Kandungan?
Apakah ...?
Aku meneguk ludah yang terasa pahit. Pertanyaan besar itu seketika memenuhi kepala, melesak dengan cepat mengisi setiap sudutnya.
Gegas aku melangkah hendak menghampiri Bening, menanyakan apa maksud ucapan perempuan paruh baya itu. Namun, melihatku yang datang mendekat dia segera pamit dan melangkah tergesa.
"Bening! Tunggu!" Aku berseru memanggilnya, berniat untuk mengejar. Akan tetapi, langkahku urung ketika dia justru berlari. Aku tidak mau terjadi sesuatu jika memang benar dia mengandung.
"Bapak kenal Nining?" Perempuan yang tadi bicara dengan Bening, bertanya padaku. Aku menoleh, menelisik penampilannya. Dia pun sama seperti Bening, berjualan aneka manisan dan jajanan lainnya.
Lebih baik kutanyakan informasi lengkap tentang Bening padanya. Mereka sepertinya dekat. Dia pasti banyak tahu kehidupan Bening selama dua bulan ini.
"Iya, saya ...."
"Bapak keluarganya?"
"Eng ...."
"Oh, Bapak yang borong manisan Bening, ya." Perempuan itu menatap manisan yang ada di tanganku.
"Saya ...."
"Nining memang bilang dia sudah tidak punya keluarga, sih. Hidupnya sebatang kara. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan yang tragis. Lalu dia menikah. Dan ternyata Allah pun memanggil suaminya."
Belum sempat aku mengenalkan diri, perempuan itu bicara hal yang membuatku terhenyak.
Bening mengatakan bahwa aku sudah meninggal? Apakah benar-benar aku sudah tidak ada lagi dalam hatinya? Sudah mati?
"Kasihan dia, ditimpa musibah bertubi-tubi. Mana sedang hamil, enggak punya siapa-siapa. Mual, muntah-muntah, tapi tetap harus berjualan agar bisa makan. Saya sebenarnya mau nolong, cuma kehidupan saya juga begini."
Aku mengatupkan kedua sisi bibir ke bagian dalam, mengimbangi mata yang seketika memanas.
Ya Allah, Bening ....
Sedalam itukah kutorehkan penderitaan padanya? Menekannya dengan kata-kata kasar dan hina selama enam bulan, mengabaikannya, sengaja menunjukkan jika aku masih mencintai dan berhubungan dengan Arunika agar dia sadar diri dan memilih pergi. Lalu yang paling b3j4t, aku melakukan malam pertama kami tak ubahnya sebuah paksaan, lalu mengakhirinya dengan menyebut nama perempuan lain. Tidak sampai di situ. Rupanya perbuatan itu membuahkan hasil. Bening hamil dalam kesendiriannya.
Sek3j4m itu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Lidahku rasanya kelu.
"Eh, maaf, Pak. Jadi bercerita. Habisnya saya sangat kasihan sama Bening. Pilu rasa hati setiap melihat perjuangannya untuk bertahan hidup. Kalau saya mungkin sudah tidak semangat lagi untuk hidup. Semoga nanti Allah memberikan kebahagiaan untuknya sebab telah puas menderita."
"Aamiin." Aku menyambut cepat kalimat perempuan itu.
"Ya, sudah, Pak. Saya jalan dulu. Mau jualan lagi." Perempuan itu berniat pergi.
"Sebentar, Bu." Aku menahan langkahnya. Dia yang sudah bersiap melangkah, urung dan menatapku penuh tanya.
"Ada apa, Pak?" Dahinya yang sudah penuh dengan kerutan, semakin berkerut karena mengernyit.
"Ibu tahu sekarang dia tinggal dimana?" tanyaku penuh harap. Semoga perempuan paruh baya ini tahu alamat Bening. Jadi aku bisa menemuinya dan membujuknya sekali lagi untuk pulang. Aku tidak akan berhenti sebelum Bening memutuskan kembali padaku. Apalagi jika memang benar dia mengandung.
Astaghfirullahal'azim. Perbuatan yang kulakukan dengan tidak berperasaan itu, apakah benar-benar telah menanamkan janin di rahimnya?
Tidak dapat kubayangkan perasaan Bening selama ini.
"Pastinya saya tidak tahu, Pak. Saya tidak pernah ke rumah Nining. Tapi, dia pernah berkata kalau kos di belakang. Di situ memang ada banyak kos, Pak." Perempuan itu mengarahkan telunjuknya pada suatu arah.
"Oh, iya, Bu." Aku mengangguk paham, "Terima kasih atas informasinya."
