Delapan

1250 Words
Laki - laki itu kalau punya masalah gak kayak perempuan yang curhat sana curhat sini. - Tegar *** Pukul lima sore mas Prima kembali. Wajahnya kusut, menampakkan kelelahan yang sangat. Sweater tanpa lengannya sudah tidak ada, hanya kemeja marun yang sudah digulung lengannya hingga siku. Dan kancing yang terbuka dua dari atas. Kafka masih asyik memainkan rambutku saat mas Prima melewati kami menuju mejanya. Aku baru menyadari saat mas Prima menghempaskan diri di kursi. Apakah dia akan baik-baik saja melihat Kafka yang duduk terlalu dekat denganku? Kafka bangkit dan menghampiri mas Prima, pasti dia sedang bertanya soal tadi. "Beres. Clear masalah tadi." Jawab mas Prima, aku bisa mendengarnya samar-samar. Belum melihatku, atau menyapaku. Ini beneran mas Prima yang kemarin menciumku kah? Hatiku seperti diremas-remas melihat sikapnya yang masih acuh tak acuh. Aku memutuskan berselancar di dunia maya, membaca berita untuk mengalihkan pikiranku. Tapi sungguh, rasanya, jika kemarin tidak seperti itu aku akan jauh lebih baik. Pikiranku akan tenang. Sabar Naya, sabar. "Gue mandi dulu." Mas Prima beranjak dan terus berjalan ke atas, sambil melihat ponselnya. Tidak menoleh atau menyapa kami, seperti biasa. Kafka sekarang duduk di sebelah Tiara, mengepang rambutnya. "Lo gak punya karet kecil apa Ra?" "Napa dah?" Tiara menatap Kafka dengan sinis. "Gue kepangin nanti diiket gitu, rambut lo licin banget cepet lepas kepangannya." Si monyet itu, ada aja kelakuannya. "Lo ngelamar di salon aja sih Kaf, cocok!" Aku menyela. "Pasti tuh salon laris manis kalau gue jadi hair stylish-nya." Kafka merapikan kerahnya dengan sombong. "Pede mampus anjirrr!" Aku meraih rambut keritingnya dan menjambak. "Aaawwww. Gila kdrt banget lo Nay." Kafka misuh-misuh, aku tertawa. Kekesalanku terlampiaskan. Sorry Kaf. *** Sejak pagi perutku mulas, hari pertama periodeku selalu menyiksa. Aku, Tiara dan Sissy sudah memesan makanan delivery. Terlalu sakit untuk keluar. Dan sejak semalam perasaanku jadi super sensitif. Ditambah mas Prima yang masih bersikap tidak ada apa-apa. Tidak membantuku dengan menjelaskan soal kemarin, Aurora dan segalanya. Soal TRAP katanya sudah clear, tadi aku cek web itu sudah tidak ada. Aku menatap ponsel dengan nanar, tidak satupun pesan dari mas Prima untuk menenangkanku. Bahkan dalam grup chat. Aku merasakan airmata di pipiku yang segera kuhapus. "Nay, eh, kok nangis?" Tiara menghampiriku. "Lagi sensitif banget Ra, dari kemarin." "Lo lagi ada masalah?" Bisakah aku menyebutnya masalah, soal kami? Aku menggeleng, "nggak Ra, gak ngerti tiap liat yang sedih-sedih jadi cengeng gini deh." Tiara mengusap-usap punggungku, "masih sakit perutnya? Minum Kiranti udah?" "Iya udah, tadi nitip Sissy." Mas Prima turun dengan Kafka, yang bertanya pada Tiara mengapa lengannya menenangkanku. "Lagi dapet." Tiara berbisik pelan, aku membersihkan tenggorokanku. "Mas, Naya biar tiduran dulu di atas kali ya. Dia lagi sakit banget, hari pertama." Aku menatap Tiara, bermaksud menghentikannya. Tapi mas Prima menghampiriku. "Sakit banget?" Dua kata pertamanya sejak kemarin. "Gak papa kok, nanti juga hilang." Jawabku. "Istirahat aja dulu di kamar mas. Gak ada kerjaan yang deadline kan? Antar aja Ra ke atas." Tiara mengangguk semangat, "mas makan siang dulu ya." "Sudah manfaatin aja, sekarang tidur sendiri dulu. Besok-besok kali sama yang punya kamar." Celetuk Kafka sambil lalu, aku memandang mas Prima cepat yang tersenyum kaku dan mengikuti Kafka keluar. Aku minum obat pereda nyeri setelah makan siang dan membawa ponselku ke lantai tiga. Mas Prima dan Kafka belum kembali dari makan siang. Aku menyalakan AC dan menutup pintu, kemudian berbaring di ranjang single mas Prima. *** Aku merasakan ada seseorang di kamarku. Eh, ini bukan kamarku. Seingatku, ahhh aku sedang tiduran di kamar mas Prima. "Apa lagi?" Suara mas Prima dan pintu kamar yang ditutup. Tapi aku tahu mas Prima berada di depan kamar. Aku membuka mataku. "Sudah La, urusan kita sudah selesai. Kamu yang pergi dulu, jangan kayak gini La!" Suaranya terdengar lelah. "Berhenti merengek seperti ini. Lakukan apa yang kamu mau, tapi jangan campuri urusanku dan