita yang telah melahirkanku itu.
"Keterlaluan kamu, Pandu! Ibu percayakan Bening padamu, menjaganya dengan penuh cinta, ternyata kamu abaikan amanah ibu."
Aku tidak bisa menyembunyikan kepergian Bening dari Ibu. Beliau menelepon setelah tidak bisa menghubungi ponsel Bening, lalu datang ke rumah ketika kukatakan menantu yang sangat disayanginya itu pergi.
Ibu dan Bening memang tidak absen berkomunikasi. Jadi begitu ponsel Bening tidak bisa dihubungi, beliau langsung khawatir. Mungkin masih tersisa trauma di hatinya atas kepergian ibu Bening yang merupakan kakak kandungnya.
"Maafkan saya, Bu," ucapku masih tetap tertunduk. Aku benar-benar tidak berani menatap wajah beliau yang saat ini penuh angkara murka.
"Maaf? Maaf katamu setelah menyakiti dan membuat Bening pergi? Dia itu yatim piatu, Pandu! Sebatang kara! Tega kamu menyakitinya? Kemana hati nuranimu?"
Rentetan kalimat Ibu serasa mengulitiku, tepat mengenai sasaran dan rasanya sangat sakit.
"Siapa yang mendidikmu seperti ini, Pandu. Bapak selalu mengajarimu untuk memuliakan dua wanita, Ibu dan istrimu. Bagaimana bisa kamu menyakiti istri sebaik Bening?" Bapak ikut bicara. Meskipun nadanya rendah dan halus, tetapi kata-kata yang beliau ucapkan tetap menusuk kalbu.
Aku hanya menceritakan alasan perginya Bening karena sikapku yang tidak bisa menerimanya. Aku bahkan tidak menceritakan peristiwa semalam. Bagaimana jika mereka berdua tahu apa yang telah kulakukan pada malam pertama kami? Memerlakukan istri sendiri bak seekor binatang. Bisa jadi mereka akan menghajarku habis-habisan.
"Kalian disatukan dalam ikatan yang suci. Dengan kalam Ilahi. Cinta atau tidak, kamu telah membuat janji tidak hanya kepada istrimu dan walinya dalam ijab kabul itu, tetapi juga kepada Allah subhabanahu wa ta'ala. Ribuan malaikat menyaksikan saat itu. Ars-Nya berguncang. Ayah kira dengan memahami itu semua, seharusnya kamu paham bahwa landasan menikah itu bukan hanya cinta, Pandu. Bahkan cinta sama sekali tidak penting. Cinta bisa dipupuk setelah menikah. Yang paling penting dan utama itu ridho Allah. Seharusnya itu yang kamu raih. Bukan cinta yang bvllsh!t itu. Tidak ada cinta sejati sebelum menikah. Cinta sebenar-benarnya cinta hanya diikat oleh pernikahan. Kamu tidak harus menikah dengan orang yang kamu cintai. Tapi, kamu harus mencintai orang yang kamu nikahi. Seharusnya kamu ingat itu, Pandu!"
Ayah bicara cukup panjang. Beliau bukanlah tipe orang yang senang banyak bicara. Namun, jika beliau sudah bicara panjang, itu artinya hatinya sudah sangat murka.
"Perempuan baik-baik tidak akan mendatangi laki-laki yang sudah menikah. Jika memang bijak, seharusnya sejak kamu menikah dia paham bahwa kalian bukan jodoh. Bukannya terus memaksa dan mengganggu ikatan suci. Hanya setan dan pengikutnya yang berusaha merusak ikatan itu."
Semakin Ayah bicara, semakin teriris rasa hatiku, semakin dalam rasa bersalah.
Apa yang beliau katakan benar semuanya.
"Kamu harus mencari Bening, Pandu." Kini Ibu kembali bicara.
"Ibu tidak mau tahu bagaimana caranya. Bawa kembali Bening pada ibu dalam keadaan utuh tidak kurang apapun. Jika kamu tidak mau melanjutkan pernikahan kalian, tidak apa-apa. Masih banyak laki-laki di luar sana yang menunggu jandanya. Ibu akan cari laki-laki lain yang lebih bertanggung jawab untuk Bening. Bukan laki-laki bodoh yang tidak tahu diuntung sepertimu!"
"Jangan, Bu." Aku berseru panik mendengar ujung kalimat Ibu, tidak rela rasanya jika Bening dimiliki laki-laki lain. Membayangkannya saja hati terasa tercabik.
"Kalau begitu temukan dia secepatnya!"