"Sama-sama. Tapi, Bapak mau ngapain? Jangan berniat jahat sama Nining, ya, Pak. Kasihan. Dia sudah banyak menderita." Perempuan itu tampak khawatir.
"Oh, enggak, Bu. Saya tidak berniat jahat. Saya juga terenyuh atas cerita Ibu tentang dia. Jadi, jika diperkenankan saya akan datang mengunjunginya untuk memberi sedikit bantuan."
"Alhamdulillah. Iya, Pak. Coba saja datang. Semoga Nining memang tinggal di sana. Terima kasih sudah peduli dengan dia, Pak. Saya turut bahagia dan terharu. Saya sudah menganggap Nining sebagai anak sendiri."
"Iya, Bu. Saya juga terima kasih atas informasinya."
"Sama-sama. Mari, Pak. Saya permisi."
"Iya."
Aku menghela napas berat setelah perempuan paruh baya itu berlalu. Tubuhku sedikit berguncang karena mencoba melepaskan sesak yang menggumpal di d**a. Mata yang tadi memanas akhirnya berair. Aku tidak bisa menahan tangis pilu mengetahui kondisi Bening.
Aku kemudian kembali menuju kuda besiku, men-starternya dengan cepat lalu mengarahkannya pada tempat yang tadi ditunjukkan perempuan paruh baya itu.
"Maaf, Pak, mau tanya. Daerah sini yang katanya ada kos di mana, ya?" Setelah menemui persimpangan, aku bertanya pada warga yang kebetulan lewat karena bingung memilih jalan.
"Oh, masuk gang ini, Pak." Orang yang kutanya itu menunjuk salah satu gang kecil.
"Oh, iya, Pak. Terima kasih."
"Sama-sama."
Aku mengambil jalan yang ditunjukkan laki-laki itu. Sebuah gang yang sangat sempit. Hanya bisa dilewati satu kendaraan roda dua. Itu pun harus pelan-pelan.
Kurang lebih dua puluh meter, kutemui rumah yang bentuknya memanjang. Terdapat banyak pintu dengan ruang yang bersekat. Sepertinya ini kos-kosan yang dimaksud perempuan paruh baya teman Bening tadi.
Aku terdiam sejenak menatap rumah itu. Di sinikah Bening tinggal? Lagi-lagi dadaku dibuat sesak oleh kenyataan yang kutemui.
Kediaman yang sangat jauh dari kata layak. Luas satu petak rumah ini bahkan tidak lebih lebar dari kamar yang kutempati. Pintunya terbuat dari triplek yang sudah banyak mengelupas. Lokasinya pun terkesan kumuh.
Bening lebih memilih kediaman seperti ini daripada rumah yang kutawarkan. Itu membuktikan sedalam itu hatinya terluka atas perbuatanku.
Aku benar-benar seperti diempaskan berulangkali dengan sangat keras dari sebuah ketinggian. Rasa bersalah ini benar-benar mengungkungku ke dalam sebuah kesakitan.
'Cukup, Bening. Aku tidak kuat. Bisakah kau sudahi hukuman ini dan kembali bersamaku. Aku bersumpah akan selalu mencintai dan menjagamu dengan baik. Tidak akan kubiarkan kamu terluka lagi walau seujung kuku. Akan kutebus semua kesalahan yang pernah kulakukan dengan memberimu kebahagiaan.'
"Bu, yang kos di sini ada yang namanya Bening, enggak?" Aku bertanya pada seorang perempuan yang kebetulan pintu kos-nya sedang terbuka.
"Bening?" Perempuan dengan penampilan lusuh dan sedang menggendong seorang balita itu mengernyitkan keningnya.
"Iya." Aku mengangguk.
"Setahu saya enggak ada yang namanya Bening. Ada pun Nining," sahut perempuan itu.
"Iya, Bu. Panggilannya Nining."
"Oh, ada. Kamarnya di ujung sana." Perempuan itu menunjuk sebuah kamar petak yang paling ujung, "Tapi, sepertinya sedang istirahat. Barusan pulang dan terdengar muntah-muntah. Kalau bisa jangan diganggu dulu, Pak. Kasihan."
"O, iya, Bu. Saya duduk saja di luar menunggu sampai dia keluar."
"Iya, sebaiknya begitu."
Aku melangkah menuju kamar petak Bening dengan perasaan tidak karuan. Dadaku bergemuruh. Sudut mata sudah basah.
Aku akan menunggu hingga Bening keluar. Akan kubujuk sampai dia mau pulang walau harus bersimpuh dan mencium kakinya.