jangan pernah sentuh CRAP lagi." Sekarang aku duduk di atas kasur, bersiap keluar jika mas Prima turun. Tapi, pintu terbuka. Dia kaget melihatku yang sudah duduk, mungkin dia tahu aku mendengar percakapannya. "Sudah lebih baik?" Mas Prima duduk di sebelahku. "Sudah," aku melihat jam, menunjukkan pukul enam sore. "Makasi ya mas, aku pulang dulu." Ada perasaan yang tidak kumengerti saat mendengar kata-kata mas Prima tadi. Mas Prima menahan lenganku, "nanti mas antar." "Naik ojek aja, atau sama Kafka." "Nay, kamu janji mau bantuin mas kan?" Hatiku sakit, demi apapun. Berdenyut sakit, padahal aku tahu mas Prima tidak menyukaiku. Tidak memiliki perasaan apapun terhadapku, tapi tetap saja. "Aku gak tahu mas, kayaknya aku gak bisa." Jawabku, pelan. Aku takut menangis. "Bisa Nay, kamu bisa. Mas yakin kamu bisa. Tolong Nay, please." Aku kesulitan menelan ludah, seperti ada sebuah benjolan di tenggorokanku. Aku sayang mas Prima, tapi baru segini aja hatiku sudah terluka. "Maaf mas, Naya ragu." Aku berdiri, tangan mas Prima meraih tengkuk leherku dan tiba-tiba kurasakan napas mas Prima di mulutku. Ia mencium dengan kasar dan terburu-buru, aku kesulitan mengambil napas. Ya ampun, aku menyukai pria ini. Dan gak bisa nolak apapun yang sedang dilakukan olehnya. Mas Prima terus mendorongku hingga terjepit, aku berdiri di antara kasur dan tubuh tinggi mas Prima. Secara otomatis aku menjatuhkan pantatku di atas kasur, mas Prima melepaskan pagutannya. Aku terengah-engah dan kesulitan mencerna dengan baik apa yang baru saja terjadi. Mas Prima menjatuhkan diri di depanku, bersimpuh dengan kedua lututnya. Tangannya menggenggam tanganku. "Tolong bantu aku lupain dia Nay, please." Katanya memohon. Dia bahkan tidak tahu, sentuhannya barusan menorehkan luka baru untukku. Sorot mata itu penuh luka dan meminta maaf. "Kita akan melakukan apa saja seperti pasangan pada umumnya, kamu bisa minta apa saja padaku." Aku tertawa pelan, seperti anak kecil yang bertekad mendapatkan apapun yang diinginkannya, aku tahu janji mas Prima kosong. Dan toh, aku tak berharap apa-apa, kecuali perasaannya untukku. "Oke, tapi mas kalau suatu waktu nanti aku gak tahan lagi untuk menyerah. Tolong lepaskan." "Nay, bertahanlah. Mas mohon." "Kita liat aja nanti." Aku tidak ingin menjanjikan apa-apa, aku tahu kapasitas kemampuanku. Mas Prima menarik kepalaku lagi, melumat bibirku pelan dan manis. Andai saja mas Prima punya perasaan yang sama, aku tidak akan ragu menjawab ciumannya. Tapi ini murni karena nafsu kan? Atau mas Prima pikir, ciuman ini membuatku akan melakukan apa saja? "Gue udah buat appointment untuk--" Kafka berdiri di pintu dan kata-katanya terpotong melihat apa yang sedang kami lakukan. Aku segera menarik kepalaku dan berdiri, mas Prima melakukan hal yang sama. "Sorry, gue gak tahu kalau--" Baru kali ini aku melihat Kafka salah tingkah. "It's okay, ngomong di bawah aja Kaf. Mas turun dulu ya." Mas Prima mengajak Kafka turun dan meninggalkanku. Bersiaplah untuk semburan j*****m dari mulut monyet keriting itu, Kanaya! Aku merutuki kebodohanku sendiri. Hatiku berdenyut melihat wajah kaget-bingung-terluka Kafka. Tunggu, dia terluka? Untuk apa? Aku segera turun dan langsung menuju lantai satu, Sissy masih menghadap monitor dan menoleh saat melihatku. "Udah mendingan Nay?" Tanyanya. "Udah Sy, Tiara dah balik ya?" Aku melongok ke mejanya dan melihat komputernya yang sudah mati. "Dari jam lima." Jawab Sissy. "Gue mau balik, lo masih lama?" "Dikit lagi, bareng aja dong. Dijemput apa naik ojek?" Sissy merapikan mejanya. "Ojek, gue pesen dulu deh." Aku memesan ojek online dan berharap mas Prima atau Kafka masih lama berada di ruang meeting. Begitu mendapat pesan bahwa driver-ku sudah di depan, aku segera bangkit dan mengajak Sissy. "Driver gue dah nyampe, lo masih nunggu?" "Gue dijemput Ijonk hehe, duluan aja deh shay." Jonathan yang sering dipanggil Ijonk adalah pacarnya Sissy. "Oke, bye!" Aku segera berlari keluar dan mendapati driver yang sedang menungguku. Aku ingin mandi dan menenggelamkan kepalaku. Ingin melupakan tatapan kecewa Kafka yang entah mengapa sangat menusuk hati. ~tbc~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD